7

2400 Words
Aku melangkahkan kakiku menyusuri koridor sekolah dengan seorang lelaki di sampingku. Tanda di telapak tangan kanan dan keningnya menghilang. Sebagai gantinya, terdapat lambang kunci di lehernya, tanda bahwa dia bukan lagi kaum lucifer tapi pelayan Helper! "Tik," Aku menghentikan langkahku seketika saat Rio berhenti. Aku menoleh ke arahnya dan dia menunjuk ke arah depan. Aku mengikuti arah pandangannya dan sedikit kaget saat kulihat Erika. Cewek itu berjalan tegap dengan membusungkan dadanya. Rambutnya yang pendek seketika berubah panjang dan hijau. Benarkah itu Erika? Entahlah, tetapi dari wajahnya kecuali dia punya kembaran maka ada kemungkinan dia itu bukan Erika. Erika mendekat dan berdiri di hadapanku dan Rio dengan sebuah senyuman penuh misteri. "Perang dimulai. Queen memujimu, Helper!" ucapnya dengan tata bicara seorang pelayan. Erika menundukkan tubuhnya sebagai simbol penghormatan lalu mulai berjalan pergi. Aku mengernyitkan keningku sesaat sstelah Erika telah menjauh. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Tik?" tanya Rio penasaran saat melihatku masih mengamati Erika. "Rambut Erika," "Ya?" "Hijau," ucapku. "Lalu?" Aku menoleh ke arah Rio demikian sebaliknya. Kami saling beradu pandang cukup lama. "Apa mungkin dia itu." kuhentikan ucapanku, membuat Rio semakin penasaran akan lanjutan kalimatku. "Tidak takut dihukum guru?" Rio mendadak flat. "Tik," "Ya?" "Tidak penting," dengusnya kesal. Aku tersenyum geli melihat ekspresi kesal yang Rio tunjukkan. "Sudahlah, segera kembali ke kelasmu!" suruhnya. Aku diam mengamati Rio yang mulai berjalan duluan. "Hei, salver!" panggilku. Rio berhenti seketika lalu ke belakang menoleh dengan wajah yang makin kesal. "Aku kaum lucifer yang agung!" protesnya. Aku hanya mendecih untuk mengejeknya. "Itu dulu, sekarang kamu pelayanku!" ucapku lalu berjalan mendahuluinya. Rio hendak berjalan mendahuluiku tetapi aku segera mencegah niatnya. "Jika kamu berjalan di depanku, akan kubuat kamu kesakitan!" ucapku setengah mengancam. Rio menghentikan langkahnya. Aku tidak lagi menoleh ke belakang. Hanya terus berjalan menikmati kesombongan yang jarang aku rasakan. Selama setahun menjadi Helper! Ini adalah pertama kalinya aku bahagia dan sangat bersyukur telah ditakdirkan menjadi seorang helper. Karena dengan status ini, hidupku jauh lebih menarik dan bisa bertemu kaum lain yang tidak kalah 'unik'. *** "Aaaaaaa... Tolong!" "Tolong! Aku tidak mau mati!" "Beri aku waktu, aku masih ingin dengannya!" Aku menggeser letak headphone-ku dan mulai mencoba konsentrasi belajar. Suara itu datang lagi. Status klienku Rio sudah menghilang, itu artinya aku harus mencari klien baru. Kulirik pak Hanafi yang sepertinya tahu aku tidak memperhatikan pelajarannya. Beliau pasti berencana untuk membuatku malu. "Pak!" panggilku sedetik lebih cepat sebelum beliau memanggiku. "Eh? A-ada a-apa Tika?" sahut pak Hanafi gugup. "Saya permisi ke toilet, Pak!" jawabku. "Baiklah, tapi-" "Saya kebelet, pak!" ucapku memotong ucapan pak Hanafi. Guruku yang Botak itu hanya diam, mengamatiku dengan enggan, malas dan marah yang bercampur menjadi satu. Aku berdiri dari dudukku dan memandang pak Hanafi lekat. "Jawaban nomer tiga, 24, pak! Jadi boleh saya ke toilet?" tanyaku sekali lagi. Pak Hanafi terdiam. Terkejut setengah mati. "Darimana kamu tahu?" tanya pak Hanafi. Aku hanya tersenyum kecil. "Terlihat dari wajah bapak!" jawabku ngawur lalu mulai berjalan keluar kelas bahkan tanpa menunggu persetujuan dari pak Hanafi lebih dulu. Aku keluar kelas dan segera berlari mengikuti suara yang sudah aku pilih sebagai klienku berikutnya. Suara itu halus, lembut dan suci. Aku jadi ingin tahu siapa pemiliknya. Aku berhenti di sebuah toilet wanita. Ragu. Aku segera menyadarkan diriku dan masuk ke dalamnya. Sepi. Tidak ada siapapun. Suara itu menguat dan aku hanya berdiri bimbang memandang pintu salah satu toilet. Ada cairan merah pekat yang merembes keluar dari bawah pintunya. Aku tahu dia dalam, hanya saja saat kekuatan reader-ku terpacu, aku seketika itu menjadi ragu. Klienku.. Brakk. Kutendang paksa pintu itu saat 'klien'ku melemah. Aku terpana melihat seorang cewek yang mengenakan baju yang sama denganku terbaring tak berdaya dengan banyak sekali darah. Dia pendarahan. Aku berjongkok di depannya dan ia menggerakkan pelan bulu matanya, dia masih hidup dan setengah sadar. "Ka-kau," ucapnya dengan lirih. "Diamlah! Aku sedang membuat kesepakatan dengan klienku!" tegurku. Dia mengerutkan dahinya. "Si-siapa?" tanyanya bingung. Aku tersenyum dan menunjuk ke perutnya. "Dia!" Dia melebarkan pupil matanya. Kaget bukan main. Aku terdiam sesaat saat dia kelihatan panik dan mencoba meronta saat kusobek bajunya dan menempelkan tanganku di perutnya. "Hei, Zahara!" panggilku. Dia seketika terdiam. "Namaku Tika dan aku seorang Helper!" ucapku memperkenalkan diriku. "Aku bertugas menolongmu sebelum kamu mati, jadi katakanlah!" kupandang lekat dia. "Apa permintaan terakhirmu?"             *** Aku dan Adam sudah berdiri di depan sebuah sekolah khusus laki-laki. Sahabat sekaligus musuh bebuyutanku itu tampak mengerucutkan bibirnya. Dia kesal karena aku memaksanya ikut. Terlepas akan ingatan semu yang dia ciptakan di kepalaku bahwa sebenarnya kami ini bukan sahabat masa kecil, aku tetap menganggap Adam sebagai sahabatku. "Tik," panggil Adam. "Ya?" "Kenapa harus aku? Kenapa bukan si cupu?" tanya Adam. "Rio punya tugas sendiri " jawabku. "Lalu kenapa aku harus membantumu?" tanya Adam lagi. "Karena kamu sekutuku," jawabku. "Heh? Aku tidak pernah bilang mau bekerjasama denganmu," elak Adam. "Iya, tapi selama kita belum tahu queen itu siapa, keberadaanku terancam. Kamu tidak mau terjadi apapun padaku yang merupakan generasi helper terakhir ini kan?" sindirku. Adam terdiam, tidak menemukan alasan lain untuk menyanggah ucapanku. "Sudahlah, Dam! Lagipula klienku kali ini, sungguh menarik dan akan memuaskanmu!" pungkasku. "Ya, kita lihat saja nanti," ucap Adam enggan berdebat. "Jadi, yang mana target kita?" tanya Adam. Aku memejamkan mataku, mencoba me-reply ingatan yang aku serap dari seorang cewek yang sangat berkaitan erat dengan klienku. Setelah itu, aku coba menyalurkannya pada Adam. Adam menyentuh tanganku dan tanpa diminta dia telah melihat apa yang aku lihat. Adam melepaskan tanganku setelah dia selesai meng-copy ingatan yang kuberikan. "Bagaimana? Menarik bukan?" tanyaku. Adam tersenyum. "Sangat menarik," jawabnya sembari terkekeh. "Jadi, apa aku boleh membunuhnya?" tanya Adam dengan sorot mata yang mendadak seram dan menakutkan. Aku tersenyum tipis. "Terserah, kamu santap pun tidak masalah," Adam menoleh padaku dengan senyum yang mengembang. “Aku tidak berminat pada daging busuk," Aku terkekeh. "Tapi anjingmu pasti menyukainya," Adam terbahak dan mulai berjalan. "Hei, Dam!" panggilku. Adam menoleh. "Jangan terburu-buru membunuhnya," ucapku. Adam mengangguk. "Aku pasti menikmati setiap detiknya," ucapnya bersungguh-sungguh. Aku hanya mengamati Adam yang mulai berjalan lurus dengan seorang target yang telah ditandai. Hei Zahara, bertahanlah! Permintaanmu akan segera kukabulkan. *** Cowok berambut duri dengan wajah datar yang menyebalkan itu berjalan kikuk dengan sesekali menengok ke belakang. Wajahnya menunjukkan kegelisan dan keringat telah membasahi daerah wajah dan lehernya. Punggung seragamnya tampak basah dan kakinya tampak gemetar. Cowok itu menelan ludah berkali-kali dan mulai mempercepat langkahnya. Dia tertegun saat melihat seorang lelaki di depannya. Dia pun berbelok arah dan kembali tersentak kaget saat lelaki itu telah berpindah di hadapannya. Dia mundur dan mencoba berbalik, tetapi dia kembali terdesak saat melihatku yang hanya duduk mengamatinya dari kejauhan. Dia memutar arah tetapi tetap tidak bisa melarikan diri. Kami di g**g sempit satu arah dan kini dia seperti tikus yang terjebak dalam sangkar. Tidak ada jalan untuk melarikan diri kecuali dia punya sayap dan bisa terbang. Cowok itu mengeluarkan pisau lipat dari sakunya dan mencoba berjalan lurus ke arahku. Sepertinya dia menganggapku lebih lemah dibanding cowok di hadapannya. Cowok itu berjalan mendekat dan aku hanya mengamatinya dengan bosan. Dia setengah berlari dengan mengayunkan pisau seolah siap menikamku. Brukk. "Ughh" pekiknya saat sebuah hantaman keras menghujam punggungnya. Cowok itu jatuh terkapar di tanah dengan erangan yang begitu memekikkan telinga bak longlongan srigala di tengah hari.   Cowok itu dipaksa berdiri oleh Adam, sahabatku yang dia hindari. Adam menggenggam erat kerah baju cowok malang itu dan menghempaskan tubuhnya ke tembok. "Arggghh," Cowok itu kembali berteriak kesakitan. Sepertinya beberapa tulang punggungnya retak atau mungkin patah. Cairan putih keluar dari mulut cowok itu dan itu sedikit membuatku jijik. Adam mendekat dan mencekik leher cowok itu dengan satu tangan. Diseretnya tubuh cowok itu keatas dan cowok itu kembali merintih seperti anak kecil yang merengek pada ibunya karena kepalanya dijahit. "Tolong! Tolong! To-long!" suara cowok itu semakin melemah. Adam menatapku dan aku hanya mengangkat kedua bahuku. Adam melonggarkan cekikannya. "Siapa kalian?" tanya cowok itu begitu Adam melepaskan tangannya dari cowok itu. Adam menoleh malas pada cowok itu. "Apa yang kalian mau? Uang?" tanyanya setengah berteriak sembari memegangi lehernya yang mulai merah dan membentuk tangan Adam. Sepertinya sahabatku itu benar-benar ingin melenyapkan cowok br*ngs*k ini. Aku mendecih kesal mendengar pertanyaan konyolnya. Aku mulai berdiri dan berjalan mendekatinya. "Hei," sapaku sembari berjongkok dan memegangi dagu cowok itu. "Uangmu ada berapa?" tanyaku. "Orangtuaku kaya, sebutkan saja jumlahnya dan akan kuberikan berapa pun yang kalian minta. Tapi tolong jangan bunuh aku!" rengeknya. Aku menyeringai mendengar pernyataannya. "Kamu ingin hidup?" tanyaku. Dia mengangguk. "Kenapa?" tanyaku. "Karena aku belum mau mati," jawabnya lagi. "Sayangnya aku ingin membunuhmu," ucapku. Cowok itu melebarkan pupil matanya. seketika dia mencoba melarikan diri tetapi aku dengan cepat menancapkan sebilah pisau di pahanya. "Arggghhhhhh," erangnya kesakitan saat pisau itu menembus kulit dan otot-otot pahanya. "Tolong jangan bunuh aku," ibanya. "Tidak bisa, kamu harus kubunuh!" tolakku. Cowok itu merintih lagi dengan airmata yang kini menemani. Dasar cengeng! "Kenapa? Kenapa kalian ingin membunuhku?" tanyanya dengan suara yang begitu menyedihkan. Aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Aku menjitak kepalanya hingga kepalanya membentur tembok. "Ah!" pekiknya. Darah segar mulai keluar dari pahanya dan entah mengapa aku semakin menikmati ini. "Hei, Tika!" Aku menoleh. "Aku juga ingin bersenang-senang," tegur Adam. Aku tersenyum. "Baiklah," Adam maju dan mendekat cowok itu. "Hei, b*****h! Kamu mau aku mutilasi bagian mana lebih dulu?" tanya Adam bersungguh-sungguh. Cowok itu tampak ketakutan. "Jangan, jangan bunuh aku! Tolong! Jangan!!!" teriaknya. "Apa salahku? Mengapa kalian melakukan ini padaku? Apa salahku?" tanyanya dengan suara putus asa. Adam dan aku saling berpandangan. Adam berjongkok dan menjambak cowok yang hanya bisa pasrah itu. "Kamu pembunuh," ucap Adam. "Dan pembunuh pasti dibunuh," Cowok itu menggeleng. "Tidak! Aku tidak pernah membunuh siapapun!" elaknya. "Eh, benarkah?" tanyaku ragu. Cowok itu mengangguk cepat. "Sumpah, aku belum pernah membunuh siapapun!" katanya bersungguh-sungguh. "Zahara," Deg. Raut wajah cowok itu berubah. "K-kamu, darimana kamu," Aku tersenyum. "Dam, patahkan tangannya!" Adam menurut. Cowok itu hanya bisa mengerang saat tangannya diputar Adam dan patah. Aku sekali lagi mendekatinya, kubuka lebar mulutnya dan kukeluarkan pistol dari kantong bajuku lalu kuarahkan pada mulutnya. "Ja-ja-," cowok itu masih berupaya melawan. Aku hanya menyeringai. "Kamu pantas mati!!" Dorrrr!! Tubuh cowok itu mengejang dan terkulai lemas. "Dam," Adam menoleh. "Jangan terlalu kejam, dia ngompol tuh!" ucapku sembari menunjuk celana cowok itu yang mulai basah. Adam tersentak kaget, mundur dan reflek melepaskan tangannya dari mata kedua cowok itu. "s**t!" pekik Adam ngerasa s**l. Aku ngakak melihat reaksi Adam yang berlebihan. Cowok itu perlahan membuka matanya dan melihat kami berdua. Dia menyentuh mukanya berulang kali, mengecek pahanya dan langsung menangis lega saat tahu kalau dia masih hidup. "Hem, hem," Adam mendehem membuat cowok itu memfokuskan dirinya pada kami. "Kalian siapa?" tanyanya dengan nada marah. "Aku siapa, kamu lupa?" tanya Adam. Cowok itu terdiam. "Kamu-" "Iya, jadi apa kamu sudah menyadarinya?" tanyaku sembari mendekat padanya. Cowok yang sedang duduk lemas di bawah itu menatapku dengan rasa takut yang tidak bisa disembunyikan. Dia reflek berlutut dan merendahkan tubuhnya hingga mencium tanah. "Ampuni aku, tolong jangan bunuh aku!" katanya meratap. Aku menepuk pundaknya dan dia semakin gemetar. "Tolong, tolong ampuni aku!" rengeknya. "Zahara," ucapku pelan. Cowok itu membisu seketika. "Kamu kenal?" tanyaku. Cowok itu menggeleng. "Eh, benarkah? Apa harus kukeluarkan usus tidak gunamu dulu baru kamu mau mengaku?" tanyaku setengah mengancam. "Jangan," jawab cowok itu sembari menangis. Ada yang berbeda dengan tangisnya kali ini. "Zahara itu," katanya. "Nama bayiku," "Hm, jadi kamu mengakui kalau dia bayimu?" tanyaku lagi. Cowok itu mengangguk. "Lalu kenapa kamu membunuhnya?" tanyaku. "Hah?" Cowok itu mengangkat kepalanya. "Aku tidak membunuhnya," elak cowok itu tegas. "Kamu menyuruh ibu klienku aborsi bukan?" tanyaku. Cowok itu tampak bingung. "Iya, tapi aku membatalkannya!" katanya tegas. "Eh?" Cowok itu mengangguk. "Aku akan bertanggungjawab. Aku bahkan berniat keluar dari sekolah dan menikahinya!" ucapnya yakin. "Hah?" "Orangtuaku juga sudah setuju," Adam melihatku dan memberikan isyarat agar aku mengikutinya. "Kamu tidak salah orang, Tik?" tanya Adam. Aku menggeleng. "Kamu lihat apa yang kulihat bukan?" tanyaku balik. Adam mengangguk. "Iya, sih! Tapi dari apa yang dia katakan barusan, itu berkebalikan!" kata Adam ikutan bingung. "Apa dia berbohong?" tanyaku mulai ragu. Adam menggeleng pelan. "Tidak, jika dia berbohong, aku pasti tahu!" jawab Adam meyakinkan. "Tunggu! Apa mungkin Zahara yang melakukannya?" tebakku. "Hah? Dia itu janin! Jangan ngaco!" sanggah Adam. Aku terdiam. "Kalau begitu, hanya ada satu kemungkinan!" ucapku. "Apa?" tanya Adam. Aku menghela napas panjang. "Ibunya," "Hm?" "Berdusta," Angin semilir berhembus seiring jawabanku membuat Adam dan aku terpana dalam diam. Seorang Tika lagi-lagi tertipu. Sungguh ironis sekali. *** Hei mama, Aku begitu nyaman dalam tempat basah yang begitu hangat ini. Aku mulai bisa mendengar suaramu, Ma. Setiap hari aku juga mulai tampak indah dengan semakin terbentuknya diriku. Mama, aku menyayangimu. Suara indahmu setiap pagi dan elusan lembut tanganmu dari balik lapisan tipis yang tebal itu terasa olehku. Aku mencintai suaramu mama. Tapi, Setiap malam, mengapa kamu menangis? Aku sedikit terusik mama, Dengan pekikan tiba-tiba yang kamu lakukan Tangismu pecah, Suara pekikanmu terdengar, Lalu, Kamu mulai menangis lagi, Aku sedih mama, Aku menjadi enggan tidur dan berpikir, Aku menjadi sedih tiap kali kau melampiaskan amarahmu pada lapisan di depanku. Itu menyakitiku mama. Kamu juga memaki lelaki itu dan menyalahkan kesalahannya padaku. Kamu mengumpatnya, Memakinya, Tapi, Mengapa kamu menyalahkanku? Kamu tidak menginginkan aku? Mengapa mama? Aku suka di sini. Aku suka bersamamu. Tolong. Jangan masukan lagi benda itu. Jangan coba hancurkan tubuhku yang baru terbentuk mama. Aku juga, Punya hati. Mama, Aku ingin hidup. Aku benci dia.   *** Author's POV Cewek itu mulai membuka matanya dan menatap ke sekelilingnya. Hal pertama yang dia lakukan adalah memeriksa perutnya. "Dia masih hidup," ucap seorang cowok berkacamata yang berdiri tak jauh darinya. Cewek itu mengernyitkan keningnya. Bingung. Dia memang belum pernah melihat cowok itu. "Aku Rio," kata cowok itu memperkenalkan diri. Cewek itu masih diam. "Jadi, kamu yang menyelamatkan aku?" tanya cewek itu. Rio menggelengkan kepalanya. "Bukan, tuanku yang menyelamatkanmu," sanggahnya. "Tuanmu?" Rio mengangguk "Tunggu, sepertinya aku pernah melihatmu," ucap cewek itu mulai mengingat Rio. Dia merasa pernah melihat Rio sebelumnya. "Iya, aku adalah anak kolega papamu," ucap Rio seolah sudah menerka pikiran cewek itu. "Ah, aku ingat sekarang!" ucap cewek itu setelah beberapa saat. "Kamu si songong itu," katanya sembari mendecih kesal. Rio tergelak mendengar pernyataan cewek itu. "Ya, dan kamu si gila," balas Rio. Cewek itu tersenyum kecil. "Jadi, itu anak siapa?" tanya Rio. Cewek itu tertawa ngakak membuat Rio mengernyitkan keningnya. "Itu bukan urusanmu!" ucapnya tegas. Tiba-tiba handphone Rio berbunyi, cowok berkacamata itu mengangkatnya. Tak lama kemudian dia menutupnya. Cowok berkacamata itu mendekat Ke cewek itu. Dipandangnya lekat lalu dia mengeluarkan pisau dari balik bajunya. Cewek itu terkejut. "Rio, apa yang kamu lakukan?" tanyanya ketakutan. "Kamu harus mati!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD