bc

Sebelum Hari-H

book_age18+
3
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
independent
confident
CEO
brilliant
love at the first sight
addiction
nurse
engineer
like
intro-logo
Blurb

“Happily ever after.. adalah kalimat yang seringkali diucapkan saat tokoh kartun yang aku suka berakhir bahagia menikah dengan orang yang ia cintai. Tetapi mengapa rasanya aku tidak merasakan hal itu? Apa itu karena aku belum sampai di akhir ceritaku atau kau ternyata bukan akhir ceritaku?”

chap-preview
Free preview
BAB 1
   Derap langkah sandal karet berdecit halus terdengar serempak saat seorang dokter bersama dengan dokter magang dan juga dua orang perawat memasuki salah satu ruang perawatan. Pintu berwarna putih tulang itu bergeser terbuka dan memperlihatkan 10 ranjang yang dibatasi dengan tirai-tirai antara satu ranjang dengan ranjang lainnya. Di dalam bangsal itu terdapat 6 pasien dengan sakit yang berbeda-beda. Tetapi kebanyakan adalah pasien pasca operasi ringan.     Perhatian para pasien yang sedang bercengkrama dengan keluarga mereka yang datang berkunjung langsung teralihkan pada para tenaga medis yang baru saja masuk. Ini adalah waktunya pemeriksaan dan beberapa dari mereka langsung membereskan semua makanan yang dibawa oleh keluarga, khawatir akan ketahuan dan diomeli oleh dokter.     Tentu saja dokter mengetahui hal itu dan mulai menginterogasi para pasien satu per satu sambil melihat bekas luka operasi, khawatir terjadi infeksi ataupun jahitan yang terbuka tanpa disadari pasien. Para perawat di belakang sang dokter membacakan hasil pemeriksaan terakhir dari masing-masing pasien dan menulis kembali hasil pemeriksaan yang baru saja dilakukan, sementara dua dokter magang yang ikut berusaha mencatat semua kalimat yang keluar dari mulut sang dokter untuk dijadikan pelajaran.  “Nona Gerald, usia 28 tahun dan baru saja menjalani operasi pemotongan usus buntu. Tekanan darah dan gula darahnya normal, tidak ada yang komplikasi apapun pasca operasi.” , ujar salah satu perawat berambut cokelat ikal yang diikat ke belakang membacakan hasil pemeriksaan beberapa jam yang lalu. Ia adalah Hazel. Salah satu perawat senior di rumah sakit Love & Heal.  “Apakah kau sudah buang angin?” , tanya sang dokter terus terang kepada pasien bertubuh gemuk yang masih terbaring dengan infus di menempel di tangannya.  “A-apa?” , tanyanya dengan gugup.  “Dokter bertanya apakah kau sudah buang angin atau belum.” , sahut Hazel dengan senyum kecil.  “B-buang angin? Belum.”  Sang dokter mengangguk dua kali, “Beritahu saja langsung perawat jika kau buang angin, biar mereka membantu melepaskan infusnya. Kau boleh pulang jika kau sudah buang angin.” , kata dokter sambil tersenyum seolah mengucapkan selamat.     Pasien itu hanya mengangguk, tanda ia mengerti. Ia merasa gugup saat banyak orang berdiri mengelilinginya, seolah-olah ia akan langsung dirundung jika salah menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan. Ia tidak menyangka hanya dengan 1 pertanyaan saja dan mereka langsung berpindah ke pasien lainnya.  “Jangan lupa panggil aku, ya?” , tegur Hazel mengingatkan dengan senyum ramahnya sebelum kembali mengekori rombongan pemeriksa yang sudah beralih ke pasien di sebelahnya.     Di tengah jam sibuknya, ponsel milik Hazel tiba-tiba saja bergetar dan ia mengintipnya sedikit. Itu adalah panggilan telepon dari ayahnya. Ia menyimpan kembali ponselnya, membuat benda pipih itu kembali bergetar lagi tanpa henti. Ayahnya memang kerap kali menelponnya. Jika dihitung, dalam sebulan sang ayah selalu menghubunginya setiap seminggu sekali. Namun kali ini rasanya masih terlalu cepat karena baru beberapa hari yang lalu juga menghubunginya.     Setelah selesai memeriksa semua pasien yang ada di bangsal tadi, Hazel mencuri waktu untuk menghubungi ayahnya sebelum menyusul menuju bangsal selanjutnya.  “Halo? Ada apa, Yah? Aku sedang bekerja, jadi langsung saja.” , kata Hazel langsung ke intinya.  “Ibumu sakit. Apa tidak bisa kau datang mengunjunginya?”  “Jika sakit pergilah ke rumah sakit, mengapa harus aku yang datang jauh-jauh ke sana? Aku punya banyak pekerja—” , belum sempat Hazel menyelesaikan kalimatnya, sang ayah langsung menyergahnya.  “Untuk apa punya anak seorang perawat jika ia tidak mau memeriksa ibu kandungnya sendiri, huh? Apa begitu yang diajarkan oleh ayah dan ibu?”  Hazel menghela nafas kasar, “Iya, iya, aku mengerti. Aku akan datang menjenguk besok. Hari ini aku—”  “Apa kau ingin ibumu menderita dengan menunggumu sampai besok? Sekalian saja kau tidak usah bertemu dengan ibumu lagi.”  Sungguh, Hazel benci jika ayahnya sudah mulai mendramatisasi dan mengeluarkan jurusnya yang bersikap seolah-olah Hazel adalah anak yang durhaka.  “Tapi aku ada shift malam ini, Ayah.” , protes Hazel.  “Kau kan bisa bertukar shift dengan rekan kerjamu seperti yang kau lakukan waktu itu. Sudah ya, kami akan menunggumu sore ini.”  Tut. Panggilan terputus.  “Kami? Siapa kami?” , gumam Hazel bingung.   ***     Sore harinya, masih dengan seragam perawatnya, Hazel pergi melajukan mobilnya menelusuri jalan sejauh 80 mil. Entah apa yang direncanakan oleh ayahnya lagi kali ini. Yang Hazel tahu, ayahnya selalu berusaha untuk membuatnya pulang menemui mereka beberapa bulan sekali. Bukannya Hazel tidak ingin mengunjungi mereka, hanya saja ia sudah lelah dengan pekerjaannya dan terkadang lebih memilih untuk tidur seharian mengisi kembali energinya sebelum bertarung dengan dunia.     Perhatiannya terbagi dua antara jalanan dan ponsel yang dipasang pada stand yang ada di samping roda kemudinya. Ia berniat mengirimkan pesan pada seseorang yang diberi nama Love. Belum sempat ia selesai mengetikkan kalimat, sebuah panggilan masuk dari kontak itu mengejutkannya. Segera ia menggeser dial hijau dan mengaktifkan speaker suara.  “Halo, sayang. Aku baru saja mau menghubungimu.” , sahut Hazel sebelum orang di seberang panggilan sempat untuk menyapanya terlebih dahulu.  “Oh? Begitukah? Sepertinya kali ini kau kalah cepat.” , balas seseorang di seberang sana terdengar senang.  Nada bicara pria itu membuat kegembiraan juga menular pada Hazel. Suara yang berat itu adalah hiburan untuk hatinya di kala sedih dan juga menjadi hal ia rindukan setiap malam. Menjalani hubungan jarak jauh setahun terakhir ini tidaklah mudah untuknya.  “Aku sedang menyetir, Neal.” , kata Hazel sebagai isyarat bahwa ia tidak bisa berbincang-bincang terlalu lama.  “Oh? Kau sudah mau pulang ke rumah?”  “Tidak. Ayah memintaku untuk datang menjenguknya. Ibu sedang sakit katanya.”  “Sakit? Apa sakitnya parah? Mengapa tidak membawanya ke rumah sakit dan malah menghubungimu?”  “Entahlah. Aku yakin ayah merencanakan sesuatu.”  Neal di seberang sana tidak langsung merespon. Terlihat jelas ia tampak berpikir.  “Baiklah. Jangan lupa untuk mengabariku apapun yang terjadi, ya? Aku ada rapat sore ini dengan klien, jadi tidak bisa sering menghubungimu.”  “Oke.”  “Aku tunggu kabar darimu. I love you, honey~”  “Love you too. ”  ***     Tidak pernah terpikirkan dalam benak Hazel, ia dijebak dalam situasi seperti ini. Begitu ia sampai, ibunya terlihat sangat sehat dan sedang menyiapkan makan malam dengan menu makanan yang memenuhi seluruh meja makan dengan 6 kursi dibantu dengan ayahnya. Setelah mengemudi selama 2 jam penuh masih dengan seragam rumah sakitnya, ia malah mendapati dirinya telah ditipu mentah-mentah.  “Kau datang juga. Ada apa dengan pakaianmu? Cepat mandi dan ganti bajumu dengan baju terbaikmu, mereka akan datang dalam 30 menit.” , ujar ibunya yang sibuk bolak-balik seperti setrikaan membawa piring-piring berisi makanan yang masih hangat menuju meja makan yang sudah ditata sedemikian rupa.  “Ada apa ini sebenarnya? Ibu tidak sakit? Dan siapa pula mereka yang ibu maksud?” , tanya Hazel terheran-heran masih berdiri di ambang pintu samping yang langsung menuju dapur.  Kali ini ayahnya yang baru saja muncul menuruni tangga dari lantai 2 yang menjawabnya, “Ayah ingin mengenalkanmu dengan anak dari teman baik ayah. Dia seorang pengacara.”  “Maksudnya, ayah mau menjodohkanku?” , tanya Hazel yang masih tidak mengerti apa rencana kedua orangtuanya.  “Umurmu sudah tidak muda lagi kan, sayang. Sudah tepat untuk menikah.” , timpal sang ibu mendukung sang ayah.  “Tapi aku sudah punya kekasih!”  Pernyataan dari Hazel membuat ayah dan ibunya terkejut dan mematung selama beberapa saat.  “Benarkah?” , tanya ibunya. Hazel mengangguk.  “Sejak kapan? Mengapa kau tidak mengenalkannya pada kami?” , interogasi ibunya lagi.  “Aku—”  “Jika belum dikenalkan pada kami maka kami anggap kau masih melajang. Sudah, cepat mandi dan ganti bajumu sebelum bau obat menyebar di seluruh bagian rumah.” , tukas sang ayah yang berlalu pergi menuju dapur untuk membantu ibunya.   “Ayah! Ibu!” , panggil Hazel tidak terima.     Ia bisa saja langsung menelpon Neal untuk memintanya segera datang, akan tetapi mengingat saat ini kekasihnya itu tengah rapat dengan salah satu klien berharganya. Tidak mungkin ia membuat bisnis Neal menjadi kacau hanya karena persyaratan aneh dari sang ayah. Pada akhirnya Hazel pasrah dan memutuskan untuk mengikuti alur ayahnya dan akan bicara apa adanya nanti.     Di antara semua pakaian bagus yang ia miliki di dalam lemari bajunya, Hazel memilih untuk mengenakan kaos putih lengan sampai siku dengan tanda ceklis di bagian dada yang dipadu dengan celana slit berwarna hitam yang memiliki belahan di bagian samping setinggi bawah lututnya.     Alih-alih turun ke bawah, Hazel memilih untuk diam di dalam kamarnya asyik dengan ponselnya. Sampai akhirnya pintu kamarnya diketuk mengejutkannya.  “Hazel? Kau sudah selesai? Mereka sudah di sini. Jika kau sudah selesai langsung turun ke bawah, ya.” , ujar ibunya yang berada di depan pintu kamarnya yang tertutup.     Hazel tidak menjawab dan ia bisa mendengar suara derap langkah kaki ringan ibunya yang menjauh dari kamarnya.  “Mari kita hadapi dan cepat selesaikan ini.” , gumamnya mengingatkan pantulan dirinya pada cermin besar di hadapannya.     Dengan sandal rumahnya yang berbulu, Hazel menuruni tangga dengan malas. Rasanya kian berat tiap ia menuruni satu anak tangga. Sampai akhirnya ia berada di akhir anak tangga dan mengangkat kepalanya untuk menatap 4 orang di meja makan yang tengah menatapnya. Satu pria muda di antara mereka menatap Hazel tanpa berkedip. Ia terpesona. Hazel yang berpakaian sederhana terlihat begitu anggun dan elegan di matanya.     Tanpa sadar, kini mereka sudah duduk berhadapan. Hazel berusaha keras untuk menunjukan keramahannya pada dua orang yang baru saja ia temui. Jika mendengar pembicaraan ayahnya dengan pria tua di samping pria muda di hadapannya, mereka adalah ayah dan anak. Sang ayah adalah mantan hakim ternama di kota dan anaknya yang masih tidak mengalihkan pandangannya dari Hazel adalah seorang pengacara dari firma hukum ternama.  “Silahkan, mengapa kalian tidak berkenalan satu sama lain?” , ujar ayah Hazel dengan sumringah. Rasa-rasanya dia adalah orang yang paling bahagia di meja makan.  “Hazel.” , ujar Hazel mengulurkan tangannya pada pria di hadapannya. Ia melakukan ini bukan atas kemauannya, hanya saja ia tidak ingin mencemari nama ayahnya dengan menjadi anak yang pembangkang.  Dengan agak ragu, pria di hadapannya juga mengulurkan tangannya dan mereka pun berjabat tangan, “Vince.” 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
102.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook