17

4615 Words
Perang akhirnya dimulai, baik dari pihakku atau lawan, sama-sama memberikan tatapan yang sama yaitu tekad untuk menang. Penentuan nasib dari 11 kaum dari kubu yang berbeda akan segera diketahui. Hidupku kini bukan hanya dipertaruhkan, tapi sudah diambang batas garis takdir. Aku melangkahkan kakiku dengan mantap, memposisikan diriku paling depan. Aku adalah Ratu dan seharusnya akulah yang melindungi para bawahanku bukan sebaliknya. Aku yang terkuat, jadi akulah yang harus melindungi mereka semua bukan sebaliknya. Kuhitung musuhku, jumlah mereka cukup banyak—ditambah dengan bantuan para menos, serigala dan juga makhluk bersayap—seperti malaikat walau aku tidak terlalu setuju mengatakan bahwa mereka rupawan. Wajah malaikat itu semuanya sama dan tidak ada ketampanan yang kurasakan. Aku rasa malaikat memang tidaklah tampan atau aku salah memberikan julukan pada makhluk bersayap itu? "Tik, mundurlah! Biar aku yang maju!" Rio memintaku kembali ke barisan paling belakang. "Tidak, aku yang akan langsung memimpin perang!" tolakku. "Tapi Tik, jika kamu mati, perang ini akan selesai lebih singkat dari dugaan." Rio meragukan kekuatanku. Aku menatapnya lekat. "Aku bukan Tika yang dulu, percayalah padaku!" kataku setengah memohon. Rio menghela napas panjang lalu menganggukkan kepalanya pelan. "Baiklah, yang mulia!" Rio akhirnya setuju. Aku tersenyum kecil mendengar ucapannya, itu artinya dia percaya padaku. Aku mengangkat tangan kananku ke atas tinggi-tinggi membuat para sekutuku mulai bersiap-siap. Mereka telah tahu jika aku akan segera memberikan aba-aba p*********n pada detik setelahnya. Jantungku berdegup kencang, tapi aku sungguh sangat menantikan saat-saat ini. Saat-saat dimana aku akan mempertaruhkan segalanya. "Maju!!!!!?" teriakku lantang. Kami—aku dan para sekutu pun mulai maju menyerang dengan gagah. Para musuh kami pun tidak mau kalah. Mereka juga maju—tentu saja Erika tidak, masih setia di samping Queen. Mereka masih setia menunggu giliran atau terlalu meremehkan karena jumlah sekutuku yang lebih sedikit dari pasukannya. Tapi tidak mengapa, akan kuakhiri dengan cepat dan kupaksa mereka berdua turun ke medan pertempuran. Kak Deden membuka penutup mata kirinya. Dengan red eyesnya, kakakku yang sombong itu menghadapi segerombolan serigala. Dia buat para serigala itu kesakitan. Bersama dengan itu ia juga mencoba melenyapkan menos dengan menembakkan bola-bola merah yang ia keluarkan dari kedua telapak tangannya. Ia sangat berusaha keras untuk menyingkirkan musuhnya. Untungnya Frey membantunya. Aku yakin kakakku itu akan baik-baik saja selama ada Frey. Aku percaya pada kemampuan mereka berdua. Sementara itu, kulihat Adam yang mulai saling baku hantam dengan salah satu musuh kami. Cowok boncel itu sama sekali tidak gentar meski menghadapi musuh yang jauh lebih tinggi dan besar daripada dirinya. Kelincahannya dalam menghadapi musuh sangat luar biasa. Sekilas musuh yang dihadapi Adam sepertinya juga termasuk dalam kaum yang mengandalkan pikiran. Kekuatan bertarungnya tidak begitu ahli akan tetapi bisa dipastikan kekuatan keduanya seimbang. Adam beberapa kali melancarkan serangan, berupa tendangan dan pukulan tetapi musuh bisa menghindari serangannya. Demikian pula Adam, ia bisa menghindari serangan dari musuh. Melihat keadaan imbang itu, aku rasa aku tidak perlu mengkhawatirkan Adam. "Tika!!!" Pekikan itu membuatku menoleh ke depan dan nyaris terkena sabetan pedang jika saja Jasper tidak merangkul dan menarik tubuhku hingga bisa terhindar dari serangan yang dilakukan oleh seorang wanita dengan balutan perban nyaris di seluruh tubuhnya. Aku rasa julukan yang cocok untuknya adalah si wanita mumi. Wanita mumi itu memiliki mata berwarna cokelat dengan manik kuning keemasan. Wanita itu tinggi dan kurus. Walau dia memakai baju lengan pendek dengan celana pendek selain dari balutan perbannya, penampilannya memang mendukung untuk disebut sebagai mumi. Dia memegang sebuah pedang panjang yang berkilat seolah menyombongkan ketajaman dari pedang itu sendiri. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Jasper seraya melepas rangkulannya padaku. Aku mengangguk mengiyakan. "Tidak apa-apa," jawabku. "Waspadalah! Biar aku yang menghadapinya!" ujar Jasper setengah menasehati. Aku hanya mengangguk pelan. "Baiklah!" sahutku. "Majulah, Ratuku! Bunuh Queen!" katanya sebelum akhirnya mulai berlari, mendekati wanita mumi itu. Jasper dan wanita mumi itu pun dalam seperkian detik sudah terlibat dalam pertarungan pedang yang sengit. Mereka sangat cepat sehingga mataku kurang bisa melihat pertarungan mereka secara jelas. Terlepas dari sengitnya pertarungan mereka, aku berharap Jasper akan memenangkan pertarungan itu. Aku terus bergerak maju, walau beberapa orang dari pihak musuh mencoba menahan pergerakanku, aku berhasil melewati mereka. Blessst. Aku menghindar ketika sebilah pisau terlempar dari udara dan mengarah kepadaku. Aku menoleh pada si pelempar, untung saja pisaunya tidak menancap di tubuhku. Kulihat cewek berambut hijau panjang itu berjalan santai ke arahku dengan beberapa pisau terselip di celah-celah jarinya, siap ia lemparkan lagi pisau miliknya kapan pun ia mau. Aku terpaku, menatap tajam dirinya. Kumantapkan hatiku. Saat dia mulai mempercepat langkahnya, aku melakukan hal yang sama. Kami saling mendekat, jika dia telah bersiap dengan pisau, aku sudah siap dengan tangan kosong. Kami berhadapan dan ia segera melemparkan pisaunya begitu jarak kami hanya satu meter, kugerakkan tubuhku dengan lincah menghindari setiap pisau yang ia lemparkan. Saat pisaunya habis, Erika—cewek berambut hijau itu mulai melayangkan tinjunya. Aku pun juga melayangkan tinjuku. Dia mengenaiku beberapa kali dan kubalas ia dengan tendangan di ulu hati. Erika meringis kesakitan dan mundur beberapa langkah setelah menerima tendangan dariku. Ia mengusap darah di mulutnya yang keluar akibat tendangan dariku, matanya menatapku tajam—penuh amarah, kesal karena aku berhasil melukainya. Erika pun diam, memusatkan konsentrasi, entah apa yang sedang coba ia lakukan. Sementara itu kulihat Rio tengah bertarung pula. Pelayanku itu tengah berhadapan dengan kaum angel sepertinya mengingat sayap putih terkembang yang dimiliki oleh lawannya. Kulihat pelayanku itu yang juga sudah mengembangkan dengan gagah sayap hitam miliknya. Melihat dari sorot matanya, aku rasa dia akan baik-baik saja. Pletak. Aku sedikit terkejut mendengar suara itu. Kulihat kak Deden dan Frey yang mulai kewalahan menghadapi para menos dan kaum serigala. Mereka mulai melemah dan aku menjadi sangat khawatir. Aku pun berpikir cepat, memikirkan cara terbaik untuk bisa lewat dari krisis. Aku hendak membuka mata kiriku, akan kubelah tanah untuk memasukkan para menos itu dan serigala itu ke bawah tanah tetapi batal terlaksana saat kulihat Bagas memegang tanganku yang hendak membuka penutup mataku. "Jangan, biar aku yang hadapi!" cegahnya. Aku menurunkan kembali tanganku. "Sebaiknya, kamu hadapi dia!" kata Bagas sembari menunjuk pada Erika. Aku mengarahkan pandanganku pada Erika kembali, kulihat dia yang sudah memegang pedang circlenya. "Berhati-hatilah, gerakannya cepat dan pedangnya bisa membunuh dalam sekejap!" Bagas mengingatkan. Aku mengangguk pelan. "Jangan gunakan pedangmu untuk melawannya!" nasehat Bagas lagi. "Lalu bagaimana aku menghadapinya?" tanyaku. Bagas mengangkat bahunya. "Pikirkan saja sendiri. Ingat jangan mati terlalu cepat, itu memalukan sekali!" katanya. Aku hanya berdecak pelan sebelum akhirnya melihat Bagas mulai berlari mendekati kak Deden dan Freyy yang tengah bertarung. "Duplicated," bisiknya Ping. Ping. Ping. Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi saat melihat Bagas yang mulai bermunculan—rupanya si kuda poni itu menggunakan jurus amoeba miliknya. Dia pun mulai bergabung dengan kak Deden dan Frey untuk memusnahkan menos dan kaum serigala. Aku pun merasa lega dan menoleh ke depan kembali. Srutt.. Aku terpaku, saat kulihat Rio sudah berada di depanku dan sedetik kemudian kulihat lengannya mulai berdarah. Rupanya Erika sudah melakukan serangan padaku dan Rio yang menggantikan diriku terluka. "Ri-Rio," kataku. Rio hanya melukiskan senyuman tipis. "Kamu tidak apa-apa, Tik?" tanyanya. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. Saat kulihat Erika hendak bergerak, aku segera melakukan serangan balik yang tidak terduga. Kucengkram kuat leher Erika tanpa ia sadari sehingga ia hanya terpaku diam saat melihatku sudah nyaris mematahkan lehernya. Ia mengacungkan pedangnya tapi aku sudah mencengkram kuat pedang itu. Prang. Pedang itu terbelah dua. "Selanjutnya adalah lehermu," kataku dan Erika hanya mampu menelan ludah. Sratt. Erika membelalakkan matanya dan napasnya sudah terlepas dari raganya dalam sekejap saat kuputus urat lehernya sehingga kepala dan tubuhnya terpisah. Kubakar kepalanya dengan kekuatan apiku dan cewek berambut hijau itupun musnah. Ia memang manusia, tapi dia keturunan dari dua kaum yang akan kehilangan raganya saat jiwanya musnah. Aku hempaskan tubuhnya yang mulai memudar. Setelah itu kudekati Rio yang mulai ambruk. Kupotong lengan Rio yang terkena sabetan pedang Erika dengan tanganku yang kini bahkan lebih tajam dari sebilah pedang. Lengannya sudah melepuh dan menghilang perlahan jadi kupotong untuk mencegah penyebaran kekuatan pedang Erika ke bagian tubuh yang lain. "Healer," kataku seraya menyentuh lengan Rio yang baru saja kupotong. Memang, kekuatanku tidak akan mengembalikan lengan Rio menjadi seperti semula tetapi membuatnya tetap hidup adalah prioritas utamaku sekarang. Lengan yang awalnya mengeluarkan banyak darah itu pun membeku, kulihat Rio yang sudah sangat lemah. Bibirnya membiru dan wajahnya pucat pasi. Kurebahkan dia di tanah, mencoba membuatnya pulih dan beristirahat. Trak. Braakk. Terpentallah lelaki bersayap putih yang tiba-tiba menyerang dan nyaris menyentuh Rio. Kutatap dia yang mencoba bangun setelah terpental beberapa meter karena kutinju. Seingatku, dia adalah lawan Rio sebelum Rio datang menyelamatkan aku. Sepertinya Rio belum membunuhnya. Aku bergerak cepat, menghampiri lelaki itu dan nyaris saja kumutilasi dia jika saja sehelai rambut tidak datang dan membuat ledakan yang cukup dasyat. Aku mundur menghindari serangan dengan berpindah tempat sekaligus membawa tubuh Rio lebih dulu. Tutup mataku terlepas dan bisa kupastikan kutukan di mataku sudah mulai aktif. Bagas, Adam, kak Deden dan Frey juga sudah berada di dekatku. Mereka semua mundur secara teratur saat ledakan itu terjadi. Bagas segera mengambil alih tubuh Rio yang kupegang saat melihat tutup mataku terlepas. Dia segera melakukan pertolongan pada Rio—persis seperti apa yang dia lakukan pada Adam dulu. "Bagaimana keadaannya?" tanyaku pada Bagas. "Parah, ini berbeda!" jawab Bagas sembari mengamati lebih teliti luka Rio. "Bukankah dia hanya mengenai lengannya? Mengapa bisa separah itu?" tanya Adam. Bagas hanya diam, menatap Adam tanpa kutahu arti tatapannya itu. "Boncel, pedang Erika saat menusukmu belum sepenuhnya aktif sebagai pedang circle, lagipula kamu kaum watcher, kamu memiliki kemampuan mengurangi dampak dari pedang itu. Terlebih aku segera datang dan menolongmu saat itu jadi bukan perkara sulit menyelamatkanmu. Tapi dia," Bagas menggantungkan ucapannya. "Dia terkena pedang circle dalam mode full dan dia adalah kaum Lucifer yang sebenarnya satu rumpun dengan circle. Jadi saat dia terkena, tubuhnya akan benar-benar tidak bisa menahannya!" lanjut Bagas. "Apa dia akan mati?" kutanya dengan wajah serius. "Entahlah, tapi pemilik pedangnya sudah kamu bunuh, jadi aku rasa mungkin," jawab Bagas ragu. Aku menghela napas panjang mengamati para deretan musuhku. Masih banyak kaum serigala, menos dan malaikat menyebalkan dari pihak musuh. Sedangkan kulihat kak Deden dan Frey sudah kelelahan. Terlihat dari napas mereka yang memburu dan juga keringat di seluruh tubuh mereka yang tidak bisa disembunyikan lagi. "Ah," kataku teringat sesuatu. Aku menoleh kiri-kanan. "Siapa yang kamu cari, Tik?" tanya kak Deden. "Jasper," jawabku. "Dimana dia?" Semua orang pun ikut mencari Jasper, menoleh kiri-kanan lalu pandanganku terhenti saat kulihat Queen yang sedang  berdiri di belakamg Jasper. Wanita menyebalkan itu memegang Jasper dengan tangannya yang sudah meruncing--mirip pedang sementara Jasper hanya diam seolah ia tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Kuamati tangan kiri Jasper yang memegang pedang hanya diam, tertunduk seolah ia tidak memiliki kekuatan untuk sekedar mengacungkan pedangnya. Wanita mumi itu juga masih hidup. Rupanya musuhku benar-benar kuat. Apa yang harus kulakukan dalam situasi ini? Suasana mendadak hening, hanya semilir angin yang berhembus yang terdengar. Jarak kami cukup jauh tetapi kepekaan inderaku dapat menangkap apa yang akan terjadi. Terlebih kakakku, kak Deden memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. "Serahkan dirimu, maka akan kulepaskan lelaki ini," kak Deden mulai bicara seolah ia sedang mentranslate apa yang sedang Queen pikirkan. "Kamu punya waktu 15 detik untuk memikirkannya sebelum kubunuh dia!" kak Deden berkata lagi. Aku menghela napas panjang. "Bagaimana ini?" tanyaku balik. "Jika kamu menyelamatkannya, kita semua akan mati!" jawab kak Deden. "Korbankan saja dia, jangan menyerahkan dirimu!" Adam menimpali. Aku menghela napas sekali lagi. Rasanya ini sungguh menyebalkan. "Aku akan maju!" kataku membuat Adam seketika memegang lenganku. "Kamu gila? Kalau kamu mati perang akan berakhir, Tik!" cegah Adam. Aku menoleh padanya. "Aku tahu, tapi tenanglah!" kataku menenangkannya. "Aku tidak akan mati!" kataku menegaskan. "Tapi Tik--," "Percayalah padaku!" pintaku. Adam melepas tangannya yang memegangku. Wajahnya masih menunjukkan kecemasan tapi sepertinya dia ingin mempercayaiku. "Jangan mati," katanya. Aku hanya mengangguk pelan. Aku mengarahkan pandanganku ke depan, berjalan sendirian mendekati pihak musuh. Queen tersenyum, ia mulai melepaskan cengkramannya pada Jasper perlahan. Aku tetap maju ketika kurasakan tatapan mereka yang semakin menusuk padaku. Aku sudah dekat dan Queen terlihat membusungkan d**a, bersiap menyambutku dengan kesombongannya. Kulirik wanita mumi dan beberapa musuh yang seperti ingin memakanku. Kuabaikan mereka, fokus pada Jasper yang melihatku seolah minta diselamatkan. "Jasper," panggilku. Jasper tersenyum, entah kenapa sedih lalu.. Sraak.. Blest. Darah segar mengalir dari mulutnya saat tangan Queen tiba-tiba telah menembus dadanya. Tubuh Jasper mengejang sebentar lalu ia tewas setelah tersenyum kecil padaku seolah berkata larilah! Aku menggigit kuat bibirku, marah. Para menos dan serigala menyerangku, termasuk wanita mumi itu tapi aku tidak peduli. Aku sapukan tanganku dan mereka terpental sebagian karena angin kencang yang tertiup karena efek seranganku. Aku mendekati Queen yang jaraknya sebenarnya tidak terlalu jauh dariku tetapi jadi sulit terjangkau karena banyaknya pasukan yang ia miliki. Sekutuku juga maju tetapi kesulitan karena harus melawan jumlah musuh yang banyak. Prangggggg.. Suara keras itu memberikan jeda, aku menoleh dan kulihat Irene dengan pasukan setannya datang. Langit cerah pun seketika menjadi gelap gulita. Para angel yang sejak tadi mengerumuni Queen—melindunginya akhirnya terpecah. Mereka sudah menemukan lawan yang sebanding. Plak. Irene sudah berada di depanku, menahan serangan pedang dari pihak musuh yang menyerangku saat aku lengah. "Kamu selamat," kataku saat kulihat Irene menjadi satu-satunya sekutuku yang berhasil mendekat dan menyelamatkan aku yang hendak diserang musuh. Irene mendecih. "Aku ini kuat!" katanya lalu berbalik menyerang hingga musuh mundur beberapa langkah. "Aku yang akan menghadapinya," katanya pada musuh di depannya. "Kamu urus dia!" katanya lagi. Beberapa detik kemudian Irene sudah menjauh, berkelahi dengan musuh yang sama-sama memiliki s*****a pedang. Aku menatap lurus ke depan setelah melihat para sekutuku yang berperang melawan para menos, serigala, angel dan tentu saja para manusia pilihan dari kaum lainnya. Aku sempat mencari keberadaan Rio dan menarik napas lega saat tahu bahwa ada Bagas bersamanya. Tak lama dari itu kulihat Claudia juga bergabung, sepertinya dia juga berhasil mengalahkan lelaki dari iklan sampo itu. Ia memaksa para angel yang berada di sekitar Queen turun ke medan perang sehingga yang tersisa kini hanyalah kami berdua, saling berhadapan. Kutatap lekat dia yang sudah membunuh Jasper. Queen menyeringai pelan, tiba-tiba sebuah dimensi waktu muncul di sebelah wanita itu. Sebuah tongkat agung muncul dari sana dan ia hanya memberikan senyum kesombongan saat tongkat bertitah emas dan sepertinya kuat sekali itu sudah berhasil ia genggam. Aku yang hanya bertangan kosong pun hanya mampu menelan ludah. Aku sejujurnya—tidak tahu apa senjataku. Selain mata ini, aku belum tahu kekuatanku. Hanya saja Bagas pernah berpesan, bahwa s*****a terkuat dariku adalah rasa marah dan aku merasa sudah cukup marah untuk mengalahkan dia tapi belum juga muncul sesuatu yang dasyat. Apakah aku harus lebih marah lagi? Bagaimana caranya membuatku lebih marah agar senjataku keluar? Aku tersentak kaget saat getaran kuat yang mengalir di bawah kakiku hendak mencapai diriku. Aku melompat tinggi saat tanah yang tadi kuinjak sudah terbelah dua. Aku menjauh mencari daerah aman dan kulihat Queen hanya menghentakkan tongkatnya ke tanah dan efeknya sudah segila itu. Aku menatapnya dan Queen pun demikian. Kami saling bertukar pandang sebelum akhirnya dia maju dan aku pun begitu. Duarrrr.. Letusan dasyat itu membuat semua orang terpana, tertegun sejenak dari peperangan mereka. Aku dan Queen saling menyerang dan tanpa menyentuh kulit satu sama lain, ledakan dasyat itu tercipta. Aku menoleh ke para sekutuku, memastikan mereka semua baik-baik saja. Aku segera berbalik, mengarahkan konsentrasiku pada Queen lagi dalam beberapa detik. Kulihat dia yang hanya memandangku dengan penuh kesombongan. Ia sibak rambut keriting panjangnya ke belakang. Dalam satu hentakan kaki, tanah di depannya terbelah dengan lebar kira-kira satu meter. Tak lama kemudian muncul kobaran api yang menyala-nyala, awalnya memanjang lalu perlahan memusat, menyatu dan berakhir membentuk sebuah sabit panjang. Kilatan api itu bergerak dan bak sebuah pedang, ia menghunus semua kaum setan Irene dan memusnahkan semuanya dalam kedipan mata. Anehnya, tidak hanya kaum setan Irene, kaum jin, serigala dan bahkan angel yang sedang bertarung dan tidak sengaja terkena pun musnah. Sepertinya api itu melenyapkan apapun yang dikenainya, baik lawan ataupun kawan. Aku menelan ludah, kuberi isyarat dan semua sekutuku mundur ke belakang. Mereka meninggalkan lawan masing-masing, berkumpul di dekatku dengan wajah tegang. Dalam pikiran kami, jika aku boleh menebak, hanya ada satu yaitu bagaimana caranya mengalahkan Queen. Irene menyapukan tangannya ke depan dari kanan ke kiri lalu sebuah perisai berbentuk setengah lingkaran tercipta, menyelubungi para sekutuku dan aku. Sepertinya Irene berjaga-jaga jikalau Queen melakukan serangan mendadak. Aku menoleh pada Bagas yang masih setia menopang Rio yang masih belum pulih. Kulirik si boncel dan ia hanya menatapku dengan cemas. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya. Aku hanya menghela napas lalu mengangguk pelan. Ini bukan waktunya dia mengkhawatirkan orang lain tapi tetap saja si boncel malah mencemaskan aku dibanding keselamatan dirinya. Menyebalkan. "Bagaimana selanjutnya?" tanya kak Deden. Aku amati kakakku yang sudah mandi keringat itu, napasnya agak terengah dan bisa kupastikan dia sudah menggunakan kekuatannya dengan brutal. Matanya kembali hitam, itu artinya dia sudah nyaris lowbat. Kekuatannya sudah hampir habis. Demikian pula Frey, kini hanya satu dari dua matanya yang masih merah. Itu pun sudah merah pucat, dia nyaris kehilangan kemampuannya jika dipaksa bertarung lebih lama. Claudia pun tidak jauh beda, penyihir itu hanya duduk bersila, menundukkan kepalanya ke tanah dengan napas terengah-engah. Aku rasa dia juga sudah kelelahan. Sekutuku sudah dalam keadaan yang menyedihkan, aku tidak bisa memaksa mereka bertarung lagi. Jasper pun kini sudah mati. Aku tidak mau kehilangan orang lagi. "Kak," panggilku pada kak Deden. "Ya?" tanya kak Deden. Aku mendekat, membuat kak Deden mengenyitkan keningnya. Kami bertatapan cukup lama dan ia hanya bisa pasrah saat kupeluk dia dengan erat. Perlahan tanganku bergerak, menggenggam erat kepala kak Deden lalu merayap ke depan. Kusentuh mata kirinya dan kak Deden hanya membeku saat aku mulai menyerap kekuatan matanya. Tidak! Aku tidak sedang menyerapnya, hanya tampak begitu. Yang kulakukan adalah "Move," Bruuk. Tubuh kak Deden terjatuh dan hanya mampu terkulai lemas setelah kekuatan red eye miliknya sudah menjadi milikku. Kakakku sekarang, tidak lebih dari manusia biasa. Adam yang hendak mencegah kegilaanku, rupanya ia paham betul apa yang hendak kulakukan hanya mampu terbatuk saat aku sudah mendaratkan pukulan ke ulu hatinya. Adam ambruk dan menyisakan tatapan mata kaget dari Irene, Bagas, Frey dan juga Claudia. Aku bergerak cepat, menuju Bagas. Si kuda poni itu hanya menganggukkan kepalanya, tanpa kuminta ia telah membuka segel mataku saat pada waktu yang bersamaan Queen melancarkan serangan pada perisai Irene. Duaarrrr... Asap hitam pekat membumbung tinggi sesaat setelah ledakan itu terjadi. Aku sudah berdiri dengan berani saat perlahan asap itu menghilang. Perisai biru Irene telah berganti dengan perisai berwarna kapiler darah, merah biru yang berasal dariku. Irene dan para sekutu yang lain selamat dan itu membuat Queen menggigit pelan bibir bawahnya. Ia merasa kesal. Aku merentangkan tanganku ke depan lalu perlahan kugerakkan tangan kananku ke depan, bak orang pemanah, kugerakkan tanganku seperti seseorang yang hendak memanah. Aku picingkan mata kiriku, membidik Queen dengan poros yang akurat. Queen terdiam, mungkin dia menganggap aku sudah gila. Perlahan kutarik busurnya, lalu.. Splasshh.. Trak. Queen terbatuk lalu ia akan terdorong ke depan saat ia merasakan sesuatu yang transparan telah menikam bahu kirinya. Ia meringis lalu terduduk sembari memegang panah yang baru saja aku lepaskan. Darah segar mulai meluncur keluar saat ia menarik paksa panah yang bersarang di bahunya. Ia buang dengan rasa kesal panah itu setelah berhasil menariknya keluar. Aku menyeringai saat ia menatapku, sungguh aku bahagia bisa melukainya. "Irene, tetaplah di sini apapun yang terjadi," pesanku saat aku mulai keluar dari perisai. Bisa kurasakan Irene hendak menyusulku tetapi langkahnya terhalang perisaiku. Perisaiku bukanlah perisai biasa, hanya aku yang mampu keluar-masuk dari pisau itu ssuka hati. Irene tampak kesal tapi aku tidak mau mengambil resiko. Kematian Jasper sudah cukup bagiku dan aku tidak mau melihat kematian lagi. Para sekutu Queen maju tetapi aku hanya menyentilkan satu jariku dan mereka semua terpental jauh, terdorong hingga menembus apapun yang mereka kenai, sudah mirip efek pertarungan di film. Sayangnya, ini adalah kenyataan dan aku sedikit merasa sombong bisa melakukan itu. Queen maju dengan mendaratkan beberapa serangan dan aku harus bersusah payah untuk bisa menahan dan menangkis serangannya. Segel mataku memang sudah dilepas oleh si kuda poni alias Bagas, tetapi belum aktif. Perlu sedikit waktu lagi sebelum benar-benar aktif. Karena itu, aku harus bisa bertahan hidup sampai segelnya aktif. Queen bergerak lagi, ia kerahkan kekuatannya dan aku hanya bisa melenguh panjang saat ia berhasil memukulku dan membuatku terpental hingga berguling di tanah. Aku belum sempat menarik napas sama sekali ketika Queen kembali mendaratkan serangan dan mendaratkan beberapa pukulan di perutku. Aku memekik kuat, menjerit sebenarnya saat ia menarik rambutku ke belakang dan menghujamkan kepalaku ke tanah. Tak. Bisa kurasakan mulutku mulai berdarah dan aku bahkan tidak bisa menyekanya. Queen mendekat lalu menginjak pipiku kuat bahkan saat aku belum mampu bangun setelah serangannya barusan. "Menyerahlah, Tika!" suruhnya. "Dengan begitu, mungkin saja aku akan mengampuni sekutumu," lanjutnya. Aku hanya diam, menahan rasa sakit akibat injakannya. Tak. Aku melenguh kuat saat kakinya yang lain kembali menginjak tanganku. Kurasakan tulang-tulang jariku bergetar, nyaris remuk seandainya aku tidak diam-diam menggunakan kekuatan healerku pada diriku sendiri. "Bagaimana? Atau apa kamu ingin aku menukar nyawaku dengan para sekutumu? Haruskah kubunuh mereka lebih dulu?" tanyanya penuh kesombongan. Queen menjauhkan kakinya dari pipi dan tanganku. Ia mulai berjalan, kuyakin dia tengah memandang para sekutuku. Ia gerakkan satu jarinya, sepertinya ia ingin memusnahkan sekutuku hanya dengan sinar menos dari jari telunjuknya. Aku bergetar hebat saat tubuhku mulai merasakan keanehan. "Akhirnya," gumamku. Srak.. Duar.. Queen agak tersentak saat kuserang jarinya hingga membuat serangan menosnya meleset. Ia menatapku lekat, marah dan mulai cemas saat melihatku sudah berdiri kokoh dengan tubuh yang sudah kembali membaik. "Ka-kamu," katanya terbata. Aku menyeringai pelan. Aku bergerak cepat dan kuserang dia. Ia tergagap, terlambat! Braakk. Queen terhempas saat kudaratkan pukulan yang kubilang cukup pelan. Ia memuntahkan cairan dari mulutnya dan aku semakin bersemangat untuk itu. Segelku telah terlepas dan kekuatan penuhku sudah aktif, mataku sudah menunjukkan pesonanya. Kedua mataku kini telah berubah, menjadi merah menyala dengan 8 titik hitam membentuk persegi delapan. Kulihat tanganku, terasa aneh walau urat-urat nadiku kini terlihat jelas karena kulitku menjadi sedikit transparan. Aku bergerak, cepat dan dalam sekejap sudah mencengkram kuat leher Queen. Ratu kingdom yang ditakuti itu hanya mampu meronta saat kuangkat tubuhnya ke atas. Ia menendang asal, mencengkram balik tanganku yang mencekik lehernya tapi sia-sia. Kulempar dia seperti cucian kotor lalu kubiarkan tubuhnya berguling di tanah merasakan sakit yang kurasakan saat dia melakukan hal yang sama padaku tadi. Aku berjalan mendekatinya lalu kucengkram kuat rambut coklat keritingnya, mendongakkan kepalanya hingga menatapku. Mata kami bertatapan dan aku mulai mengaktifkan mataku. "Tahukah kamu Queen, kenapa ayahmu bisa kalah oleh ayahku?" ujarku. Queen hanya menatapku marah, bibirnya terkunci rapat. Aku yakin dia sangat marah dan malu dengan keadaan sekarang ini. "Ayahmu terlalu sombong hingga dia kalah oleh kaum tingkat lima seperti kami," lanjutku. "Karena itu, kuharap kamu akan berubah setelah ini," kataku. Queen berontak, ia bisa membaca niatku. "Tidak! Tidak! Aku lebih baik mati! Tidak! Tidaaaakkk!!!" Seperti serigala yang diinjak ekornya ia melolong panjang dan hanya bisa pasrah saat mataku sudah menembakkan laser putih padanya. Tubuhnya bersinar putih-gelap-merah lalu semua kembali normal. Queen terkulai lemas dan aku hanya bisa melepas cengkramanku darinya. Brakk. Ia jatuh ke tanah. Aku pandang para sekutunya yang masih hidup lalu dalam satu hentakan jari, mereka semua juga mengalami hal yang sama dengan Queen. Mereka baru saja aku bersihkan. Itu artinya setelah ini, mereka akan menjadi manusia biasa dan melupakan semua ingatan mereka tentang identitas mereka sebelumnya dan juga peperangan ini. Aku kembali pada sekutuku, membuka perisainya dan kulakukan hal yang sama pada Bagas, Frey, dan Claudia. Kupandang Irene. "Kenapa kamu tidak membersihkan kekuatanku juga?" tanyanya. Aku tersenyum. "Bukankah kamu harus memimpin para kaum setan setelah ayahmu? Kamu penerusnya, kalian juga tidak menggangu manusia, jadi kuampuni," jawabku. Irene mendecih pelan. "Entah haruskah aku berterimakasih atau tidak pada tindakanmu itu, tapi apa kamu tahu efek dari menjadi ratu dan melakukan apa yang baru saja kamu lakukan?" tanyanya, sepertinya ia curiga aku sudah tahu tetapi masih kulakukan apa yang menurutnya mustahil menjadi pilihanku. Aku mengangguk pelan. "Aku tahu," jawabku. "Dasar bodoh," desis Irene. Aku hanya tersenyum. "Aku juga tahu itu," sahutku. Adam mulai menggerakkan tubuhnya, si boncel itu tampak terkejut melihatku. Saat ia melihat Queen ia mulai menjerit. "Tik, Tika!!" katanya mendekat padaku dengan berlari. "Kenapa? Kenapa?" tanyanya dengan derai airmata yang sudah bercucuran dalam waktu singkat. Aku tersenyum tipis sekali lagi. "Jangan menangis, Dam!" pintaku. Adam tidak peduli, tangisnya malah semakin jadi. "Tika bodoh! Kenapa kamu tidak membunuhnya, Tik?" tanya Adam sambil berupaya menyentuh lenganku tetapi kini tubuhku benar-benar nyaris transparan. "Aku tidak suka membunuhnya," jawabku. "Bodoh, jika kamu tidak membunuhnya dan menghilangkan kekuatan dan ingatannya, sebagai gantinya adalah nyawamu, Tik!" oceh Adam. Aku tersenyum. "Tidak apa, asal perang usai dan kalian semua baik-baik saja," kataku. Adam menyeka airmatanya. "Tidak, Tika! Aku tidak mau melupakanmu!" oceh Adam. Aku hanya mampu tersenyum getir. Selain kematian, efek dari apa yang baru saja aku lakukan adalah keberadaanku akan terhapus seolah seorang Maretha Dwi Sartika tidak pernah lahir ke dunia. Tubuhku semakin memudar dan kurasakan kakiku mulai perlahan menghilang. "Tidak! Tidak! Tidak!!" celoteh Adam. Tuk. Aku tersentak kaget saat dahiku disentuh dan kulihat Rio sudah menatapku lekat dengan menyentuhkan ujung jarinya ke dahiku. "Tika bodoh, tahukah kamu keistimewaan kaum lucifer?" tanyanya. "Heh?" "Kami bisa memberikan nyawa kami pada siapapun," lanjutnya. "Heh?" Rio menoleh pada Adam. "Boncel, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan setelah ini bukan?" tanyanya. Adam mengangguk pasti. "Jaga Tika untukku," pesannya lagi. Rio menoleh lagi ke arahku dan aku hanya mampu membelalakkan mataku saat aku mulai memahami apa yang ia maksudkan. "Aku mencintaimu," katanya sebelum sebuah sinar putih menyilaukan memaksaku menutup mata. *** Matahari bersinar cerah dan aku yang masih rada mengantuk hanya memandang kosong ke jendela. Pintu kamarku terbuka dan seorang lelaki masuk. Ia duduk di tepi kasurku tanpa diminta dan mendaratkan kecupan manis di keningku. Setelah itu ia cubit gemas pipiku dengan senyum lebarnya. Lelaki itu pun beranjak dari kasurku tanpa kupinta. Dengan rambut panjang yang ia ikat bagian poninya saja ia berhenti, berbalik ke arahku saat di depan pintu. Ia tersenyum lebar. Pagi ini dia mengenakan celana jeans, kaos lengan pendek dan celemek berwarna hitam lagi. "Ayo sarapan!" ajaknya. Aku hanya diam, tetapi segera mengikutinya yang sudah berjalan lebih dulu. Tak lama kemudian kami sudah berada di ruang makan. Di rumah yang besar ini, ruang makannya terasa sangat menyesakkan karena hanya ada aku dan dia saja. Tidak  sebenarnya ada tiga tetapi lelaki tinggi dan berambut lepek itu selalu mendekam di kamarnya. Aku tidak pernah melihatnya keluar setelah aku sadar dari komaku. "Ini sarapanmu!" katanya sambil meletakkan roti yang sudah dilumuri selai di piringku. Selanjutnya ia berikan aku segelas s**u. "Rio," panggilku. Lelaki itu tersenyum lalu mengelus lembut kepalaku. "Makan!" suruhnya. Aku mengangguk lalu mulai memakan rotiku. Kulirik dia, lelaki itu bernama Rio, katanya. Tapi anehnya baju seragamnya memiliki nama lain. Dia bilang aku memanggilnya Rio karena lelaki yang kucintai bernama Rio dan Rio adalah dirinya. Itu suatu pemikiran tidak logis yang membuatku sakit kepala. Tapi bagaimanapun, kudengar dia yang menjagaku selama dua tahun koma dan aku tidak bisa protes. "Setelah makan, ikut aku!" katanya. "Kemana?" tanyaku. "Jalan-jalan," jawabnya. Aku mengangguk mengiyakan, enggan berdebat. Lelaki bertubuh boncel itu berdiri, meninggalkan ruang makan, menuju dapur sepertinya. Aku sudah cukup lama menunggu tetapi ia belum juga muncul. Aku pun beranjak dari dudukku, sudah selesai sarapan. Aku berjalan-jalan keluar, menghirup udara segar di sekitar taman. Rumah ini begitu besar dan dimana-mana, kulihat ada banyak bunga kosmos. Walau juga ada bunga mawar dan melati. "Hei," sapanya. Aku menoleh dan kulihat lelaki boncel itu sudah berdiri dengan baju yang sedikit lebih rapi. "Mau kemana?" tanyaku. "Ke pemakaman," jawabnya. "Siapa yang mati?" tanyaku. "Adam," jawabnya. Aku tertegun. "Bukankah namamu Adam?" tanyaku heran. "Ya," katanya. "Lantas?" "Ini raga Adam, jiwa Rio," jawabnya lalu memandang langit di atasnya. "Heh?" Aku bingung dengan perkataannya walau sudah dari awal aku tahu kalau lelaki ini memang aneh. "Kami sangat mencintaimu, Tika!" katanya dan aku hanya mampu terdiam saat detik berikutnya dia sudah mendaratkan ciuman di bibirku. Aku merasa aneh karena menutup mataku seolah aku juga ingin bilang, aku juga mencintai kalian berdua. THE END.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD