Pernikahan Yang Diatur
Aku bersembunyi di balik pintu, sementara ayah sedang mencariku di luar. Sialan! Umpat ku tak habis. Aku punya pacar, mana mungkin aku bisa menikah dengan orang lain. Apalagi yang aku dengar, dia laki-laki alim.
Tidak ada yang salah dengan laki-laki alim. Justru tipikal laki-laki yang begitu katanya sangat baik, dan aku menyadari aku tak terlalu baik.
Ku intip sebentar lewat jendela, kusibak tirainya sedikit. Kecemasan itu makin membuncah dan aku mulai panik. Ayahku benar-benar menungguku di luar.
"Aysha, buka pintunya. Acara sudah mau dimulai."
Aku menggigit ujung kukuku. Walau bagaimanapun aku tidak boleh menangis. Aku tidak akan menjatuhkan air mataku karena pernikahan ini. Alih-alih menangis, aku lebih suka marah, setidaknya lebih membuatku lega.
"Yah, Aysha gak mau nikah sama laki-laki itu!" tegasku dengan suara bergetar.
Tidak ada tanggapan. Apa ayahku sudah pergi, kenapa hening sekali, batinku bertanya ragu.
"Aysha, kalau kamu mau menikah dengannya. Maka ayah akan belikan kamu apa pun yang kamu mau, Nak. Ayo keluar, sayang. Kasihan keluarga Nak Reyhan."
Apa pun? Barusan ayah bilang akan membelikan aku apa pun setelah aku menikah?
Di kepalaku sekarang, bercokol banyak hal yang aku inginkan. Ponsel baru yang paling mahal, tas branded, sepatu, dan lain-lain.
Sialan! Ayah selalu tahu cara merayu, batinku kesal bukan main. Kalau begini, bagaimana caraku menolak?
"Aysha, apa kamu beneran gak mau?"
Aku menggeleng. Aku tetap tidak mau.
"Gak, Yah!"
Ayah pikir aku akan mudah tergoda. Jujur, aku memang hampir tergoda, sih. Tapi aku bulatkan tekad, aku tidak boleh tergoda oleh bujuk rayunya.
"Kalau begitu, jangan salahkan ayah. Jika fasilitas yang bisa kamu nikmati akan ayah cabut!"
Aku mendelik. "F-Fasilitas?"
"Ayah tidak bercanda, Aysha. Menikah atau kamu mau hidup di pesantren saja?"
Aku ingin menjerit sekuat-kuatnya. Kalau begini aku tidak mungkin sanggup.
Alhasil aku membuka pintu dengan tubuh lemah ku. Wajahku pasti sangat pucat, aku tidak punya pilihan selain menerima pernikahan itu.
"Gimana, Aysha? Kamu mau, kan, menikah dengan Reyhan?"
Aku mengangguk pelan. Jujur aku sangat terpaksa. Tapi jika aku diharuskan ke pesantren, maka aku lebih memilih menikah. Lihat saja, aku akan buat perhitungan pada pria bernama Reyhan.
***
"Kamu duduk di sini, ya, Nduk. Pengantin prianya sebentar lagi akan mengucapkan ijab qobul," kata Bude Ajeng, dia adalah kakak kandung ayahku satu-satunya. Jujur, aku mendadak ingin menangis melihat wajahnya.
"Bude." Suaraku mendadak hilang. Ujung mataku terasa pedih.
"Nggih, Cah Ayu. Kamu kok kelihatan sedih?" tanya Bude.
Bagaimana tidak sedih, batinku miris. Siapa yang mau dipaksa menikah begini.
Namun, aku menangis bukan karena itu.
"Bude, Aysha kangen Bunda," ucapku dengan suara tersengal.
Bude Ajeng langsung berkaca-kaca. Bude Ajeng adalah orang yang paling baik, sudah aku anggap seperti ibuku. Tapi tidak ada yang bisa menggantikan posisi bunda, meski kata Ayah, bunda sudah tenang di alam sana.
"Nduk, kamu anak Bude, Sayang. Jangan sedih ya. Bunda pasti bahagia. Kamu akan menikah dengan pria yang saleh."
Tangis ku kian pecah. Aku bukan gadis yang cengeng. Semenjak kehilangan bunda, aku terbiasa tegar. Ayahku sering pergi dinas ke luar kota, terkadang malah ke luar negeri. Hanya bude Ajeng saja yang menemaniku di rumah. Bude Ajeng sibuk, dia punya usaha kecil-kecilan. Membuat kue, menerima pesanan untuk acara hajatan. Karena itu aku lebih sering main di luar dengan teman. Meski begitu, aku sama sekali tidak merasa kesepian.
Tidak biasanya, hari ini aku sangat teringat bunda dan aku menangis tersedu di pelukan bude Ajeng.
"Udah, Nduk. Nanti dandanan kamu luntur, Sayang."
Bude Ajeng mulai membenahi riasanku. Selain pandai membuat kue dan masakan, Bude Ajeng juga pandai merias. Bude Ajeng bukan perias pengantin. Khusus di pernikahan ku saja, katanya Bude ingin merias ku agar menjadi yang tercantik.
**
"Saya terima nikahnya Rumaysha Zahratunnisa, dengan maskawin perhiasan emas dua puluh lima gram, beserta uang tunai sebesar satu juta rupiah dan juga seperangkat alat shalat dibayar tunai."
"Bagaimana saksi?"
"Sah!"
Tangisku meledak. Aku memeluk Bude Ajeng sekuatnya. Gila! Jadi sekarang aku sudah menikah dengan seorang Gus!
Putra kiai terpandang pondok pesantren Al-Faaz.
Membayangkan saja tidak pernah, apalagi jika harus menikah. Aku hanyalah gadis yang suka nonton drama Korea, membicarakan idola Korea kesayanganku. Jeon Jungkook, pacarku, kini aku sudah menjadi milik orang lain.
"JK, forgive me!" tangisku sambil memegang bahu Bude Ajeng.
"JK ki sopo, Aysha?" tanya Bude Ajeng. Bude kaget mendengar aku menyebut JK barusan.
"JK nama orang, atau apa?" lanjut Bude.
Astaghfirullah. Aku lupa, bude Ajeng tidak kenal siapa JK alias Jeon Jungkook. Dia adalah pacarku, dan aku terpaksa harus menikah dengan orang lain.
"Pacar Aysha, Bude," jawabku refleks.
"Astaghfirullah Gusti Pangeran!"
Aku melepaskan pelukanku. Bude Ajeng melotot, jujur itu sangat menyeramkan.
"B-Bude kenapa?" tanyaku gagap.
"Kamu tanya kenapa?" sahut Bude sambil menggelengkan kepala. Sanggul besar yang tertutup kerudung itu ikut bergoyang.
"Iya, Bude kok kayak marah?" tanyaku lagi, apa karena aku mengatakan—JK pacarku?
"Eh, Bude, sorry, salah."
Tentu saja aku harus meminta maaf sudah membuat bude Ajeng salah paham. Walau JK memang benar pacarku, sih. Ah sudahlah, bude Ajeng tetap tidak akan satu pemahaman denganku seorang—Fangirl.
"Apa maksudmu, Aysha?" Suara bude Ajeng bergetar. Alisnya bertaut dengan bibir terkatup.
"I-itu bukan maksudnya pacar kok." Aku menarik napas panjang sebelum menjelaskan.
"Tadi kamu bilang pacar. Pendengaran Bude walau udah tua gini, masih jelas loh Nduk. Kamu tega sekali, kasihan suamimu," kata Bude Ajeng.
Aku yakin kalau tidak ku perjelas maka Bude Ajeng akan semakin menjadi-jadi.
"Bude, JK itu Jeon Jungkook, nama member bi ti es," kataku.
"Bi ti es?" eja Bude Ajeng agak kesulitan. "Opo sih, Aysha?" lanjutnya mulai kesal.
Aku mengambil foto yang ada di dalam tasnya, lalu memberikannya pada Bude Ajeng.
"Itu loh, Bude. Boyband Korea," jelasku.
Bude Ajeng agak mengernyitkan kening. Ia lalu mengambil kaca mata yang dia gantungkan di leher. "Iki Bi ti es kui?"
"Njeh, Bude," angguk ku.
"Owalah Aysha! Pantes kamu suka, guantenge cah cah!" seru bude Ajeng membuatku tercengang.
Rupanya pesona Jeon Jungkook memang bisa menghipnotis para wanita, tidak terkecuali bude Ajeng.
**
"Aysha, ayo kita temui suami kamu," kata Ayah.
Aku memaku di posisiku berdiri. Apa benar aku harus menemuinya. Aku baru mendengar namanya, belum pernah melihat wajahnya.
Hanya berbekal dari cerita bude Ajeng, katanya suamiku tampan, tidak kalah dari Jeon Jungkook. Ya, semenjak bude tahu siapa JK, bude jadi sering tersenyum-senyum sendiri.
"Aysha, ayo," ajak ayah ku lagi.
"Yah, Aysha belum siap," ucapku menggelengkan kepala secepat kilat.