Laki-laki itu sangat tidak bisa diprediksi. Awalnya aku mengira, akan mudah menggodanya sekaligus membuat takluk. Namun bukan aku yang menaklukkannya, bisa-bisa malah sebaliknya.
Reyhan, semakin aku berusaha memojokkannya. Justru dia yang berhasil membuatku terpojok hingga terperosok.
Itu bukan sekedar ancaman. Semalam Reyhan benar-benar akan melakukannya denganku. Hal yang dia katakan memberi nafkah batin dan menunaikan kewajiban.
Aku pun seketika merinding sewaktu mengingat kembali yang terjadi malam tadi.
"Jika seorang laki-laki mengajak istrinya ke tempat tidur hendaknya ia memenuhi panggilannya, meskipun itu berada di atas sekedup."
"S-Se-de?"
"Sedekup. Sekedup adalah sesuatu yang diletakkan di atas punggung unta. Digunakan oleh penunggangnya sebagai tempat duduk, berlindung diri dan berteduh."
Aku langsung lemas mendengar ucapannya itu semalam. Seketika aku kehilangan keberanian untuk menggodanya lagi. Aku berpikir bagaimana caranya melakukan hal itu di atas unta? Apa dia gila? Ah tidak! Itu pasti karena aku yang bodoh.
"Meski demikian, hendaknya sang suami juga memperhatikan kondisi istrinya. Misalnya apakah sang istri dalam keadaan sakit, hamil, capek, atau dirundung kesedihan, sehingga tak terjadi perpecahan dan keharmonisan rumah tangga tetap terjaga," tutup Reyhan.
Begitu kakinya melangkah ke arahku, rasanya tubuhku lemas.
"Jangan Mas Rey, gue belum siap!" pekikku takut luar biasa.
"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."
Aku tercengang. Dia benar-benar menguasai ilmu agama dengan baik. Semua perkataan ku dijawab panjang lebar olehnya. Mendengarnya berkata begitu membuat aku benar-benar menciut sekecil debu.
"Tidurlah, Aysha. Saya tidak akan memaksa."
***
Semenjak kejadian semalam, aku jadi lebih banyak diam.
Hari ini adalah hari Jumat. Seperti biasa, laki-laki akan menunaikan salat jumat di masjid. Aku sudah salat zuhur karena bude Ajeng terus mengingatkanku sambil kesal. Ya, begitulah aku, tidak langsung menunaikannya, melainkan sengaja menunda-nunda karena malas.
Reyhan berjalan ke arahku. Dia tampak sangat tampan dengan baju berwarna serba putih dan juga kopiah senada. Wajahnya yang putih bersih semakin menyilaukan hingga aku tak kuasa memandang kelamaan.
"Assalamualaikum, Aysha."
"Wa'alaikumussalaam," jawabku pelan.
Aku tadinya sedang duduk di dekat kolam, sambil melempari makanan ikan. Mendadak aku ingin pergi dari sana, situasinya masih sangat terasa menegangkan karna semalam.
"Mau ke mana?" tanyanya mencoba menghentikan ku.
"Ke dalam," jawabku lalu berjalan meninggalkannya.
"Aysha, tunggu."
Aku menggeram tertahan. Rasanya aku ingin berlari menjauhinya. Pria alim yang sanggup membuatku mati kutu dan merinding.
"Kenapa kamu sejak subuh tadi hanya mendiamkan saya?"
Rupanya dia menyadari perbedaan sikapku. Tadinya kupikir dia sama sekali tidak akan menyadarinya sama sekali.
"Tidak, kok," gelengku mengelak.
"Jika karena semalam, saya—"
"Hentikan, Mas. Kamu membuat aku merinding!" kataku menegaskan sambil berbisik pelan takut ada yang mendengar.
Reyhan melirik ke kanan dan ke kiri. "Karena itu kita pindah saja, supaya kamu tidak canggung karena ada orang lain."
"Apa?"
Reyhan tidak sadar jika yang membuatku canggung bukan orang lain, tapi malah dirinya.
"Saya akan mengajak kamu ke rumah saya pribadi. Bukan ke pesantren. Jadi kamu tenang saja," katanya.
Aku meneguk ludah gugup. Apa dia tahu bahwa aku sangat takut jika dikirim ke pesantren?
"Tidak mungkin! Kamu seorang Gus, itu artinya kamu anak kiai. Pasti tempat tinggal kamu di pesantren kan Mas?" ujarku padanya.
Reyhan menggeleng. "Saya hanya laki-laki biasa yang belum lama menuntut ilmu agama di pesantren. Ilmu saya masih sangat cetek, Aysha."
Aku hanya diam setelah dia berkata begitu.
"Kamu mau, ya, saya tidak akan membuat kamu tersiksa."
Entah mengapa aku merasa Reyhan agak memaksaku sekarang.
"Aku belum mau, nanti kalau aku sudah yakin. Aku akan beritahu kamu."
Aku kembali ke kamar setelah seharian melakukan pekerjaan rumah. Ya, begitulah, semenjak menikah, bude Ajeng jadi di rumah terus. Alasannya ingin mengajariku banyak hal tentang ilmu rumah tangga. Kenapa baru sekarang, sih. Kalau dari dulu bude Ajeng sering di rumah, mungkin aku tidak perlu mencari teman di luar rumah sampai jarang pulang.
"Aysha, ini ayah, Nak."
Tumben sekali. Tidak biasanya ayah mendatangiku malam begini. Memang, sih, baru pukul delapan malam. Tapi tetap saja aku curiga. Jangan-jangan ayah hendak memberiku petuah.
Sama halnya yang dilakukan bude Ajeng tadi kepadaku. Menasehati, tentang bagaimana caranya menjadi istri Shalihah.
"Aysha, kamu lagi ngapain?"
Akhirnya aku berjalan mendekati pintu. Kuputar kenopnya dan benar saja, Ayah sudah berdiri tidak sabar menungguku.
"Ayah masuk ya."
Padahal aku belum mempersilakan, ayah sudah lebih dulu masuk ke kamarku begitu saja.
"Ada apa, sih, Yah? Tumben cari Ay malam gini," ucapku bertanya.
"Ayah mau bicara, sini duduk."
Aku menghela napas. Pasti benar, perasaanku tidak akan salah. Ayah pasti ingin memberiku petuah.
"Ada apa, Yah? Ayah mau nasehatin Aysha?"
"Kok kamu tahu?"
Benar saja. Dugaanku tidak meleset.
"Aysha udah tahu apa yang ingin ayah katakan. Pasti ayah mau bilang agar Aysha jadi istri yang shalihah, kan?"
Ayahku menggeleng. Hah, jadi aku salah?
"Lho, bukan?"
"Bukan."
"Terus mau ngapain?" tanyaku lagi.
"Ayah mau mengatakan hal lain," jawab ayah membuatku agak berpikir.
"Duduk dulu dong, biar enak," kata Ayah.
Aku pun duduk di sebelahnya. Dia mengelus kepalaku dengan lemah lembut. Aku jadi agak tersentuh.
"Semenjak beberapa hari lalu kamu sah jadi istri Reyhan. Ayah belum pernah ajak kamu ngobrol ya?"
Sepertinya memang begitu. Ayah terlalu sibuk mengurus pekerjaan. Masih sama, seperti sebelum ia menikah.
"Tuh ayah tahu, kirain ayah nggak ngerasa," anggukku.
"Maafkan ayah, ya, Nak. Ayah sibuk mengurus kepindahan kamu. Baru saja ayah memastikan kamu akan tinggal di rumah yang layak bersama Reyhan."
"Hah? Apa maksud ayah?"
"Ayah membelikan kamu dan Reyhan rumah baru. Tapi ... sayangnya, Reyhan menolak rumah permberian ayah, Nak."
Aku tidak mengerti apa maksudnya ini. Jadi, ayah membelikan rumah untukku dan Reyhan. Tapi Reyhan menolak?
"Kenapa dia menolak? Dan untuk apa ayah beli rumah. Aysha cuman mau tinggal di sini aja!" tegasku.
Jangan bilang aku harus pindah. Aku belum siap jika hidup hanya berdua dengan Reyhan saja. Aku masih ingin tinggal bersama bude Ajeng dan Ayah. Walau ayah sering sibuk dan tidak ada di rumah. Begitu pun bude Ajeng yang banyak sekali pekerjaan. Aku tetap menyukai rumah ini.
"Nak, kamu udah nikah. Jadi tanggung jawab mengurus kamu sekarang berpindah ke Reyhan, suamimu. Ayah tidak bisa memaksa, keputusan Reyhan tidak bisa dibantah.
Sebagai suamimu, dia ingin bertanggungjawab, termasuk memberikan tempat tinggal yang layak."
Aku menggelengkan kepala. Jadi benar aku harus pindah. Aku tidak mau, aku benar-benar tidak ingin pindah.
"Aysha gak mau pindah, Yah!"
"Aysha, kamu gak boleh gitu. Kamu janji, akan patuh padanya."
"Tapi, Yah, bukan berarti Aysha harus ninggalin ayah dan bude!" tegasku serius.
Ayah menghela napas panjang, dia lalu memelukku. Tangisku pecah, aku tidak bisa menahan rasa sedihku yang membuncah.
"Ayah ngerti. Tapi ayah udah cukup bahagia kamu bisa mendapatkan suami yang shalih, kamu harus banyak bersyukur, Aysha. Kelak surgamu ada padanya, bukan pada ayah."
Aku tidak mendengarkan perkataan ayah, aku hanya sibuk menggelengkan kepala.
"Besok kamu harus pindah ya. Katanya Reyhan udah coba bilang sama kamu. Tapi kamu gak mau."
"Aku emang gak mau Yah!"
"Ayah mohon, kamu jangan gitu. Kamu gak boleh menolak perintah suami kamu selagi itu adalah hal yang baik."
Saat itu aku tahu, apa pun yang aku katakan, berjuta penolakan sekalipun tidak akan ada gunanya. Jika ayah sudah berbicara, maka selesailah.
Aku tidak sengaja melirik ke arah pintu. Kebetulan aku tadi belum menutupnya. Aku melihat ada Reyhan di sana. Apa dia mendengarkan pembicaraanku dengan ayah?
"Ayah ngusir Aysha, ya?"