EPILOG

774 Words
Author's POV Airmata Adam berderai saat melihat Tika perlahan memudar. Ia menjerit tidak terima dengan kenyataan ini. "Tik, Tika!!" teriaknya keras. Lelaki boncel itu berlari mendekat dan segera mendekap tubuh Tika. "Kenapa? Kenapa?" tanyanya dengan derai airmata yang sudah bercucuran dalam waktu singkat. Tika tersenyum tipis. "Jangan menangis, Dam!" pintanya dengan suara parau. Adam tidak peduli, tangisnya malah semakin menjadi. "Tika bodoh! Kenapa kamu tidak membunuhnya, Tik?" tanya Adam sambil berupaya menyentuh lengan Tika yang kini benar-benar nyaris transparan dan tidak bisa didekap lagi. "Aku tidak suka membunuhnya," jawab Tika. "Bodoh, jika kamu tidak membunuhnya hanya menghilangkan kekuatan dan ingatannya, sebagai gantinya adalah nyawamu, Tik!" oceh Adam. Tika tersenyum lagi. "Tidak apa, asal perang usai dan kalian semua baik-baik saja," kata Tika. Adam menyeka airmatanya. "Tidak, Tika! Aku tidak mau melupakanmu!" oceh Adam. Tika hanya mampu tersenyum getir. Selain kematian, efek dari apa yang baru saja dia lakukan adalah keberadaannya akan terhapus seolah seorang Maretha Dwi Sartika tidak pernah lahir ke dunia. Tubuh Tika semakin memudar dan sedikit demi sedikit mulai perlahan kakinya mulai menghilang. "Tidak! Tidak! Tidak!!" celoteh Adam. Tuk. Tika tersentak kaget saat dahinya disentuh dan terlihat Rio sudah menatapnya lekat dengan menyentuhkan ujung jarinya ke dahinya. "Tika bodoh, tahukah kamu keistimewaan kaum lucifer?" tanyanya. "Heh?" "Kami bisa memberikan nyawa kami pada siapapun," lanjutnya. "Heh?" Rio menoleh pada Adam. "Boncel, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan setelah ini bukan?" tanyanya. Adam mengangguk pasti. "Jaga Tika untukku," pesannya lagi. Rio menoleh lagi ke arah Tika dan cewek yang nyaris menghilang itu hanya mampu membelalakkan matanya saat dia mulai memahami apa yang Rio maksudkan. "Aku mencintaimu," ucapnya pelan lalu sebuah sinar muncul dari tangannya. Adam yang sedari tadi diam telah mendaratkan tangannya di jantung Rio membuat lelaki itu menoleh ke padanya sebelum proses perpindahan nyawanya terjadi. "A-apa yang kamu lakukan?" tanya Rio heran. "Jangan bersikap keren sendirian!" ujar Adam sinis. "Heh?" "Jika kamu harus menggantikan nyawa seseorang, kamu harusnya menggantikan aku," kata Adam. "Heh? Boncel, apa yang kamu lakukan? Kamu tahukan meski jantungku kamu hancurkan, aku tidak akan mati?" Rio mengomel. Adam hanya mendesis pelan. "Aku tahu," katanya. Rio menautkan alisnya ketika Adam mulai menunjukkan sayap merah dari kedua punggungnya. "Ka-kamu gila!!" pekik Rio saat dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. "Aku tukarkan nyawaku untuk kalian berdua. Hiduplah di ragaku dan lindungi Tika!" pintanya. "Ti-tidak! Lepas!" Rio mencoba meronta. "Katakan bahwa aku mencintainya," pesan Adam lagi. "Heh?" Rio ternganga. "Tika akan kehilangan ingatannya tentangku, tentang semua ini, tapi dia masih akan menjadi Helper jika suatu saat ingatannya kembali," ujar Adam. "Karena itulah, kamu yang harus ada di sampingnya, bukan sebagai salver tapi lelaki yang dicintainya," imbuh Adam. Rio mulai menitikkan airmata mendengar apa yang baru saja Adam katakan. “Jangan cengeng, Rio! Jangan buat aku menyesal mengorbankan nyawaku untukmu!” Rio terdiam, sekuat tenaga dia mencoba menghentikan tangisnya. “Bagus,” puji Adam lalu tersenyum simpul. Setelahnya, sayap merahnya terkembang, besar dan melingkupi kedua insan itu. Cukup lama itu berlangsung sampai akhirnya berakhir. Irene pun berjalan mendekati tubuh Rio yang ambruk dengan jantung yang sudah remuk. Sementara di sampingnya terbaring Tika dan Adam yang jatuh pingsan. "Pertukaran nyawa yang menyedihkan," gumam Irene pelan. "Akan aku bawa kalian dari sini, sebagai balas budiku padamu, Ratu bodohku!" katanya lalu mereka berempat menghilang. *** Pemakaman tanah merah basah itu masih tampak baru, dua lelaki berpakaian serba hitam dengan kacamata hitam berdiri di dekatnya. "Jadi dia benar-benar mati," gumam lelaki jangkung berambut lepek dengan dua jepit rambut berwarna merah di sisi kiri. Lelaki bertubuh boncel itu hanya mengangguk. Ia menyibak poninya ke belakang lalu mengikatnya dengan tali karet. "Ya, dia membunuhku dan memberikan raganya, menyebalkan!" desis lelaki boncel itu. "Lalu bagaimana dengannya?" tanya lelaki jangkung itu. "Tika masih koma, aku rasa dia akan melupakan segalanya," jawab lelaki boncel itu. "Lalu Dam hm Rio, hm harus aku panggil apa kamu ini," kata lelaki jangkung itu merasa kesal. "Mau kamu panggil Rio atau Adam, aku tidak masalah. Walau ragaku Adam, aku bukan dia. Walau begitu perasaan kami sama, kami hanya mencintainya," jawab lelaki boncel itu. Lelaki jangkung itu hanya menghela napas panjang. "Terserah kamu saja, urusan Tika, aku serahkan padamu!" kata lelaki jangkung itu seraya mulai berjalan pergi. Lelaki boncel itu hanya tersenyum tipis. "Ah, dia masih marah karena menjadi manusia biasa," katanya terkekeh. Lelaki boncel itu pun menyentuh dahinya dan berucap, "teleportasi". Detik berikutnya ia sudah berada di sebuah kamar, memandang seorang wanita yang tengah terbaring. Lelaki boncel itu berjalan mendekat lalu mengusap lembut rambut panjang wanita yang tengah terbaring dengan damai itu. "Kami, aku dan Adam menunggumu, Tik! Segera bangunlah dan akan aku dampingi kamu seumur hidupku," gumamnya lalu mendaratkan sebuah ciuman di kening wanita itu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD