6

2901 Words
Aku terpaku menatap nanar diriku di cermin. Jika memang aku ini adalah seorang pembunuh, maka aku sudah tidak layak lagi menjadi helper! Tugasku adalah menolong orang yang akan mati, bukan mengambil hidup orang yang masih hidup. Aku pandangi diriku, dari ujung kaki hingga kepalaku. Kutatap lekat dan terus menerus, berharap akan ada kejaiban yang membuat pintu ingatanku sesungguhnya terbuka. Ingatan yang asli, bukan ingatan yang semu atau manipulasi. Aku menghela napas panjang, mencoba memikirkan berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi. Pertama, jika memang aku pembunuh Rio dan apa yang dikatakan Adam itu benar, maka aku memiliki dua pilihan. Jika aku memilih mengakuinya, Rio akan tetap hidup. Sementara aku akan terhapus keberadaannya sehingga seorang Maretha Dwi Sartika seolah tidak pernah terlahir di dunia ini. Jika aku tetap diam, maka Rio akan menghilang setelah batas waktu kami habis. Sayangnya, aku pun akan hidup selamanya. Bukan sebagai helper tapi sebagai seorang malaikat maut. Kemungkinan kedua, jika ternyata ini hanyalah kamuflase Adam untuk membuatku bingung, maka hanya akan ada tiga kemungkinan. Pertama, Adam adalah pembunuhnya. Untuk menutupinya dia juga mengklamufase pikiran Erika, Rio bahkan aku. Jika dugaan ini benar, Rio akan mati dalam damai. Sedangkan aku akan tetap hidup sebagai seorang helper! Kedua, jika pembunuhnya adalah Erika dan dia yang mengklamufase Adam sehingga aku menuduh Adam pembunuhnya, maka aku dan Rio akan mati. Kemungkinan terakhir. Jika pembunuh Rio adalah dirinya sendiri dan aku terlambat memberitahunya. Dia akan hidup dan aku akan mati menggantikannya. Begitulah aturan yang ada di dunia helper! Karena kami, para helper dilarang menolong orang yang bunuh diri. Dari semua kemungkinan itu, yang mana jawaban sebenarnya? Aku tidak memiliki petunjuk apapun. Ditambah sekarang otakku buntu dan rentetan ingatanku yang sekarang sangat beragam dan acak. Ini membuatku muak dan kesal. "Tika," Aku menoleh dan kak Deden sudah berdiri di pintu kamarku. "Kamu sudah mengambil keputusan?" tanyanya. Aku hanya menggeleng pelan. "Kalau begitu, mau kukembalikan setengah ingatanmu yang asli?" tanya kak Deden. Aku mengerutkan keningku. "Maksud kakak?" tanyaku tidak mengerti. "Aku bisa menolongmu, menghapus ingatan yang palsu," jawab kak Deden. "Heh?" kataku heran. "Tapi, ada resiko yang harus kamu bayar mahal," kata kak Deden dengan wajah serius. "Maksud kakak?" tanyaku semakin bingung. "Kamu harus meminta persetujuan klienmu, karena ini akan memotong waktu kalian hingga setengahnya," jawab kak Deden. Setengah? Jadi jika aku mengiyakan tawaran kak Deden, waktuku dan Rio hanya tinggal dua hari? "Aku tidak memaksamu, Tika!" kata kak Deden menegaskan. "Aku hanya ingin membantumu," kata kak Deden menambahkan. "Kenapa?" tanyaku heran. "Karena jika penerus generasi helper menghilang, kekuatan seluruh keluarga pun akan menghilang, Tika!" Aku tertegun, terkejut setengah mati. "Jadi, maksud kakak keputusanku dan keberadaanku menentukan nasib keluarga kita?" tanyaku memastikan. Kak Deden mengangguk yakin. "Iya, dan jika kamu salah mengambil keputusan, kita semua akan mati!" Aku terdiam, pusing menatap masa depan suram yang telah menunggu di depan mata. Kalaupun aku gagal, tidak bisakah seorang Tika menghilang seorang diri? Aku tidak mau melibatkan siapapun, apalagi  semua anggota keluargaku. "Jadi, apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Tika?" tanya kak Deden saat aku hanya mematung dalam diam. Aku menghela napas kecil dan memandang kak Deden yang sudah menunggu jawabanku. Raut wajahnya menunjukkan suatu kegelisahan, kegusaran dan ketakutan. "Aku percaya padamu, kak!" ucapku tegas membuat kak Deden mengerutkan dahinya. "Kau menerima tawaranku?" tanyanya dengan bimbang. Aku mengangguk pasti. "Ya, aku menerimanya, kak!" jawabku menegaskan. "Tidak takutkah kamu kalau aku sedang berbohong dan ingin menyingkirkanmu?" tanya kak Deden lagi. Aku menggeleng pelan. "Tidak, kak. Kalau pun aku menghilang, generasi Helper! selanjutnya bukanlah kakak. Kalau pun aku memberikan kekuatanku pada kakak, kemampuan ini hanya akan bertahan dalam sebulan," jawabku menjelaskan. "Aku sangat memahami pikiran kakak meskipun aku bukan seorang pembaca pikiran," kataku menegaskan. Kak Deden menatapku lekat. "Baiklah, tapi bagaimana caramu meyakinkan klienmu?" tanya kak Deden dengan wajah yang sudah mulai serius. "Mengenai itu, percayakan saja padaku. Klienku kali ini akan lebih memilih mati setelah tahu pembunuhnya, bahkan meski jika pada akhirnya tahu kalau aku kemungkinan adalah pembunuhnya!" jawabku tegas. Kak Deden hanya mengangguk ssbentar lalu pergi meninggalkan kamarku. Aku tatap punggung kak Deden sampai menghilang dari pandanganku. Walaupun kakak selama ini kurang memperlakukanku dengan baik, tapi aku sangat tahu jika kak Deden sangat menggilai kekuatannya. Jadi, dia akan melakukan apa saja untuk mempertahankannya. Karena itulah, aku mempercayainya.   Masalah yang lebih besar yang harus kupikirkan daripada memikirkan soal niat dan motif kak Deden membantuku adalah bagaimana menjelaskan pada Rio tentang kemungkinan yang ada. Bagaimana aku menjelaskan padanya, kalau ada empat tersangka sebagai pelaku pembunuhnya. Pertama Adam, kedua Erika, ketiga aku dan keempat, dirinya sendiri. Rio, berikan aku jawaban yang benar. Karena jawabanmu itu akan menentukan keputusanku. Dan keputusan dariku akan menentukan nasib kita berdua selanjutnya. *** "Jadi, maksudmu ada kemungkinan jika kaumlah pembunuhku?" tanya Rio saat aku sudah mendatangi rumahnya dan menjelaskan semua yang kutahu. Aku mengangguk membuat Rio terdiam sejenak. "Tapi, Tik, aku meragukan itu," kata Rio dengan santai. "Maksudmu?" tanyaku tidak mengerti. "Jika kamu ternyata pembunuhku, bagaimana bisa kau langsung datang tepat waktu sebelum kematianku?" jawab Rio memberikan argumennya. "Selain itu Tika, kita tak saling mengenal dan kau bahkan tidak memiliki motif apapun untuk membunuhku," Rio menambahkan. "Jadi, kamu tidak mempercayai kemungkinan yang Adam katakan?" tanyaku memastikan. Rio mengangguk pasti. "Aku lebih meyakini kalau pembunuhku adalah Adam, Tika!" jawab Rio dengan ekspresi serius. "Jika kenyataannya, kau pembunuhku, aku tidak akan menyalahkanmu. Kau pasti punya alasan kuat melakukannya," Aku terpana, entah kenapa Rio terlihat begitu dewasa saat ini. "Tapi, jika itu Erika atau Adam, bisa aku minta sesuatu lagi setelah aku benar-benar mati?" tanya Rio dengan tatapan lurus padaku. "Apa itu?" tanyaku penasaran. "Tolong balaskan dendamku!" jawab Rio bersungguh-sungguh. Aku meradang, kekagumanku lenyap dalam sekejap. "Aku ini helper Rio bukan tukang balas dendam," sahutku BT. Rio terkekeh. "Kalau begitu, kau ubah saja julukanmu, Tika. Dari helper! menjadi pembalas dendam," ejek Rio sembari tersenyum geli "Jika kuubah sebutanku, kisahku ini akan sangat jadi lucu. Kelak aku akan memberikan sebuah cerita legenda tentang pembalasan dendam Tika ke generasi penerusku," sanggahku membuat Rio makin jadi. Cowok berkacamata yang ternyata ganteng itu tertawa renyah dan entah kenapa aku jadi sedikit menyukainya. Tidak! Ingatlah Tika, dia akan segera mati dan tugasmu adalah mengabulkan keinginannya sebelum dia pergi ke akherat!! "Tika," "Ya?" "Aku sudah memutuskan," kata Rio yang langsung berubah sikap. "Hm, apa keputusanmu?" tanyaku dengan rasa gugup yang tiba-tiba mendera. "Mari kita persingkat semua ini," katanya. Aku mengernyitkan keningku. "Kamu yakin?" tanyaku ragu. Rio mengangguk. "Semakin cepat masalah ini, maka aku akan secepatnya pergi," jawab Rio bersungguh-sungguh. Aku menghela napas panjang dan berat. "Baiklah, jika itu maumu!" Aku dan Rio berpandangan. "Jadi, kapankah kita akan melakukannya?" tanya Rio. "Ikutlah denganku, kak Deden sudah diluar!" jawabku. Rio mengangguk. Kami berdua pun keluar dari ruang tamu Rio dan menemui kak Deden yang memang aku suruh untuk menunggu di luar. "Kak, ini klienku!" kataku saat aku dan Rio sudah sampai di depan kak Deden. Kak Deden yang saat itu membelakangi kami langsung berbalik. Splash. Gelembung air tiba-tiba melayang di udara, berputar dengan dasyatnya menjadi sebuah putaran angin yang mengelilingi tubuh kak Deden. Penutup mata kak Deden terbuka dan mata merah yang menyala itu pun terlihat. Sisi kak Deden yang lain telah menyapa kami. Kakakku memiliki sebuah rahasia. Di dalam tubuhnya, terdapat sebuah 'kutukan' yang diyakini akan bangkit suatu saat nanti. Namun, sisi itu akan muncul hanya jika dia bertemu dengan keturunan sang pemberi kutukan. Kak Deden menatap lekat pada Rio dan entah ini sekadar bayanganku atau bukan, samar-samar tanda bintang di telapak tangan Rio menghilang. Sebagai gantinya muncul sebuah simbol aneh yang tak pernah kuketahui di keningnya. Rio menatapku dan aku hanya mampu mematung bak telah tersihir oleh kekuatan medusa. "Kamu sang Lucifer," Rio menyeringai. "Kaum Helper akan musnah hari ini!" kata Rio tegas. Langit mendadak gelap, waktu seakan terhenti. Kami telah memasuki sebuah dimensi ruang dan waktu yang lebih mirip 'neraka'. Gelembung air kak Deden berputar cepat dan menghalangi tangan Rio yang nyaris meraihku. Tubuhku terpental kuat oleh sebuah tiupan angin yang tiba-tiba menerjang tubuhku kuat. Brak. Tubuhku terhempas dan kurasakan sakit yang begitu terasa saat tubuhku jatuh dan menghantam keras kuatnya sebuah ruang dimensi yang Rio buat. Kak Deden bergerak cepat,  dia telah berada di depanku.  Dia menoleh ke arahku dengan gelembung air yang kini telah meruncing. Sepertinya dia sudah siap berperang. "Kamu tidak apa-apa, Tika?" tanya kak Deden. Aku mengangguk kecil. "Aku tidak apa-apa, kak!" jawabku. "Baguslah, kamu tidak boleh mati, kita harus memusnahkan dia lebih dulu!" kata kak Deden sembari menatap pada Rio yang berada di depannya. Rio terkekeh mendengar pernyataan dari kak Deden. Entah ini hanya sebatas imajinasiku atau bukan, Rio telah berubah menjadi sesuatu yang 'indah' tapi 'seram' pada saat yang bersamaan. Aku memang pernah mendengarnya mengenai legenda dari keluarga yang disebut Lucifer, keturunan malaikat maut yang terkenal. Sebuah kaum bangsawan yang pada akhirnya 'punah' karena tergeser oleh kaum helper dan watcher. Namun, ini pertama kalinya dalam hidupku, aku bertemu salah satu keturunan mereka secara langsung. "Jadi, bagaimana bisa kamu berada di tubuhnya?" tanya kak Deden kembali fokus pada Rio, lawannya. Rio terkekeh sekali lagi. Cowok itu mengeluarkan aura gelap yang begitu pekat dari tubuhnya. Kedua pupil matanya berubah warna menjadi kuning keemasan. "Sejak awal, aku sudah berada di dalam darahnya. Hanya menunggu waktu saja bagiku untuk bangkit. Namun aku tak menduga kalau kamu akan terpancing secepat ini," jawab Rio dengan senyuman licik. Terpancing? Apa jangan-jangan.. "Tidak, Tika! Ini bukan salahmu. Dari awal harusnya aku mencurigai klienmu. Aku sudah tahu Adam itu siapa tetapi aku tidak menyangka jika apa yang dia pikirkan hanyalah untuk kebaikan kaum helper!" kata kak Deden sembari melirikku. Kakakku itu tahu apa yang kupikirkan. Entah mengapa aku lega dia bisa membaca pikiranku tanpa harus kukatakan. Karena jika tidak, mungkin aku tidak akan pernah bisa mengajukan pertanyaan ini. "Kak," Kak Deden menoleh. "Ya?" "Aku yang akan menghadapinya, kakak mundurlah!" pintaku sembari bangun. "Hah? Apa kau gila? Orang yang ditakdirkan untuk berperang dengan keturunan Lucifer adalah aku!" tolak kak Deden tegas. "Kalau begitu, berikan aku lima menit! Jika aku kalah, kakak boleh melawannya!" kataku bersikukuh. Kak Deden terdiam. "Kau yakin?" tanya kak Deden ragu. "Ya, sangat yakin!" jawabku tegas. Kak Deden menghela napas. Kakakku itu tiba-tiba menutup kembali sebelah matanya sehingga gelembung air yang awalnya sudah siap bertempur itu terjatuh dan hancur. "Aku beri kamu waktu lima menit!" katanya sembari berjalan mundur. Aku mengangguk. Kutatap Rio dan mulai membenarkan posisi berdiriku. Aku akan menghadapinya. Pasti. "Jadi kamu menipuku?" tanyaku. Rio tersenyum. "Aku sungguh tidak menyangka kalau ini akan sangat jadi menarik, Tika. Kau seharusnya mendengarkan apa kata Adam dan jangan mengubah ingatan yang ditanamnya. Namun, itu akan sangat membosankan bukan?" Jawab Rio dengan senyum yang entah kenapa membuatku muak. "Tidak, aku tahu kalau aku pembunuhmu," sanggahku. "E.. Benarkah?" Aku menyeringai. "Ya, aku mengingat dengan jelas semuanya sekarang!" ucapku tegas. Rio menatapku tajam, ekspresi kemenangannya sedikit memudar. "Benarkah? Aku meragukan itu," ucap Rio dengan sombong. Aku terkekeh mendengar pernyataannya. "Kau begitu sombong, apa kau merasa kuat hanya karena kau keturunan Lucifer?" tanyaku dengan penuh penekanan yang juga menunjukkan keangguhanku. Bagaimanapun caranya aku harus bisa menjatuhkan mentalnya. Karena itu satu-satunya cara agar aku berhasil menang. Rio menautkan kedua alisnya. "Jangan sombong, Tika. Kamu hanya seorang helper yang memiliki tiga kekuatan yang sama sekali tidak berpengaruh untukku," sangkal Rio. "Kamu hanya memiliki kemampuan reader, healer dan reset!" imbuh Rio. Aku terkekeh mendengar pernyataan Rio. "Eh.. Jadi kamu tahu aku menggunakan kekuatan resetku? tanyaku. Rio mengangguk. "Tentu saja, karena yang menemuimu saat itu adalah aku dan Erika," jawabnya tegas. "Jadi kamu yang mengendalikan Erika?" tanyaku sedikit kaget. Rio mengangguk. "Ya, aku mengendalikannya. Namun si Adam yang oon itu berupaya mengusikku, untungnya kamu malah berada di pihakku sehingga rencanaku bisa kembali pada jalurnya," jawab Rio tegas. Aku tertawa terbahak dengan pengakuan Rio membuat cowok itu terheran-heran. "Apa yang kau tertawakan, Tika? Apa kamu sudah gila karena sebentar lagi akan mati?" tanyanya dengan senyum mengejek. Aku terdiam dan menatapnya dalam dengan kemarahan yang jelas terlihat. "Rio, kamu tahu peraturan dalam helper?" tanyaku. "Hm?" "Aku memang memiliki tiga kekuatan yang bisa kugunakan untuk membantu klienku. Tapi, ada satu keadaan yang bisa membuatku unggul jika aku ditipu klienku," kataku. Rio tampak mulai bingung. "Jadi, apa kamu mengakui kalau kau telah berniat membunuhku sejak awal?" Rio diam. Enggan menjawab. "E.. Jadi kamu takut mengakuinya?" pancingku. Rio menggeleng dan tersenyum. "Tidak, aku memang berniat membunuhmu sejak awal!" jawabnya tegas. Aku terkekeh lalu bergerak cepat dalam satu kedipan mata dan telah berada di depannya. Rio kaget dan hendak mengelak tetapi aku sudah mencengkram kuat jantungnya. "K-kau!!" katanya saat tanganku sudah berada di dalam dadanya, meremas kuat jantung manusianya. "Seorang helper boleh menjadi killer saat kliennya telah mengaku kalau dia ingin membunuh seorang helper!" Tak. Krak. Blash. "Aku tidak akan mati semudah itu," Kuremas kuat jantung Rio dan jantung itu pun hancur berkeping-keping dalam satu remasan dari tanganku. Rio membelalakkan matanya saat cipratan darah dari jantungnya menyembur kemana-mana. Cowok berkacamata itu tersungkur jatuh saat kulepas tanganku dari dadanya. Aku menoleh pada kak Deden. Kakakku itu menggelengkan kepalanya, dia menunjuk matanya yang tertutup. "Eh, dia belum mati rupanya," gumanku agak kecewa. Aku mundur dua langkah saat tubuh Rio melakukan 'healer' pada dirinya sendiri. Ya, Rio belum mati! Tak lama Rio bangun dan menatapku dengan kebencian yang lebih tampak jelas daripada sebelumnya. "Kamu menyebalkan, Tika!" gerutunya kesal sembari mengusap dadanya yang sudah kembali 'utuh'. Aku tertawa kecil dan menatapnya dengan tatapan mengejek. "Hei, lucifer!" panggilku. Rio mendecih kesal saat aku memanggilnya begitu. "Apa?" sahutnya dengan nada jengkel. "Kamu sudah pulih?" tanyaku dengan nada mengejek. "Tidak! Aku berharap aku mati saja!" jawabnya dengan nada antara malu dan marah. Aku tertawa terpingkal-pingkal membuat Rio semakin kesal. Kudekati Rio dan kutarik kerah bajunya. "Kamu pelayanku sekarang," bisikku di dekat telinganya. "Kamu!!" Rio hendak memukulku tetapi ia segera mengerang kesakitan sebelum pukulannya mendarat di tubuhku. "Aarrhhhh," teriak Rio kesakitan. Aku hanya menatap Rio dengan senyuman puas. "Apa yang sudah kamu lakukan padaku huh?" tanya Rio dengan berteriak kesal. "Hei lucifer, peraturan ke-103 Helper! Jika kaum lain mencoba memanipulasi kematian kaum helper maka mereka akan menjadi pelayan kami sampai mati!" jawabku. Rio menautkan keningnya. "Tapi saat kamu membunuhku waktu itu, kenapa tidak terjadi apapun?" tanya Rio heran. "Itu, karena aku tidak mengarahkan pisauku pada jantungmu, Rio!" "Heh?" "Kamu mengingat dengan jelas kejadiannya bukan?" tanyaku. Rio terdiam. "Kamu," Kami saling menatap dan dia mulai paham dengan pemikiranku. "Tahu semuanya," imbuhnya. Aku mengangguk pelan. "Oi, oi, jika ini sudah selesai aku ingin pulang!" celetuk kak Deden. Aku menoleh ke arah kakakku itu lalu tersenyum kecil. "Kembalilah, Kak!" Kak Deden menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Baiklah," katanya lalu dalam satu ketukan jari kakakku itu sudah menghilang dari hadapanku. Yups, kakakku sudah semakin kuat. Kekuatan terlarangnya sudah bangkit. Itu artinya kekuatannya sudah mendapat satu kekuatan baru yaitu teleportasi. Aku mendekati Rio dan memperhatikan tanda pelayan helper di lehernya. Mulai hari ini Rio sang lucifer telah berganti menjadi salver (si pelayan). "Jadi, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Rio dengan serius. "Soal apa?" tanyaku. "Queen," Aku menyeringai mendengar jawaban Rio. "Jangan terburu-buru, kita masih harus menambah kolega sebelum menghadapinya," Rio menautkan alisnya. "Kolega?" tanya Rio bingung. Aku mengangguk. "Heh? Maksudmu dia?" Aku tertawa melihat reaksi Rio. "Jangan heboh begitu, bagaimanapun dia akan sangat berguna," ucapku. Rio berdecak kesal. Berdasarkan raut wajahnya, aku yakin dia enggan bekerja sama dengan orang yang kumaksud. Namun, kami tidak punya pilihan lain. *** "Aku tidak mau," tolak Adam tegas. "Heh?" "Apaan heh? Kalian pergilah dari sini!" usir Adam. "Kenapa, Dam? Bukankah kita ini sahabat?" tanyaku bingung. "Heh? Kamu menganggap serius ingatan yang kutanamkan? Kita ini bukan sahabat, Oon!" sanggah Adam. "Tapi aku merasa ingatan itu asli, Dam!" elakku. Adam mendecak kesal. "Aku dan kamu bukan sahabat, Tika! Tidak akan ada pertemanan antara kaum Helper dan watcher!" kata Adam menegaskan. "Tapi kamu sampai melakukan banyak hal untuk menolongku agar tidak menghadapi kaum lucifer!" sanggahku. Adam menghela napas kesal. "Itu karena jika kamu sampai mati, kaum helper akan menghilang. Jika sampai kau benar-benar mati, kaumku akan menjadi sasaran berikutnya. Karena itulah aku mencoba memanipulasi semuanya," kata Adam menjelaskan. "Mengenai kejadiannya sebenarnya, aku-" "Aku tahu," potongku. "Heh?" "Ingatanku sudah kembali sepenuhnya, Dam!" jawabku. Adam menatapku tajam. "Jadi, kamu tahu kalau dia sudah bangkit?" tanya Adam dengan serius. Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, karena itulah aku mau mengajukan kerjasama denganmu dan Erika," kataku menegaskan. Adam menautkan kedua alisnya. "Erika?" Aku mengangguk. "Kenapa harus dia?" tanya Adam heran. "Jadi kau belum tahu?" tanyaku balik nanya. "Soal apa?" tanyanya bingung. "Dia adalah pelayan sang Queen," jawab Rio mulai angkat bicara. "Heh?" Adam tampak terkejut. "Pelayan sang Queen?" tanya Adam ragu. Aku mengangguk. "Iya, dia telah berhasil menipumu rupanya," "Tidak mungkin! Aku ini watcher, tidak mungkin aku bisa tertipu!" sangkal Adam. Aku hanya berdecak mendengar penyangkalan Adam. "Kenyataannya kamu sudah ditipunya, Dam!" Adam menganga, shock berat! "Karena itulah, kita harus bekerjasama dengannya," "Caranya?" tanya Adam yang mulai bisa mengendalikan dirinya. "Buat dia di pihak kita!" Adam dan Rio berpandangan. "Tidak mungkin!" sahut mereka kompak. "Heh? Kenapa?" tanyaku bingung. "Jika apa yang kau tuduhkan benar," jawab Adam. "Dia akan mati," imbuhnya. "Hah? Kenapa?" tanyaku masih bingung. "Karena jika seorang pelayan Queen berkhianat, dia akan mati bahkan saat dia baru saja berniat melakukannya!" Rio menegaskan. Kami bertiga tertunduk dalam diam. "Jadi, tak ada pilihan lain bagi kita selain menghadapi sang Queen langsung?" tanyaku. Rio dan Adam mengangguk bersamaan. "Tapi, untuk saat ini kita hanya bisa diam, Tika!" kata Rio lagi. Aku menoleh ke arahnya. "Kenapa?" tanyaku lagi. "Karena sampai sekarang pun, aku belum tahu sang Queen itu siapa," jawab Adam. Aku terdiam. Bingung. Sang Queen belum muncul lalu kenapa dia bisa mengaduk-ngaduk tiga kaum sekaligus tanpa menunjukkan dirinya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD