Chapter 5

538 Words
Pagi yang cerah matahari selalu berikan semangat untuk dua pasangan pengantin yang tempat tinggal jauh dari kota metropolitan. Kalau dilihat dari jarak ketinggian seperti rumah petak atau rumah desa. Suara gosengan dari dapur terdengar sangat nyaring Chandra sedang memasak untuk sarapan pagi, dia suka melakukan hal di pagi hari sebelum berangkat kerja pastinya memasak dulu. Chandra memang suka memasak tidak pungkiri kalau dia mempunyai beberapa cabang usaha sajian makanan di kafe - kafe setempat. Pukul delapan pagi seperti biasanya wanita itu bangun tepat waktu di jam matahari telah tinggi di atas sebelah timur. Belum cuci muka, menguap lebar-lebar, rambut berantakan, duduk di depan meja makan. Sarapan pagi ini adalah nasi goreng telur bistik ayam dengan topik sayuran sehat yaitu buncis hijau dan wortel direbus. Chandra berikan untuk istrinya yang masih belum sadar dari dunia alam mimpinya. Fera bantal kepalanya atas lengan sendiri di meja makan. Mencium aroma sedap di hidungnya sendiri dia pun membuka kedua matanya yang berat itu. Asap mengempul ke atas dengan kedua mata melebar sajian makanan yang lezat. Walau dia tidak pernah sarapan yang berat di pagi hari tetapi kalau perut sudah meminta di isi. Fera mengambil sendok dan garpu sedangkan Chandra memperhatikan menyuap satu sendok nasi goreng buatannya begitu lahap. Semakin hari Chandra mulai suka melihat sifat dan kelakuan istrinya jika di rumah. Fera merasa kalau dirinya sedang diperhatikan oleh suaminya sendiri. "Ada apa?" butiran nasi yang dia kunyah keluar satu atau dua biji dari mulutnya. Menatap horor kepada lelaki berewok itu. "Tidak ada apa-apa, makannya pelan - pelan saja. Nanti tersedak," ucap Chandra kembali melanjutkan sarapannya yang tidak panas lagi. "Dasar aneh!" gumamnya pelan. Suasana kembali normal hanya terdengar irama dari garpu dan sendok serta piring bernyanyi. Chandra melihat jam arloji di pergelangan tangannya. Sudah pukul delapan lewat dua puluh menit lebih kurang. Dia harus bersiap untuk berangkat ke kantor. Dibersihkan mulutnya dengan kain ada di samping meja makan. Angkat piring kotor lalu dicucinya. Kalau Fera masih menikmati ayam bistiknya, tidak lama kemudian Chandra kembali mengambil tas kantornya lalu Fera melirik suaminya memasang dasi dan jas kantor. Gigitan ayam dalam mulutnya belepotan. "Kau mau berangkat kerja?" tanya Fera kepada suaminya. "Iya, apa kau ingin ikut?" jawabnya tentu dia mengharapkan istrinya ikut dengannya. "Untuk apa? Jadi orang bodoh di kantormu? Berikan kartu debitmu, aku ingin jalan-jalan cuci mata!" Diulurkan tangannya ke depan yang tertempel minyak goreng ayam itu. Chandra menatapnya tajam cukup lama, istrinya sibuk dengan sarapannya. "Cepetan! Pegal ini tanganku!" bentaknya kemudian. Chandra mendengus panjang napasnya dia mengeluarkan dompet dari celana hitam. Terus melangkah kembali tempat atas meja makan diletakkan kartu Platinum tersebut. "Kartu yang kemarin aku berikan kau letakkan di mana? Apa itu sudah habis kau gunakan?" Chandra bertanya kepada istrinya. "Belum, sih. Sebagai cadangan saja. Kau tega jika limit itu tiba-tiba kurang, terus aku malu di depan semua warga. Tidak mau, kan. Kau sudah bilang uang suami adalah uang istri jadi aku boleh beli apa pun aku mau!" jawabnya selesai sarapan diambil kartu Platinum dari meja makan tanpa mencuci tangan. Fera pergi begitu tanpa mencuci piringnya sendiri. Chandra menghela napas kalau bukan dia sayang istri mungkin tidak akan lakukan atas kemauan wanita manja itu. Dicuci piring itu barulah dia berangkat ke kantor, sedangkan Fera ke kamar mandi sambil bernyanyi lagu favoritnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD