5

2616 Words
"Tik," panggilnya lalu duduk di depanku tanpa aku minta. Aku menatapnya dengan bingung. Sejujurnya, aku merasa heran karena dia menyapa, duduk dan bahkan mengajakku mengobrol. Seingatku, aku hanya tahu kalau dia si cupu. "Jadi, bagaimana rencanamu kemarin?" tanyanya dengan wajah serius. "Aku lihat tadi Erika masih hidup, apa kamu membatalkan niatmu untuk membunuhnya?" tanyanya lagi. Aku hanya membisu, tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang dia bicarakan. "Tik," panggilnya lagi saat aku hanya diam tanpa menanggapi ucapannya satu pun. "Kamu siapa?" tanyaku. Cowok berkacamata itu mengangkat sebelah alisnya. "Tik, candaanmu tidak lucu" jawabnya mulai kesal. "Kamu siapa?" tanyaku sekali lagi. "Tik, waktu kita tinggal 4 hari, kita akan mati bersama jika kamu begini!" jawabnya tegas, yakin dan tanpa sebuah tawa. Dia serius. Sangat serius. "Aku tidak mengingat apapun," kataku membuatnya menghela napas yang lebih mirip napas putus asa. "Tik, aku tidak masalah jika harus mati karena aku memang sudah mati, tapi bagaimana denganmu?" katanya dengan wajah yang menyiratkan sebuah penyesalan. "Kamu akan mati jika gagal mengabulkan permintaanku," katanya menambahkan. "Jadi, apa kamu tahu aku siapa?" tanyaku mulai mengerti arah pembicaraannya. Dia mengangguk. "Kamu helper dan aku adalah klienmu," Angin berhembus kencang menerpaku saat dia mengatakan itu. "Jadi, bisa jelaskan apa permintaanmu?" pintaku. Dia mengangguk mengiyakan. "Sebelumnya, namaku Rio," katanya memperkenalkan diri. "Dan aku ini kekasihmu," katanya menambahkan. Aku mengangkat sebelah alisku, bingung. "Kamu bilang itu untuk penyelidikan," kata Rio lagi seolah dia paham tentang apa yang ada di otakku. "Ah!" seruku mengerti. Aku bukanlah tipe cewek yang bisa jatuh cinta dan mengikat suatu hubungan tanpa alasan. Jadi, saat Rio bilang ini untuk penyelidikan, aku mengerti. "Jadi apa permintaanmu?" tanyaku lagi. "Permintaanku adalah agar kamu menemukan siapa pembunuhku," kata Rio menjawab lugas pertanyaan dariku. Aku terdiam, mencoba berpikir sebentar dari maksud perkataannya. "Jadi menurutmu kamu dibunuh dan aku curiga kalau cewek bernama Erika itu pelakunya?" tanyaku mencoba menjabarkan keadaan yang ada. Rio mengangguk mengiyakan. "Tapi mengapa kamu bilang aku berencana membunuh Erika?" tanyaku bingung. "Itulah yang juga belum aku pahami, Tik! Kemarin kita bertengkar dan kamu tiba-tiba menghilang," jawab Rio menjelaskan. "Apa Erika mempunyai kekuatan khusus?" tanyaku. Rio mengangguk. "Ya, dia seorang watcher!" jawab Rio. "Dia bisa memanipulasi ingatan," kata Rio menambahkan. Aku mangut-mangut setelah mendengar jawaban Rio. "Kalau begitu, ada dua kemungkinan!" kataku menyimpulkan. "Apa itu?" tanya Rio penasaran. "Pertama, Erika memanipulasi ingatanku atau yang kedua, aku menggunakan kemampuan resetku!" jawabku menjelaskan. "Reset?" tanya Rio bingung. "Iya, aku bisa memutar waktu ke 15 menit sebelumnya. Jika itu terjadi, artinya kemarin aku dibunuh," jawabku mempertegas. Rio tersentak kaget. "Maksudmu Erika berhasil membunuhmu?" tanya Rio memastikan maksud dari ucapanku. Aku mengangguk yakin. "Aku sudah kenal Erika bertahun-tahun dan dia belum pernah membunuh orang," sanggah Rio tidak percaya. "Itu kan apa yang kamu tahu, kamu belum tahu dibelakangmu dia seperti apa," bantahku tegas. "Tidak semua yang kita lihat adalah kebenaran, Rio!" kataku menimpali.   Rio menggaruk-garuk kepalanya. Wajahnya tampak pucat dan tangannya gemetar, sepertinya dia begitu shock dengan kebenaran yang aku katakan barusan. Walaupun ini masih sebatas asumsiku saja. "Jadi, bagaimana selanjutnya?" tanya Rio setelah keadaannya mulai membaik. "Aku tidak tahu," jawabku sembari menghela napas panjang. "Jika aku memang sudah memakai kemampuan resetku, maka semua ingatanku, pradugaku akan menghilang," Rio menghela napas berat. "Jadi, kita harus memulai lagi semuanya dari awal?" tanya Rio. Aku mengangguk mengiyakan. Kami pun saling terdiam dengan pemikiran masing-masing yang tak sanggup kami jabarkan. Karena kematian telah menunggu kami dengan sebuah senyuman kemenangan. *** Aku baru saja selesai mandi dan bersiap, hari ini aku ingin mencoba membaca buku milik ayah tentang cara bagaimana mengembalikan ingatanku setelah menggunakan kemampuan reset. "Bi, Bibi!" panggilku pada pembantuku. "Iya, Non!" sahut pembantuku lantas datang menghampiriku. "Ada apa, Non?" tanyanya saat sudah berada di depanku. "Kunci kamar ayah dimana?" tanyaku. "Ada di Aden Deden, Non!" jawab pembantuku. Aku mengangkat alisku. "Sejak kapan dipegang kakak?" tanyaku heran. "Sudah sebulan dipegang Aden, Non!" jawab pembantuku. "Oh yasudah, makasih, Bi!" kataku. Pembantuku mengangguk lalu pergi. Aku pun pergi ke kamar kakak, si pangeran tidur itu pasti saat ini sedang molor. "Kakak!" panggilku saat sudah di depan pintu kamarnya. Kriet.. Pintu kamar kakak terbuka, aku pun masuk. "Kak," panggilku pada kakak yang sedang di tempat tidurnya dengan mata terpejam. "Ada di lemari, jangan ganggu aku!" katanya.   Aku hanya mengangguk. Aku pun mengambil buku ayah dan keluar dari kamar kakak. Pintu kamar kakak pun kembali tertutup. Nama kakakku Deden Dwi Permadi, 23 tahun. Bukan helper! tapi memiliki kemampuan menggerakkan apapun yang dia mau, selain itu kakakku seorang pembaca pikiran. Aku duduk kembali di kursi meja belajarku dan mulai membaca buku milik ayah. Aku buka bab tentang kemampuan reset, setelah itu aku pun mulai membacanya. Reset adalah kemampuan untuk mengulang waktu. Namun, bagi seorang helper! Kemampuan ini terbatas, hanya bisa mengulang kejadian sampai 15 menit sebelumnya. Resiko dari kemampuan ini adalah menghapus semua data tentang klien yang sedang ditangani. Untuk mengembalikan ingatan tentang klien, tebusannya adalah batas waktu yang dimiliki akan berkurang sampai sehari sebelum kematian. Status bahaya tinggi. Jangan pernah digunakan jika memang belum menemukan petunjuk atau tidak yakin jika permintaan klien akan terpenuhi saat kamu menghilangkan efeknya. Aku menutup buku milik ayah, hanya terdapat sedikit keterangan di sini. Ingatanku bisa dipulihkan tetapi tidak dijelaskan bagaimana caranya. Ayah hanya menjelaskan resikonya. Ini sungguh memusingkanku. Tunggu! Jika Erika adalah pengguna kekuatan pikiran, maka lawan yang bisa menyeimbangkannya adalah Kakakku! Kak, sepertinya masamu untuk menjadi pangeran tidur telah berakhir. Kamu harus menolongku, jika tidak adikmu ini akan mati.   *** "Kak," Pintu kamar kakak terbuka, aku pun masuk kembali ke kamar kakak. "Kak," Kak Deden hanya diam dengan menggerak-gerakkan jempol kakinya "Kak, aku-" "Tidak mau!" tolak kak Deden langsung. "Hah? Kakak mau aku mati?" tanyaku agak terkejut. "Masih ada waktu 4 hari lagi, kalau kau sudah nyaris mati, aku akan menolongmu!" jawab kak Deden santai.   "Hah? Empat hari dengan hari ini, kak! Jika kutunda-tunda, aku benar-benar akan mati!" ujarku bersikeras agar kak Deden menolongku. Kak Deden bangun dan menatapku dengan pandangan mata menyebalkan. "Tika, yang harusnya jadi helper itu aku, kalau takdirmu kau harus mati, aku bisa apa?" kata kak Deden santai. Aku menggigit bibir bawahku kesal. "Aku juga tidak mau menjadi helper kak, tapi aku bisa apa?" balasku. Kak Deden terkekeh. "Jika aku menolongmu, apa yang bisa kudapatkan?"tanya kak Deden. "Jika aku terpaksa mati, akan kuberikan kekuatanku pada kakak," jawabku serius. "Eh, kamu tahu kan resikonya?" tanya kak Deden dengan mnyeringai licik. Aku mengangguk. "Jasadku akan menghilang dan keberadaanku akan terhapus," jawabku tegas. Kak Deden bangun dari tempat tidurnya dan berdiri di hadapanku. Kak Deden meletakkan tangan kirinya di atas kepalaku dan entah kenapa aku merasakan udara di sekitarku melayang dan tampak jelas di kedua mataku. Tak lama kemudian, kak Deden melepas tangannya dan kembali ke tempat tidurnya. "Lho, kak?" tanyaku heran. Kriet.. Lagi-lagi pintu kamar kak Deden terbuka. Jika sudah begitu, itu artinya dia ingin aku keluar. Aku pun hanya bisa menghela napas dan berjalan keluar. "Tik," panggil kak Deden saat aku sudah berada di ujung pintu kamarnya. "Ya, kak?" sahutku. "Apa kamu tidak pernah berpikir kalau yang membunuh klienmu adalah orang yang kau percaya?" tanyanya. "Adam?" tebakku. "Iya," "Kenapa kakak berpikir begitu?" tanyaku heran. "Karena di pikiranmu, Adam adalah tersangka utamanya," Aku terdiam. "Kak, boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku. "Apa?" jawab kakak balik bertanya.   "Apa kakak bisa membaca ingatan yang sudah terhapus?" tanyaku. "Tidak bisa," jawab kakak. "Kecuali, jika ingatan yang terhapus itu melekat kuat dan mendekati kebenaran," kata kakak menimpali. "Mendekati kebenaran?" tanyaku. "Tika," "Ya?" "Jika pembunuh klienmu Adam, apa yang akan kamu lakukan?" tanya kak Deden sembari bangun dan menatapku lekat. Aku menghela napas kecil. "Entahlah, aku belum punya bukti," jawabku bingung. "Tika, jika boleh aku sarankan, mundurlah sebelum terlambat1" "Maksud kakak?" "Carilah klien lain sebelum kamu mengingat lebih banyak lagi tentang klienmu saat ini, itu tidak melanggar aturan," saran kakak. Aku hanya tersenyum kecut. "Jika aku melakukan itu, ayah akan mengatakan aku pecundang, Kak!" sahutku lalu keluar dari kamar kakak. Blam. Pintu kamar kakak kembali tertutup. Aku menghela napas panjang. Ingatan yang mendekati kebenaran? Jika benar begitu, apakah benar Adam pelakunya? Jika memang dia, bagaimana aku membuktikannya? *** "Rio," Rio menatapku dengan ekspresi wajah terkejut seklaigus bingung. Mungkin dia tidak menyangka aku akan datang kepadanya. "Tika?" Aku tersenyum kecil. "Boleh aku masuk?" tanyaku. Rio mengangguk. "Silahkan!" katanya mempersilahkan aku masuk. Aku pun masuk. "Apa ingatanmu sudah kembali?" tanyanya saat kami sudah duduk di ruang tamunya. Aku menggeleng pelan. "Lalu, bagaimana kamu tahu rumahku?" tanyanya heran. "Dari temanku," jawabku. "Pacar temanku adalah teman sekelasmu, jadi dia menanyakan alamatmu pada pacarnya. Jadi, aku bisa tahu rumahmu dimana," "Teman sekelasku? Seingatku yang tahu alamatku hanya-," "Iya, Dewa, ketua kelasmu," potongku cepat. Rio tertegun. "Dewa punya pacar?" tanyanya setengah tidak percaya. "Iya," Rio tersenyum geli. "Aku tidak menyangka," katanya. "Kenapa? Kamu saja jadi pacarku," sanggahku. Rio mendadak menghilangkan senyumnya. "Emangnya aku kenapa?" tanyanya sinis. "Entahlah," "Rio, ada yang ingin aku tanyakan," Rio mengernyitkan keningnya. "Apa?" tanyanya. "Apa mungkin kamu pernah berciuman dengan Erika?" Rio mengangkat sebelah alisnya. "Hah?" kata Rio sangat terkejut dengan pernyataanku. "Jawab saja, aku hanya ingin memastikan sesuatu," "Tidak," jawab Rio tegas. "Kalau begitu," Aku menarik kerah baju Rio dan menciumnya. Rio meronta dan membuatku terpaksa melepaskannya. "Apa-apaan kau!" kata Rio marah. Wajahnya memerah. Aku rasa dia belum pernah berciuman. "Kau-" "Rio, apa mungkin kamu membunuh dirimu sendiri?" tanyaku dengan wajah serius. Rio memandangku lekat, sorot matanya tajam dan menilai dari ekspresinya, aku yakin itu ekspresi heran bukan kebingungan.   "Kamu menuduhku membunuh diriku sendiri? Untuk apa?" jawabnta balik bertanya. Dia benar-benar mengabaikan pertanyaanku. "Untuk membunuhku," jawabku tegas. "Jadi, apa kamu menciumku untuk memastikan dugaanmu?" tanyanya. Aku mengangguk dan menyandarkan tubuhku di sofanya. "Tapi, meski kamu berniat membunuhku, tak ada ingatan kau telah membunuh dirimu sendiri," ucapku lemas. "Kamu dibunuh," Rio ternganga. "Siapa?" "Aku belum tahu," Rio tertunduk dengan menghela napas berat. Diperbaikinya letak kacamatanya dan memandangku lekat. "Aku ingin menyerah, tapi tidak bisa kulakukan, karena kamu juga akan ikut bersamaku dalam kematian," Aku menepuk ringan lengan Rio yang duduk disampingku. "Jika aku mati, kau akan hidup," Rio melebarkan pupil matanya. "Maksudmu?" "Aku punya sebuah rencana," "Tik, kamu tidak berniat untuk-" "Apa? Kamu tidak tahu apa-apa, jangan berpraduga!" potongku. Aku bangkit dan memandang Rio dengan tersenyum semanis mungkin. "Hei cupu, maaf sudah mengambil ciuman pertamamu," kataku setengah meledeknya. Wajah Rio kembali memerah. Cowok berkacamata itu langsung mengalihkan pandangannya dariku. "Itu bukan ciuman pertamaku," bantahnya. "Haha, terserah kau, cupu!" pungkasku lalu berlalu pergi. Setelah cukup jauh dari rumah Rio, aku mengambil handphoneku dan menekan nomer seseorang di kontakku. "Halo?" suara diseberang sana terdengar. "Seperti dugaanmu, aku sudah menemukan petunjuk," "Baguslah, mari kita jalankan rencananya," sahutnya.   "Ok," Aku mematikan telponku dan memandang langit luas di atasku. "Perang baru saja dimulai," bisikku lirih.   *** Brakkk. Aku terpaksa mendobrak pintu rumah Adam. Sudah lebih dari tiga puluh menit dan kak Deden belum juga keluar dari rumah Adam. Aku semakin khawatir saat rumah Adam begitu hening dan sepi, padahal kak Deden berniat untuk membaca pikiran Adam. Mungkinkah Adam sudah tahu rencana kami? "Kak?!" Aku tertegun saat kulihat kak Deden sudah tersungkur di lantai yang dingin, pingsan. "Adam, kau-" Adam tertawa sembari bertepuk tangan menyambut kedatanganku. "Tika, kamu sungguh licik!" katanya geram. "Kamu membuatku muak" Aku terdiam. Sungguh tidak percaya kalau orang yang sedang berdiri di hadapanku ini adalah Adam, sahabatku. "Kak Deden bukanlah tandinganku, Tika!" katanya menimpali. "Adam, kamu apa kan kakakku?" tanyaku. Adam hanya tersenyum kecil. "Tenanglah, aku hanya membuatnya pingsan, Tika!" jawab Adam dengan senyuman yang membuatku menjadi geram. "Jadi, kamu sudah tahu rencana kami?" tanyaku memastikan dugaanku. Adam tidak menjawab. Sepertinya dia sedang ingin berteka-teki. "Adam," panggilku lagi. Adam menatapku lekat, tajam dan sedikit menakutkan. Aku belum pernah melihat sosok Adam yang seperti ini. "Tika," panggilnya dengan penekanan yang sungguh membuatku bergidik ngeri. "Kamu membunuhnya," kataku walaupun saat ini sungguh aku meragukan ucapanku sendiri. "Siapa yang kamu maksud?" tanya Adam dengan senyum menyeringai. "Rio," jawabku singkat. Adam terkekeh. Cowok itu terbahak keras membuatku menjadi yakin dia pembunuhnya. Adam tiba-tiba terdiam lalu mendadak mengubah ekspresinya menjadi datar. "Aku tidak membunuhnya, Tika!" kata Adam santai. "Heh?" "Kaum yang membunuhnya!" kata Adam menimpali. "Hah? Apa maksudmu?" tanyaku terkejut setengah mati. "Sudahlah, Tika! Kau sudah melupakannya, untuk apa kau mengingatnya lagi?" tanya Adam dengan tatapan meremehkan. "Aku tidak mungkin membunuhnya, kamu hanya ingin merusak pikiranku bukan?" tebakku. Adam lagi-lagi hanya terkekeh. "Tika, untuk apa aku berbohong? Kalaupun aku mengakuinya, Rio tetap saja akan mati, benar kan?" sanggah Adam. Memang benar Rio akan mati begitu keinginannya untuk tahu siapa yang membunuhnya terkabul. Namun, bukan berarti pembunuhnya adalah aku bukan? Aku ini helper! bukan murder. "Jadi, selama ini kamu tahu aku siapa?" tanyaku dengan wajah serius. Adam mengangguk. "Tentu saja, kamu lupa kalau kita ini adalah sahabat sejak lahir?" tanya Adam setengah menyindir. Aku terdiam melihat seorang sahabat yang kukenal sejak lama, tetapi kini telah berubah menjadi seseorang yang nyaris tidak bisa kukenali lagi. Adam telah berubah. Sangat berbeda. "Tunggu, jika kamu tahu aku helper! maka kamu adalah...?" aku menghentikan tebakanku sendiri, tak mampu rasanya aku memikirkan kemungkinan ini sebagai sebuah kebenaran. Aku tidak mungkin mampu menanggungnya. "Iya, Tika, aku ini watcher!, musuh abadimu," kata Adam menegaskan. "Heh? Bukankah Erika yang-" "Tidak! Dia hanya salah satu anjingku," potong Adam cepat. "Memangnya selama ini kau tidak curiga bagaimana seorang Adam memiliki banyak pacar tanpa ketahuan dan memiliki banyak 'anjing'?" tanya Adam dengan penuh kesombongan.   "Rio, si cupu itu, juga udah kumanipulasi pikirannya, semua yang dia katakan padamu hanyalah sebuah kebohongan," kata Adam melanjutkan. "Bohong!!" teriakku tegas. "Aku menemui Erika sendiri, dia menunjukkan kemampuannya padaku!" bantahku, masih tidak ingin percaya apa yang Adam katakan sendiri. "Dia hanya sebuah wadah yang mampu mengcopy kemampuan orang lain, Tika. Aku yang mengatur semua ini," kata Adam tegas. "Untuk apa?" tanyaku dengan bulir bening panas yang mulai terbentuk di sudut mataku. Adam tersenyum, kali ini senyumannya teduh dan sedih. "Karena aku tidak mau kamu terluka, Tika!" jawab Adam. Aku mematung dengan pikiran yang kini sudah tidak lagi kuketahui bagaimana nasibnya. "Kamu berbohong bukan?" kataku masih mencoba melakukan penolakan atas kenyataan yang mungkin saja semu. Adam menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, Tika!" sahut Adam tegas. "Pembunuh Rio adalah dirimu sendiri!" Aku terpaku dengan kepingan ingatan yang mulai kembali secara acak. "Aku membunuh klienku sendiri?" "Mungkinkah?” Aku terpaku dalam lamunan akan kepingan ingatan yang mulai kembali dan membentuk sebuah retakan yang menghancur leburkan ingatanku sebelumnya. Ini sungguh membingungkan. Juga, menyakitkan. "Jadi, apa kamu mengingatnya, Tika?" tanya Adam dengan seringainya yang mengerikan. "Kamu berbohong, Adam!" tolakku tegas. Adam menghentikan seringainya dan menatapku tajam. "Apa kamu masih belum mengerti? Kamulah pembunuhnya! Jangan membuatku muak seolah kamu ini pahlawannya!!" bentak Adam. "Kamu pembunuh Tika! Pembunuh!" Prang. Brakk. Adam terjatuh dalam sekejap, satu hantaman keras membuatnya terjatuh. Bersamaan dengan itu sebuah vas bunga pecah. Adam jatuh pingsan. Kulihat kak Deden yang sudah berdiri tegak. Rupanya dia berhasil memulihkan dirinya. "Kakak, kamu tidak apa-apa?" tanyaku cemas. Kudekati kak Deden tetapi kakakku itu tiba-tiba menggerakkan meja ke tengah-tengah kami. Aku berhenti, seperti kakakku itu enggan kudekati. "Mundurlah, Tika sebelum aku membunuhmu!" Deg! "Kakak?!!" teriakku terkejut setengah mati. Kak Deden memijat-mijat bagian belakang kepalanya yang terkena pukulan Adam. Dengan sebelah matanya yang tidak terbalut penutup mata, dia menatapku tajam. "Jika apa yang dikatakan Adam benar, kamu tahu kan apa yang akan terjadi padamu, Tika?" tanya kak Deden dengan pandangan mata yang lebih cenderung mengejek dan sedikit meremehkan. Aku mengangguk kecil. "Iya," sahutku pelan. "Jadi, Tika! Sebelum ingatanmu kembali, ambillah keputusan!" kata kak Deden menasehati. "Kamu akan membiarkan klienmu mati tanpa harus membuatnya tahu mengenai kebenarannya atau." kak Deden menatapku lekat. "Kamu akan mengakuinya dan menghilang," Aku tertegun dengan pernyataan terakhir kak Deden. Sejujurnya aku juga tidak tahu apa yang harus kulakukan dan siapa yang harus kupercaya. Aku menemui jalan buntu yang membuatku mau tak mau harus membunuh diriku sendiri atau mengorbankan orang lain untuk tetap bertahan hidup. Dimanapun yang menjadi pilihanku, itu terasa menyedihkan. Aku berharap, memiliki pilihan lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD