1. Sendiri

1537 Words
Lina merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Perlahan, dia membuka mata. Tembok putih dan infus yang tergantung menjadi pemandangan pertama yang ia lihat. Perlahan, dia menengok ke bawah. Perut yang dulunya besar dan buncit, kini sudah menjadi rata. Dengan gemetar, Lina mengusap perutnya, dan air mata tidak bisa dia tahan. 'Mereka bahkan tidak membiarkan aku melihat bayiku dan langsung mengambilnya.' Bibir dan bahu Lina bergetar. Dia tahu bahwa dia terikat perjanjian tentang kehamilannya. Awalnya, dia mengira hanya perlu bersabar selama sembilan bulan dan dia akan kembali kepada orang tuanya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, rasa sayang untuk makhluk kecil dalam perutnya semakin tumbuh. Lina selalu menantikan saat kontrol setiap bulan. Karena pada saat itu, dia bisa mendengar detak jantung bayinya dan bisa melihat langsung bagaimana perkembangannya. Pernah terlintas dalam benaknya untuk membawa lari putranya, tapi dia tahu itu tidak mungkin. Selama kehamilan, Lina tinggal di sebuah apartemen yang telah disediakan. Seorang asisten rumah tangga datang setiap pagi dan pulang pada malam hari. Semua kebutuhan Lina dicukupi dengan baik. Hanya makanan bergizi dan bahan-bahan segar yang boleh dia konsumsi. Seluruh aktivitasnya dibatasi. Bahkan untuk menghubungi orang tuanya pun dia hanya diberi jatah seminggu sekali. Mendapatkan promosi di kantor cabang lain adalah alasan Lina pergi. Sehari setelah operasi berlangsung, gadis itu berpamitan dan berjanji akan pulang satu tahun kemudian. Lina masih mengusap perutnya. Namun, emosinya menjadi lebih stabil. Setidaknya, kini kondisi ayahnya membaik. Apa yang sudah terjadi, tidak akan bisa berubah. Lina hanya memiliki ayah dan ibunya untuk menjalani hidup. Setelah pulih, dia akan pulang dan bermanja dengan kedua orang tuanya. Suara pintu yang dibuka membuat Lina urung memejamkan matanya. Seorang wanita dengan setelan formal berjalan mendekat dengan membawa map. Lina pernah melihatnya. Dia adalah asisten nyonya besar itu. Dia tidak tahu namanya. Bahkan kalau dipikir-pikir, Lina tidak mengenal satupun dari mereka. Hanya asisten rumah tangga itu yang dia kenal. Itupun karena asisten itu bukan diambil dari keluarga besar itu. Dia disewa langsung dari yayasan dan hanya dikontrak selama kehamilan Lina. "Ini adalah akhir dari kontrak Anda. Di dalamnya, terdapat cek p********n Anda yang terakhir. Setelah ini, Anda bisa kembali ke rumah dan Anda bisa hidup dengan tenang. Seluruh barang pribadi anda sudah kami pindahkan ke dalam tas di samping Anda. Dengan ini, Anda sudah tidak ada lagi hubungan dengan kami." Lina melirik ke samping. Sebuah koper tergeletak di sana. Hati Lina merasa sakit seperti ditusuk-tusuk, tapi sekali lagi dia menguatkan hatinya bahwa semua ini demi ayah dan ibunya. Lina mengangguk. "Terima kasih." "Sama-sama. Selamat tinggal, Nona Lina." Setelah itu, asisten itu berbalik dan berjalan keluar. Saat hendak membuka pintu, dia berbalik. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi diurungkannya. Setelah pintu kembali tertutup, Lina baru bisa bernafas. Tiga hari setelahnya, Lina mencari tempat yang bisa dia tinggali selama satu bulan untuk pemulihan. Setelah yakin tubuhnya kembali kuat dan lukanya sembuh, Lina akhirnya pulang. Turun dari ojek, Lina melihat rumah lawas yang masih terawat dengan senyum lebar. Dengan langkah ringan, Lina berjalan masuk. Dia sudah siap menyapa ibu dan ayahnya. Melihat tenda dan banyaknya tamu yang berada di depan rumahnya membuat alis Lina berkerut. Kakinya melangkah perlahan sementara hatinya dipenuhi dengan tanda tanya. Para tetangga yang melihatnya hanya bisa menunduk dan tidak menyapanya seolah ingin menghindar. Perasaan Lina tidak enak. Bayangan buruk menghantuinya. Dia mempercepat langkahnya. Semakin dekat dengan rumah, semakin dia mendengar tangisan ibunya. Tanpa terasa, air matanya juga jatuh tanpa sebab. "Ibu??" Kaki Lina baru saja melewati pintu dan matanya menangkap sosok ibunya menangis di samping seseorang yang berbaring dengan kain putih menutupi tubuhnya. "Lina, yang sabar ya." Ucapan tetangganya membuat pikiran kusut Lina menyimpulkan sesuatu yang buruk. "A-ayah...." Lina berlari dan bersimpuh di bawah kaki ayahnya. Air matanya turun mengalir deras. Tangannya mencengkeram ujung kain putih yang menutupi kaki sang ayah. Bahunya bergetar dan tangisannya menyayat hati. Kenapa? Kenapa ini bisa terjadi?? Dirinya baru saja menyelesaikan kontrak untuk menyelamatkan nyawa sang ayah, membawanya ke meja operasi. Dan yang menyambutnya adalah kematiannya? Lina sudah membayangkan kehidupan yang indah dan bahagia dengan kedua orang tuanya. Tapi kenapa Tuhan menakdirkan lain?? Lina merasa sia-sia sudah seluruh pengorbanannya. Jika dia tahu, lebih baik dia menghabiskan waktu lebih lama dengan sang ayah. Dia tidak akan menerima kontrak itu!! Lina menangis tersedu-sedu. Penyesalan menggulung hatinya dan menenggelamkan jiwanya. Wulan memeluk putrinya dari samping. Ibu dan anak itu menangis bersama diiringi tatapan sendu para pelayat. --- Satu minggu telah berlalu. Rumah terasa sepi dan hampa. Wulan lebih banyak termenung. Hatinya masih terguncang karena kepergian suaminya. Perempuan tua itu duduk di kursi tamu sambil memandang keluar dengan tatapan kosong. "Ibu, makanlah dulu! Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu." Lina mendekati Wulan dan mengajaknya untuk duduk di kursi makan. Wulan menoleh. "Ibu tidak lapar," jawabnya sambil tersenyum tipis. "Sejak semalam, ibu tidak memakan apapun. Hanya roti kecil dan segelas teh. Sekarang, ibu makan dulu ya. Tidak apa-apa meskipun sedikit. Yang penting, ibu sarapan." "Kamu saja yang sarapan. Sungguh, ibu tidak lapar." "Bagaimana ibu bisa memiliki tenaga kalau perutnya tidak diisi?" "Ibu akan makan nanti. Kamu bisa sarapan sekarang. s**u yang kamu buatkan masih ada." Wulan menunjuk gelas yang berisi s**u setengah. Lina menghela nafas. "Tapi, aku ingin makan dengan ibu," ucapnya memelas. Melihat putrinya yang ingin bermanja, Wulan akhirnya mengangguk. "Baiklah. Ayo!" Wulan menggandeng Lina menuju meja makan. Tidak mau merepotkan sang putri, Wulan mengambil sendiri makanannya. Lina hanya menatap isi piring ibunya. Dalam hati, dia menghela nafas. Ibunya hanya mengambil sedikit nasi dan sedikit lauk, serta sayur. Namun, dia tidak berkomentar banyak. Setidaknya, perut ibunya terisi. "Bagaimana pekerjaanmu? Sudah satu minggu kamu cuti. Apa kamu akan pergi lagi?" tanya Wulan di sela-sela sarapannya. Lina menggeleng. "Tidak, Bu. Masa kontrakku sudah habis. Aku memiliki cukup tabungan dan berencana untuk kuliah, lalu mencari pekerjaan lain di sini. Aku tidak ingin pergi jauh lagi." "Apakah kamu yakin uangmu cukup? Biaya operasi dan perawatan ayahmu sangat mahal. Kamu sudah mengeluarkan uang yang sangat banyak." "Ibu, jangan khawatir. Tabunganku masih cukup untuk biaya sehari-hari dan kuliah." "Ibu senang kalau kamu kuliah." Wulan menggenggam tangan Lina dan wajahnya tampak bahagia. "Dari dulu, ibu berharap bisa menguliahkan kamu. Tapi apa daya, ayah dan ibu tidak memiliki cukup uang." Lina membalas genggaman sang ibu. "Tidak apa-apa, Bu. Apa yang ayah dan ibu berikan padaku sudah lebih dari cukup. Aku beruntung bisa menyisihkan uang untuk kuliah dan kebutuhan lainnya. Jadi, ibu tidak perlu khawatir. Kita akan baik-baik saja. Setelah lulus, barulah aku akan mencari pekerjaan lain." "Tidak masalah jika kamu ingin mengejar karir di kota lain. Ibu hanya berpesan agar kamu berhati-hati dalam memilih teman. Tidak semua orang memiliki niat baik. Jangan sampai kamu terjerumus atau dimanfaatkan. Kamu satu-satunya putri ibu. Ibu tidak akan rela jika ada sesuatu yang menimpamu." Pegangan Lina pada sendok mengerat. "Iya, Bu. Aku akan mengingat nasihatmu." "Anak pintar." Wulan mengelus pipi Lina, lalu melanjutkan sarapannya. Setelah itu, Wulan membantu putrinya membereskan meja, dilanjutkan dengan Lina mencuci piring kotor. "Bu, aku akan keluar sebentar untuk membeli buah. Stok di lemari es sudah kosong." Wulan mengangguk. "Hati-hati!" "Apa ibu ingin membeli sesuatu yang lain juga?" Wulan menggeleng. "Tidak perlu. Kamu beli saja apa yang kamu mau. Jangan pikirkan wanita tua ini!" Lina mencebik. "Aku hanya memiliki ibu sekarang. Jika aku tidak memikirkan ibu, siapa lagi yang harus aku pikirkan?" Wulan terkekeh. "Jangan begitu! Suatu saat nanti ibu juga akan pergi dan kamu akan menikah dan memikirkan keluargamu sendiri." Lina sontak mendelik. "Bu! Jangan berkata yang tidak-tidak. Ibu membuatku takut." Wulan justru tertawa melihat reaksi putrinya. Namun dalam hati, perempuan tua itu merasa jika waktunya tidak lama lagi. Sebagai seseorang yang sudah tua, wajar jika banyak penyakit mulai menyapa. Gula darahnya bahkan pernah mencapai angka empat ratus, tapi dia merahasiakannya dari semua orang. Wulan tidak ingin suami atau putrinya tahu. Dan kini, sepeninggal suaminya, Wulan merasa hidupnya sudah tidak lagi sama. Apalagi, Lina sudah dewasa dan -setahu dia- karirnya lancar. "Ibu kenapa tertawa?? Pokoknya ibu tidak boleh berkata yang bukan-bukan! Ibu akan tetap sehat dan akan menemani aku sampai menikah dan punya anak." Lina menatap ibunya dengan nafas menderu. Matanya terasa hangat. Dirinya sudah kehilangan ayahnya. Sekarang, Lina tidak ingin kehilangan ibunya juga. "Iya, iya. Sudah sana! Langitnya mendung. Cepat berangkat. Jangan sampai kamu kehujanan." Lina akhirnya berpamitan pada Wulan, lalu pergi. Tujuannya adalah toko buah di ujung jalan. Lina berencana membeli beberapa buah yang disukai sang ibu. Setelah itu, dia mampir ke mini market untuk membeli s**u dan roti, juga cokelat batang. Semua itu adalah kesukaan sang ibu. Memangnya dia mau memanjakan siapa lagi jika bukan ibunya? Sekarang, Lina hanya memiliki seorang ibu untuk membuatnya kuat bertahan. Sepanjang perjalanan, Lina mengamati sekitar, melihat-lihat penjual gerobak yang mungkin ibunya suka. Akhirnya, dia berhenti di depan penjual jajanan pasar. Setelah memberi beberapa, Lina akhirnya pulang. Sesampainya di rumah, Lina memarkir motornya di teras seperti biasa, lalu masuk. "Ibu??" seru Lina sambil melepas helmnya. Tidak juga mendengar jawaban, Lina kembali memanggil ibunya. "Bu?" Wajah Lina mulai berubah. Bayangan satu tahun yang lalu saat dirinya pulang kerja berputar. Lina meletakkan belanjaannya di atas meja, lalu berlari menuju kamar ibunya. "IBU!!!!" Di dalam sana, Lina melihat ibunya tergeletak di dekat kasur dan tidak bergerak. Jantung Lina seakan berhenti dan dia tidak bisa bernafas. "Ibu!!!" Lina berlari mendekat dan mendekap ibunya. Dia mencoba meraba hidung Wulan, berharap ada pergerakan di sana. Namun, Lina tidak bisa merasakan hembusan nafas. "IBUUUUU!!!!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD