Aku termangu dengan tangan bersedekap. Perutku terasa melilit, aku lupa bahwa aku belum makan apa pun sejak semalam. Bude Ajeng tengah memakaikan kain berwarna putih di wajahku.
Rasanya tidak nyaman, kain itu menutup sebagian wajahku. Sekarang, malah hanya menyisakan sepasang mata saja yang kelihatan.
“Bude, ini apa sih? Aysha gak mau pakai ini,” gelengku menolak mengenakan kain putih yang kini sudah menutupi wajahku.
Kerudung panjang menutup d**a masih bisa kuterima, walaupun aku merasa kegerahan.
“Ini namanya cadar.”
“Cadar?”
“Pakai saja, ya. Ini permintaan suami mu, Aysha,” kata Bude Ajeng memperjelas.
Aneh-aneh saja, sih. Buat apa dia meminta aku menutupi wajahku begini. Apa jangan-jangan dia mengira wajahku jelek. Sialan sekali, belum tahu dia siapa yang sudah dinikahi. Aku, Rumaysha Zahratunnisa, dikenal paling cantik satu RT, begitulah yang selalu diucapkan sahabatku, Radhia.
Sayangnya, Radhia harus dikirim ke pesantren oleh kedua orang tuanya.
Sejak Radhia di pesantren, aku jadi tidak punya teman berbagi.
Radhia pulang sewaktu lebaran idul fitri. Saat itu aku tahu darinya, bahwa tinggal di pesantren itu seperti di penjara. Tidak bebas, banyak larangan, dan yang paling penting tidak boleh menggunakan ponsel.
Mengerikan, aku tidak mau ke sana.
“Sudah selesai. Kamu bisa keluar bersama dengan ayah kamu, Aysha,” ucap Bude Ajeng tersenyum.
“Bude,” panggilku berbisik pada bude Ajeng.
Aku menengok ke kanan-kiri, takut ada yang mendengar.
“Nggih,” jawab bude Ajeng mendekatiku.
“Apa orang itu malu menganggap aku jelek, jadi dia malu kalau wajahku terlihat oleh banyak orang?” tanyaku hanya penasaran.
Kalau benar begitu, awas saja nanti, batinku tak terima.
Bude Ajeng malah tertawa.
Apanya yang lucu? Aku menggeleng keheranan.
“Bude kok malah ketawa?” Aku bertanya, karena memang tidak ada yang lucu sama sekali.
“Aysha, justru sebaliknya," kata bude.
“Sebaliknya gimana?”
“Suami kamu tidak ingin kecantikanmu dinikmati banyak orang,” terang bude Ajeng.
Ah, kenapa bisa begitu. Bukannya kecantikan malah harus ditunjukkan. Setidaknya, dia patut bangga jika istrinya cantik. Pikiranku, sih, begitu.
“Kok aneh sih, Bude,” ucapku polos.
Bude menggeleng ringan. “Sudah. Kamu harus segera menemui suamimu, ya. Ingat, jangan bikin malu. Kamu harus ikuti arahan, sopan, hormati suamimu ya, Nduk.”
Aku hanya menganggukkan kepala.
Memangnya aku mau apa, aku pasti sopan, batinku.
Ayah datang menemuiku lagi. Aku melihat sudut matanya merah.
“Ayo kita ke luar, Nak,” ajak ayahku seraya mengulurkan tangan.
Aku terpaku, mendadak lidahku kelu. Jantungku berdegup kuat tak karuan. Aku gugup bukan kepalang.
“Gandeng tangan Ayah, Aysha,” ucap Ayah.
Rupanya itu tujuan ayah mengulurkan tangan. Aku menerima uluran tangan ayah kemudian menggandengnya meski ragu-ragu.
Ayah tersenyum kecil, akan tetapi bibirnya malah bergetar, matanya semakin merah.
Kulewati jalanan dengan karpet dari bahan beludru. Bunga-bunga terlihat indah menghiasi sekitar tempatku berjalan bersama Ayah. Aku keluar dari ruangan tadi, tempatku berdua bersama Bude Ajeng.
Lampu mulai menyorot ke arahku dan ayah. Disitulah jantungku berdegup makin kencang. Aku mulai takut, keraguan yang makin menjadi-jadi kurasakan.
“Ayah, Ay gak mau.”
“Aysha, kamu sudah sah menjadi istri Reyhan, Nak.”
Aku tertunduk pilu. “Gitu, ya.”
“Iya, Sayang. Jadi tidak usah bilang tidak mau terus. Ayah bosan.”
“Iya,” jawabku pasrah.
Ayah menggandengku menuju mimbar di mana ada seorang pria mengenakan pakaian serba putih. Apakah dia suamiku yang bernama Reyhan. Aku terus bertanya-tanya dalam hati, karena memang tidak tahu.
“Nak, duduklah,” ucap ayah dan aku pun duduk walau gugup luar biasa.
Di sebelahku sekarang sudah duduk seorang laki-laki. Jadi benar, orang yang mengenakan pakaian serba putih itulah suamiku.
“Aysha, ini adalah Muhammad Reyhan Al Faaz, suami sah mu.”
Aku gemetar bukan main. Bukan karena terharu dan bahagia aku sudah menikah. Tapi aku takut dengan apa yang akan terjadi di hari-hari ku nanti setalah aku menatap wajah laki-laki itu.
Bagaimana jika yang katanya tampan rupawan di mata Bude Ajeng, ternyata berbeda di mataku.
“Rumaysha Zahratunnisa.”
Aku membeku sewaktu dia mengucapkan namaku. Sontak aku mengangkat wajah, menoleh ke arahnya yang memanggilku.
“Ya,” jawabku terputus. Aku terkejut begitu melihat wajahnya.
“Lo siapa?” tanyaku. Hampir saja aku berteriak histeris. Sungguh parasnya sangat indah seindah cahaya surga.
"Maksudnya, kamu siapa?"
“Saya suamimu,” jawabnya singkat tidak kedengaran ragu.
Benar. Kenapa aku bodoh. Jelas dia yang ada di dekatku, artinya dia suamiku. Baru saja ayah memberitahu namanya. Muhammad Reyhan Al Faaz, rupanya dia benar-benar tampan rupawan.
Aku meneguk ludah keras. “Oh, maaf.”
“Silakan Nak Reyhan, boleh mendoakan Aysha,” kata ayahku.
Di sebelah ayah ada kiai Zaman, beliau adalah teman ayah yang menikahkanku dengan Reyhan. Aku tidak melihat keluarga lain, hanya beberapa tetangga dan kerabat. Lantas di mana keluarga suamiku, batinku bingung.
“Aysha, orang tua Reyhan tidak bisa datang. Mereka masih di Mekah menunaikan ibadah umrah,” terang kiai Zaman.
“Oh.”
“Orang tua Reyhan mewakilkan pada saya. Beliau memohon maaf sebesar-besarnya. Berhubung pernikahan ini agak mendadak, jadi mereka tidak bersiap sebelumnya.”
Aku hanya mengangguk saja. “Iya.” Memang benar mendadak. Entah apa yang membuat ayah terburu-buru ingin aku menikah. Apa karena belakangan aku sering pergi main dengan teman, ayah jadi cemas dan menikahkanku sebagai jalan pintas.
“Reyhan, silakan doakan istrimu,” kata kiai Zaman.
Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh laki-laki disebelah ku. Yang jelas aku hanya terus menatapnya, menurutku dia sangat tampan luar biasa. Ya, aku hanya bisa menilai wajah, belum hal lainnya. Semoga saja dia tidak pingsan begitu tahu perangaiku yang sebenarnya.
Reyhan meletakkan telapak tangannya di atas kepalaku. Aku tersentak mengangkat bahu. Reyhan menatapku datar, dingin, sepertinya dia tidak suka pernikahan ini. Terlihat sekali dari auranya.
“Jangan tegang, Aysha,” kata ayah mengingatkan.
Aku melihat dia menggumam kan sesuatu dari bibirnya. Apakah itu merupakan doa yang dimaksud kiai?
“Alhamdulillah,” ucap ayahku dan kiai Zaman bersama.
Reyhan menarik kembali tangannya lalu mendekatiku.
Aku bergerak mundur. Dia mau apa, sih.
Sambil meneguk ludah aku menatapnya sengit. Dia hanya bisa melihat sorot mataku dari balik kain putih.
“Saya hanya ingin mengecup kening mu, Rumaysha Zahratunnisa.”
Aku mendadak seperti patung. Reyhan benar-benar menempelkan bibirnya ke keningku beberapa detik sebelum mundur.
Barusan aku dicium olehnya, dan aku sangat tercengang dengan sentuhan lembut di keningku itu.
Bibirnya terasa sangat halus. Pertama kalinya aku dicium di kening selain dari ayah.
“Aysha, cium tangan suamimu,” kata kiai Zaman.
Aku terkesiap lalu refleks mengecup kening Reyhan.
“Astaghfirullah," sebut Reyhan kelihatan kaget mendapati kecupan di keningnya.
“A-Apa salah?” tanyaku padanya.
Reyhan tidak menjawab, hanya alisnya berkerut tidak jelas artinya.
“SubhanAllah” ucap kiai Zaman sedikit senyum.
Sedangkan ayah malah menepuk kening tidak tahu kenapa.
“M-Maaf, saya salah, ya, kiai?” tanyaku pada kiyai.
“Oh, tidak,” geleng kiai.
Lantas kenapa semua malah tersenyum simpul ke arahku.
“Tidak salah jika istri mencium suami, itu malah berpahala," jelas Kiai.
"Hanya saja tadi saya meminta kamu mencium telapak tangannya, bukan keningnya,” lanjut kiai padaku sambil mengekeh pelan.
Sumpah! Aku sangat kehilangan muka walau wajahku tidak terlihat menyisakan sepasang mata saja.
“Ya Allah, maafkan, ya, Pak Rey.”
Panggilan itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku menyebutnya Pak Rey.
“Panggil saja suamimu Mas," ujar ayah.
"M-Mas?"
Reyhan sama sekali tidak menatapku setelah itu. Dia hanya duduk di sampingku dan menatap ke depan lurus.
“Oh, baik, Mas. Maafin gue ya.”
Aku menutup mulutku cepat. Aku tidak terbiasa berbicara formal dihadapan orang.
"Maksudnya, maafin aku ya, Mas."
Segera aku memegang tangannya walau gugup.
“Iya, Aysha, kamu harus cium tangan suamimu,” kata Ayah gemas. Mungkin ayah kesal dan malu karena kelakuanku tadi.
Setelah itu gugupku bukan hilang malah semakin bertambah. Reyhan menggerakkan telapak tangannya, mengarahkannya agar menyentuh ke hidungku. Alhasil aku baru saja mengecup tangannya.
Saat itu aku kehilangan energi. Rasanya sisa tenagaku terkuras habis. Prosesi yang seharusnya tidak lama dan berbelit-belit. Tapi aku membuat semuanya terasa tidak kunjung berakhir. Jujur, aku ingin makan, perutku sakit sekali.
Di depan suamiku, pandanganku mulai memburam. Tidak ada cahaya apa pun sekarang, aku lemas dan jatuh pingsan.