Author's POV
Adam perlahan-lahan membuka matanya. Ia mulai bisa melihat sekelilingnya meski agak samar. Dia mengernyitkan keningnya, merasa asing dengan apa yang dilihatnya. Ada rasa sakit di d**a sebelah kirinya yang membuatnya butuh sedikit lebih lama untuk bisa sadar sepenuhnya.
"Kamu sudah sadar rupanya,"
Suara itu membuat Adam menolehkan kepalanya ke sebelah kiri. Disana ia melihat Deden, kakak Tika sudah berdiri sambil menatapnya lekat.
"Apa aku masih hidup?" tanya Adam, ingatannya kembali. Ia telah mengingat kejadian terakhir kali dimana jantungnya ditusuk oleh pedang milik Erika.
Pedang kaum circle, dipercaya menghancurkan apa yang ditusuknya hanya dalam waktu setengah menit. Siapapun yang tertusuk pedang itu tidak akan selamat dan Adam ingat betul bahwa ia telah ditusuk. Seharusnya, kini dia sudah mati.
"Masih, kamu belum mati," jawab Deden membuat Adam mengerutkan keningnya.
'Bagaimana bisa?" tanya Adam heran.
"Ketua dari kaum unicorn yang telah membantumu secara langsung. Dengan kekuatannya, jantungmu yang nyaris hancur berkeping-keping berhasilkan dipulihkan!" jawab Deden menjelaskan.
"Mengapa dia membantuku? Bukankah kaumku pernah menyerang kaumnya?" tanya Adam lagi.
Deden hanya tersenyum tipis.
"Tidak ada pilihan lain. Kita sudah dalam masa perang, sesama sekutu tidak boleh terpecah. Jika itu terjadi, maka kita akan mudah dihancurkan!" jelas Deden.
"Lalu bagaimana dengan Tika? Apa dia baik-baik saja?" tanya Adam cemas.
Deden mengangguk.
"Iya, dia baik-baik saja. Sekarang dia tengah berlatih bersama Bagas, ketua kaum unicorn untuk mengontrol kekuatannya yang nyaris lose control dan menewaskan sekutunya sendiri,"
"Sudah berapa lama dia berlatih?" tanya Adam.
"Sudah seminggu," jawab Deden.
"Heh? Lalu bagaimana dengan tugasnya? Bukankah dia akan mati jika dalam dua hari tidak menjalankan tugasnya sebagai Helper?" tanya Adam.
Deden terkekeh mendengar pertanyaan konyol Adam.
"Heh boncel, apa kamu lupa? Tika yang sekarang bukan lagi Helper rendahan! Dia sudah menjadi ratu dari 6 kaum, itu artinya dia tidak perlu lagi melakukan tugas itu,"
"Lantas?" tanya Adam masih belum sepenuhnya mengerti penjelasan Deden.
"Tugasnya sekarang adalah menahlukkan atau di tahlukkan oleh Queen!" jawab Deden menegaskan.
Adam terdiam, ada sesuatu yang masih mengganggunya.
"Tapi bukankah ada harga yang harus dibayar saat dia menjadi ratu dari 11 kaum yang tersisa?" tanya Adam dengan ragu.
Deden mengangguk.
"Iya, dia harus mempersatukan semua kaum dan menjaga kedamaian dengan harga yang sangat mahal," jawab Deden dengan hembusan napas berat.
Adam dan Deden terdiam beberapa waktu. Keduanya mengembara dalam pikiran masing-masing.
"Tentang sekolah, apa-,"
"Jangan konyol! Kita bukan manusia biasa. Keberadaan kita akan terhapus seiring waktu. Saat kutukan dan perang ini dimulai maka keberadaan semua yang terlibat dalam perang akan terhapus dari semua ingatan manusia biasa," potong Deden.
"Karena itulah sekarang aku di rumahmu bukan di rumah sakit?" tanya Adam menyimpulkan.
Deden mengangguk.
"Iya, lagipula rumah sakit tidak akan mampu menyatukan kembali jantungmu yang porak-poranda bukan?" pungkas Deden.
Adam hanya mengangguk pelan.
"Iya," sahutnya singkat.
"Terimakasih," imbuhnya.
Deden hanya tersenyum.
"Simpan saja terimakasihmu untuk Bagas, dia tengah mengerahkan segala kemampuannya untuk menjadikan Tika ratu terkuat," ujar Deden.
Adam bangun dari tidurnya, walau jantungnya masih sakit, ia tidak ingin terbaring lemah saat semua orang sedang berjuang.
"Kalau Rio, bagaimana dengannya?" tanya Adam.
Deden meraih kursi yang berada tidak jauh darinya, menyeretnya mendekat lalu duduk.
"Dia ada di bawah," jawab Deden.
Adam mengernyitkan keningnya.
"Dengan para sekutu yang lain," lanjut Deden.
"Apa kamu ingin berkenalan?" tanya Deden setengah menggoda Adam.
"Tidak, aku-,"
"Yah, mereka akan kukenalkan denganmu," katanya Deden lalu melakukan sedikit gerakan hingga pintu kamar di kamar itu terbuka.
Tak lama kemudian derap langkah pun terdengar semakin jelas. Rio dan para sekutunya sepertinya telah tahu apa yang Deden inginkan meski tanpa dikatakan dengan verbal. Deden menggunakan kekuatannya untuk memanggil Rio dan lainnya.
Adam mendengus kesal, ingin protes tetapi tidak bisa. Dia masih lemah dan kekuatannya belum pulih benar. Jadi, dia hanya bisa pasrah untuk saat ini.
Rio dan para sekutunya masuk. Ada 3 orang dan dua di antaranya seorang cewek.
Adam tertegun, menatap lekat wanita yang memakai penutup mulut itu.
"Baiklah, kenalkan. Ini si boncel dari kaum watcher. Walau tampilannya begini, dia cukup kuat!" Deden mulai memperkenalkan Adam.
"Hah? Apa maksudmu tampilannya begini huh?" dengus Adam kesal.
Deden hanya tertawa puas menanggapi protesan Adam. Tak lama kemudian, setelah tawanya mereda, ia melanjutkan ucapannya.
"Boncel ini memiliki tiga kekuatan utama, memperlihatkan masa lalu atau masa depan seseorang, menanamkan pikiran ( ilusi ) dan juga menghapus ingatan, jadi semuanya berkaitan dengan pikiran manusia. Kekuatan bertarungnya 70%," jelas Deden.
"Kalau kamu?" tanya Irene pada Deden.
"Aku? Setengah Helper dan circle, kekuatanku telekinesis, membaca pikiran dan ini." Deden menunjuk ke matanya.
"Red eye?" tebak Irene.
Deden mengangguk mengiyakan.
"Apa itu?" tanya Adam penasaran.
"Pain," jawab Deden.
"Suatu kemampuan memberikan rasa sakit yang dasyat pada siapapun yang menatap matamu, ya kan?" tebak Irene.
Deden mengangguk
"Betul sekali," jawab Deden senang karena ada seseorang yang mengetahui kemampuan tersembunyi miliknya yang awalnya hanya diketahui oleh keluarganya saja.
"Baiklah, mari kukenalkan!" kata Rio mulai memperkenalkan para sekutunya.
"Dia Jasper, kaum devil. Kekuatan bertarung 90%. Kekuatan utamanya adalah mengontrol api dan angin,"
Jasper hanya menundukkan kepalanya, tanda sapaan pada Adam dan Deden yang langsung disambut oleh anggukan kepala juga oleh mereka berdua.
"Ini Claudia, setengah lucifer dan witcher, kemampuan bertarung 40%. Kekuatan utamanya sihir, pengendali bumi dan bisa masuk ke tanah," kata Rio memperkenalkan seorang wanita berambut cokelat yang hampir wajahnya tidak terlihat karena ditutupi oleh rambutnya.
"Kalau ini."
"Aku Irene, kaum sataniel. Kemampuan bertarung 80%. Kekuatan utamaku mengendalikan pasukan setan, angin dan juga perisai!" potong Irene memperkenalkan dirinya sendiri.
Deden dan Adam hanya mangut-mangut.
"Pasukan setan, itu maksudnya kamu bisa-,"
"Ya," potong Irene.
Perlahan ruangan menjadi gelap, pekat dan sepasang mata merah mulai muncul dari belakang Irene. Awalnya hanya dua, empat lalu menjadi banyak.
Adam bergidik ngeri lalu menutup kedua matanya secara spontan.
"Sudah, hentikan! Aku sudah paham!" mohon Adam.
Irene tertawa, keadaan pun kembali menjadi normal.
"Kamu yakin kalau kaum watcher? Bagaimana bisa kamu takut pada pasukan setanku huh? Cupu sekali!" ujar Irene setengah mengejek.
"Aku tidak cupu, dia yang cupu!" tunjuk Adam pada Rio.
"Aku bukan cupu, tapi keren!" sanggah Rio sembari menaikkan kacamatanya, bertingkah sok keren sehingga membuat Adam mendadak mual.
"Kau menyebalkan!" desisnya pelan.
"Jadi kau menemukan tiga?" tanya Deden.
Rio mengangguk.
"Bagaimana denganmu?" tanya Rio pada Deden.
"Aku sudah meminta bantuan beberapa teman yang juga bernasib sama denganku, tanpa kaum, mereka akan ikut bergabung beberapa hari lagi saat Tika sudah siap," jawab Deden.
"Kalau kamu boncel? Apa kaummu siap membantu?" tanya Rio pada Adam.
Adam menganguk pelan.
"Ya, tapi kaumku yang tersisa hanya satu,"
"Itu sudah cukup," kata Deden.
Mereka berenampun terdiam dengan sebuah pemikiran yang sama.
Perang akan segera dimulai!
***
Aku menatap ke sekelilingku, mencermati satu-satu wajah sekutuku yang akan membantuku dalam perang kali ini. Walau sederhananya dalam jalan hidup mistisku ini, intinya--mengalahkan Queen dan menjadi ratu dari 11 kaum yang tersisa, tetap saja ini membuatku gugup, berdebar dan semakin sering migran akhir-akhir ini.
Kutatap Adam, si boncel kini memasang wajah tegang dengan sudut rahang tegas dan tatapan mata tajam yang sungguh keren jika dilihat sekali. Kedua kalinya dia malah mirip salah satu karakter anime yang memiliki sikap membosankan. Aku paham dia baru saja bangkit dari kematian, tapi entah mengapa sejak bertemu denganku ia bahkan tidak mau mata kami saling beradu.
Aku beralih pada Rio, si cupu itu menunjukkan sikap yang bertolak belakang dengan Adam. Sejak tadi dia melihatku dan membuatku sedikit merasa risih karena yang dia lihat bukan aku tapi mata kiriku. Ada sesuatu yang ia pikirkan dan itu mengganggu atau jangan-jangan dia terkesima dengan penampilan baruku? Entahlah.
"Ratu," panggilan itu membuatku buru-buru mengalihkan pandanganku pada seorang cowok berwajah pucat dengan bola mata yang hitam pekat-tanpa putih sedikitpun.
"Ada apa?" tanyaku dengan suara elegan yang maksa dan sedikit parau. Suaraku terdengar seperti suara wanita yang sudah dewasa. Ini adalah efek dari latihanku dengan Bagas, si kuda poni barbie itu.
"Hamba Jasper," katanya memperkenalkan dirinya lagi padahal aku sudah tahu.
"Iya, aku tahu!" jawabku.
Bletak.
Kak Deden menjitak kepalaku.
"Adow!" rintihku.
"Maksudnya bukan kenalan, dia ada pertanyaan!" tegur kak Deden.
"Ah, silahkan!" kataku berusaha mencoba bersikap tenang walau merasa sangat malu dengan insiden barusan.
Jasper hanya tersenyum kecil lalu melanjutkan keinginannya untuk mengajukan pertanyaan.
"Jika boleh tahu, bisakah anda mengatakan pada kami semua tentang rencana sang Ratu untuk bisa memenangkan perang ini?" tanya Jasper yang seketika membuatku hanya mampu menarik garis pipi kiriku ke atas.
Sungguh pertanyaan yang sudah kuduga tapi tidak mudah kutemukan jawabannya.
Aku terdiam selama lebih dari tiga puluh detik lalu memandang Jasper lekat.
"Jika kukatakan, apa kamu bersedia membantu?" tanyaku melemparkan umpan.
Jasper, lelaki bermata hitam dengan kulit seputih batu apung itu menyeringai pelan. Sepertinya dia tahu jika aku hanya mengulur waktu untuk bisa memikirkan cara terbaik dari pertanyaan yang baru saja dia ajukan.
"Pasti, karena kamu adalah ratuku," jawabnya penuh keyakinan.
Aku pun tertawa keras mendengar jawaban Jasper membuat para sekutuku memandangku heran.
"Jadi, kalau aku bukan ratu, kamu tidak ingin membantuku?" tanyaku dengan sorot mata yang tiba-tiba menguat membuat mata hitam pekat Jasper menyudut, seolah berkonsentrasi menebak apa yang tengah aku pikirkan.
Aku mendesah pelan, "baiklah," ucapku lalu berdiri dari dudukku.
Perlahan melenggang, dengan langkah kecil dan yakin kepada Jasper. Kami saling bertukar pandang saat aku sudah berada di depannya. Kuberikan senyuman dan lelaki itu bergidik, seolah aku adalah penjahat yang tengah merencanakan sebuah niat jahat.
"Mau bertarung denganku?" tantangku dengan sebuah kepercayaan diri yang didukung dengan mimik wajah yang menunjukkan sebuah garis-garis jelas yang menunjukkan betapa sombongnya aku sekarang.
Jasper menganguk cepat, seolah ini memanglah yang dia inginkan.
"Oi, Tik! Jangan gegabah! Nanti kekuatanmu akan-,"
Bagas menghentikan langkahnya ketika aku mengangkat tangan kiriku sebagai isyarat bahwa aku akan baik-baik saja. Aku berbalik, memandang Bagas dan menganggukkan kepalaku dengan tenang seolah sedang mencoba menenangkan kekhawatirannya yang berlebihan itu.
"Kamu yakin melawannya Tik? Dia adalah petarung terkuat yang kita miliki," ujar Rio.
Aku menoleh pada Rio, melempar senyuman yang sedikit mengejek padanya dengan santai sehingga membuat cowok itu nyaris mengumpat kesal.
"Terkuat? Jangan bercanda, akulah petarung terkuat!" ucapku yakin, entah darimana kepercayaan diriku muncul. Yang jelas, ini sangat membantuku di saat tersulit sepanjang sejarah yaitu meyakinkan seseorang bahwa kita layak berada di posisi yang ia sangsikan.
Aku dan Jasper sudah berada di tengah arena—yang kami buat sendiri, hanya sebuah bagian tengah di ruang tamu rumahku. Barang-barangnya sudah kak Deden pindahkan dengan kekuatannya sehingga sekutu kami--yang banyak sekali dan belum kuhafal namanya satu-satu itu merasa bebas membentuk lingkaran untuk menonton pertarunganku dan Jasper.
Jasper tampak melemaskan otot-ototnya yang lumayan terbentuk--bukan hasil gym, aku rasa itu adalah saksi bisu dari bagaimana perjuangannya untuk bertahan hidup. Anehnya kulitnya sungguh putih, walau pucat dan sedikit membuatku bertanya-tanya apakah kulit putih itu halus atau kasar. Hanya sekedar ingin tahu walau itu pemikiran yang konyol sekali.
Jasper bersiap, memandangku lekat sehingga tiba-tiba secepat kedipan mata ia telah bergerak, di depanku, nyaris mencengram leherku seandainya aku masih Tika yang dulu. Namun sayangnya, aku sudah berbeda. Aku menghindar dengan mendorong mundur tubuhku beberapa langkah.
Jasper menggertakkan giginya, sepertinya ia kesal karena aku bisa mengimbangi atau bahkan sedikit lebih cepat darinya.
Ia mencoba lagi, bergerak cepat tapi kali ini dari belakangku. Ia mengarah ke bagian kepala belakangku tapi aku sudah membaca pergerakannya sehingga kurendahkan diriku lalu berbalik, menghindar dengan memajukan tubuhku sehingga kini kami sudah berdiri berhadapan dengan posisi yang tertukar dengan yang tadi.
Jasper melenturkan jari-jari tangan kirinya lalu perlahan muncullah nyala api dari ujung jarinya yang terus merambat ke seluruh telapak tangan dan lengannya.
Nyala apinya biru, itu artinya itu akan panas sekali jika tersentuh. Aku tidak mau dibakar hidup-hidup.
Jasper maju, mengayunkan lengannya yang sudah terbakar oleh api biru, mengarahkannya padaku. Aku tergagap, nyaris terkena api birunya saat tiba-tiba dia membaca pergerakanku, memblokade langkahku dan berhasil menyentuh bahu kiriku.
Aku menjerit saat api biru itu membakar bahuku lalu kulihat Jasper yang tampak merasa senang dan puas. Ia merasa akan menang lalu disaat kesombongannya itu, kumunculkan air dari tanganku yang lain hingga memadamkan api di bahuku membuat tawa Jasper menghilang seketika.
Jasper menggigit bibir bawahnya, kesal. Ia semakin ceroboh saat hendak menghancurkan rumahku dengan berniat mengeluarkan angin tornado. Aku pun berlari cepat, sebelum ia sempat bereaksi, sebelum jarum detik jam bergerak, aku sudah mencengkram leher Jasper dan menjatuhkannya ke lantai.
"Arrhgghh!" jerit Jasper saat kutekan titik geraknya yang berada di bahu.
"Sekarang kamu mau mematuhiku?" tanyaku.
Jasper mengeraskan rahangnya, kesal dan marah, tapi ia mengangguk seolah mengiyakan apa yang kutanyakan saat ini adalah satu-satunya cara untuk tetap hidup.
Aku melepas cengkaram tangan kananku dari lehernya dan juga menarik jari tanganku yang tanpa ampun menekan titik geraknya sehingga sempat membuat Jasper mengeliat-ngeliat kesakitan.
Aku kembali ke tempat dudukku, pertandingan sudah selesai. Lalu saat semua orang terdiam, aku mengatakan rencanaku.
"Besok, kita akan menyerang ke istana kaum Kingdom!!"