Part 6

1023 Words
Pria tersebut berjabat tangan dari satu tangan orang tua ke orang tua lain yang berada di dalam rumah Farah. Setelahnya, ia duduk tepat di samping Farah sembari tersenyum dengan senyuman yang amat sangat menggetarkan hati. Farah yang sedari tadi menatap pria itu sontak saja sedikit gugup dan terkejut saat ia membalas tatapannya ditambah dengan senyuman. Namun Farah dengan cepat menyembunyikan kegugupannya di depan sosok pria yang akan menjadi suaminya itu. "Salam kenal," ucap pria itu tiba-tiba kepada Farah dan langsung memperkenalkan namanya, "panggil saja Dion Bryantama." Deg! Jantung Farah kembali berdetak lebih cepat lagi namun dirinya dengan sigap menyembunyikan rasa gugupnya. "Salam kenal juga," Farah menjawab perkataan Dion, "Farah Armita." Tiba-tiba saja Dion mendekat dan berbisik lirih di telinga Farah, "Nama yang cantik persis seperti orangnya." Tidak. Tidak. Tidak. Jantung Farah tidak akan berdetak lagi untuk yang kesekian kalinya. Ia harus stay calm di depan calon suaminya tersebut. "Sudah lengkap semua? Apakah saatnya untuk kita mulai acara ini?" tanya salah satu anggota keluarga Dion. "Sudah." jawab semua orang yang berada di situ. Sesuai dengan ketentuan lamaran pernikahan, mereka pun memulainya dengan acara pembukaan lamaran, disusul dengan tujuan keluarga calon mempelai pria. "Jadi, tujuan kami ke rumah ini adalah untuk menjalin tali silaturahmi. Yang sebenarnya adalah tali silaturahmi untuk menyatukan dua keluarga berbeda menjadi satu keluarga dalam ikatan suci janji pernikahan. Anak saya, Dion Bryantama akan menjelaskan secara terperinci tujuan kami semua datang ke sini." ucap Papa Dion. Dion mengangguk dengan auranya yang bijaksana lalu menyampaikan maksud dan tujuannya. "Terima kasih untuk semua yang telah hadir di sini. Keluarga besar Farah, dan keluarga besar Dion Bryantama. Saya selaku Dion Bryantama, berterima kasih sebesar-besarnya atas kehadiran kalian semua yang telah meluangkan waktunya untuk datang ke acara lamaran ini. Seperti yang sudah dijelaskan Papa di awal sambutan tadi, tujuan dan maksud saya ke sini adalah untuk melamar putri Om David dan Tante Diana. Saya dan Farah ingin menjalankan kewajiban setiap insan yaitu untuk menikah dan menjalin keluarga yang bahagia. Apakah Om David dan Tante Diana berkenan menerima lamaran saya?" Farah tertegun mendengar apa yang dikatakan Dion. Dion terlihat sangat mempunyai aura positif. Hal itulah yang membuat Farah menyukainya saat pertama kali bertemu. Ya, selama ia hidup, baru kali ini ia merasakan sesuatu berbeda yang ada di dalam dirinya. "Saya setuju dengan lamaran dan usaha yang kamu lakukan untuk semua ini. Kami juga belum memiliki calon pendamping untuk kehidupan Farah, dan kabar baiknya Nak Dion datang ke rumah untuk melamar Farah. Bagaimana denganmu, Diana?" tanya David meminta pendapat Diana sang istri. "Tentu saja aku setuju dengan lamaran ini. Dion sepertinya adalah sosok pemuda yang baik, terlihat dengan bagaimana caranya memperlakukan orang tua dengan sangat sopan dan tersenyum ramah pada semua orang di sini." jawab Diana menyetujui lamaran tersebut. Lalu semua mata berbalik menuju Farah. Mereka meminta persetujuan dari Farah, Farah pun mengangguk dan setuju dengan lamaran itu. "Farah menerima lamaran ini, Ayah." jawab Farah sembari mengangguk yakin. Mereka semua yang berada di sana mengucap syukur kepada sang kuasa atas diterimanya lamaran dan persetujuan dari kedua belah pihak. Selanjutnya acara lamaran berlanjut dengan pemberian perhiasan atau seserahan, dilanjutkan lagi dengan perkenalan antar keluarga calon mempelai. Baik keluarga Farah dan keluarga Dion terlihat sudah mulai berbaur dengan akrab. Awalnya mereka memperkenalkan diri satu persatu dengan tujuan mengenal satu keluarga dengan keluarga lainnya. Mereka saling bertukar pikiran yang menjadikan mereka langsung akrab walaupun baru pertama kali bertemu. Begitupun dengan Dion dan Farah. Mereka juga ikut memperkenalkan diri mereka masing-masing. Percakapan antara Dion dan Farah terbilang hangat dan satu frekuensi. Farah sangat senang bertemu orang seperti Dion. Karena terlihat dari cara bicara Dion, Dion terlihat seperti sosok yang dewasa, bijaksana, dan berwibawa. Sementara Dion menilai Farah sebagai gadis yang cantik, baik, dan supel walaupun saat awal-awal perkenalan Farah terlihat masih seperti malu-malu. Namun setelah banyak topik obrolan yang mereka bicarakan, Farah menjadi banyak bicara seperti halnya Dion terhadapnya. "Kalau nanti kita sudah resmi menikah, kamu resign saja ya." ucap Dion tiba-tiba membuat mata Farah membulat seketika karena terkejut. Apa? Resign? Yang benar saja! "Kenapa aku harus resign dari pekerjaanku?" "Aku nggak mau kamu terlalu lelah bekerja. Nanti kalau kamu lelah, kamu bisa sakit. Aku nggak mau kamu sakit. Aku lebih menginginkan kamu di rumah istirahat ataupun pergi belanja." "..." "Tenang saja, untuk uang belanja kamu nggak perlu khawatir. Aku akan memberikan card yang bisa kamu belanjakan apa saja. Jangan sungkan untuk membeli banyak barang, jika hal itu membuat kamu senang maka aku akan lebih senang melihatnya." "..." "Aku hanya ingin melihat kamu bahagia hidup bersamaku sampai kita tua nanti. Aku nggak mau kamu ada penyesalan selama hidup bersamaku, yang aku inginkan adalah pernikahan indah yang kamu dambakan." Deg! Farah tersentuh mendengar kalimat yang dikatakan oleh Dion. Belum saja mereka menikah, Dion sudah memberikan banyak gambaran mengenai kehidupan yang akan mereka jalani. Bukankah itu adalah sebuah karunia Tuhan yang sangat indah? Dan yang lebih membuat Farah terpukau adalah dengan cara pola pikir Dion yang meminta dirinya untuk resign dari pekerjaannya dengan tujuan agar dirinya tidak kelelahan. Sebegitu pedulinya kah Dion terhadapnya walaupun baru pertama kali bertemu? Walaupun memang sebenernya dirinya tidak menginginkan resign, namun jika itu adalah kemauan Dion sepertinya Farah akan mempertimbangkan untuk menyetujuinya. Dirinya ingin menjadi sosok wanita yang baik serta penurut untuk Dion kelak. "Bagaimana, Farah? Apakah kamu setuju dengan apa yang aku bicarakan? Jika memang ada hal yang tidak berkenan di hatimu, katakan saja. Nggak apa-apa, dengan lapang d**a aku akan menerimanya." kata Dion kepada Farah. "Tentu saja aku setuju dengan keputusan calon suamiku ini." jawab Farah sembari tersenyum dan hal itu membuat Dion tertawa kecil mendengarnya. "Farah, tetap jadi sosok yang seperti ini ya?" Dion berujar tiba-tiba. "Maksudnya?" "Tetap jadi Farah yang Dion kenal saat pertama kali seperti ini. Farah yang baik, Farah yang ramah, dan Farah yang suka tersenyum saat melihat Dion. Aku tahu, jika kita membina hubungan, tentu saja ada naik surutnya. Tanpa kita mau pun, pasti nantinya ada konflik di dalamnya. Entah itu konflik besar ataupun konflik kecil, kita harus melewatinya bersama-sama ya, Farah." "Iya, Dion. Farah akan selalu ingat dengan apa yang Dion katakan." "Janji nggak akan berubah?" "Janji," Farah tersenyum kembali kepada Dion, "Dion juga janji ya?" "Of course, Babe." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD