Part 9

1115 Words
Farah langsung menggeleng dengan cepat. Ia tidak mau Gibran tahu yang sebenarnya terjadi. Lagipula menurut Farah, ia hanya salah lihat saja. Tidak mungkin Dion akan melakukan hal tersebut. Terlebih lagi Dion terlihat sangat mencintai Farah. “Farah nggak mikir apa-apa kok, Gib. Cuma melamun aja.” “Gue udah kenal lo lama, Far. Gue udah tahu lo kayak gimana. Gue kan' udah bilang, kalau ada apa-apa bilang sama gue. Gue siap bantu lo, Far. Untung aja gue lewat sini cari makan siang buat di kantor!” “Iya, Gib.” “Nah, anak ini malah iya-iya aja lagi. Yang tegas, Far! Lo udah mau nikah juga masih kayak gini. Kalau ada sesuatu lo harus tegas ngadepinnya.” Farah hanya bisa mengangguk saat temannya itu memarahi dirinya. Memang sedari dulu Gibran adalah sosok yang kerap menasihati Farah seperti ini. Hal itu Gibran lakukan demi kebaikan Farah sendiri. “Udah makan belum?” “Belum.” “Ayo makan, nanti gue anterin pulang.” “Nggak usah, Gibran. Motornya nanti gimana?” “Ditinggalin aja di situ.” “Heh! Kalau ditinggalin nanti diambil orang!” Gibran tertawa melihat tingkah Farah, “Ya nanti gue anterin juga ke rumah lo. Aman, tenang aja. Lo juga masih luka gitu, Far. Jangan bawa motor dulu.” “Oke, Gib.” “Mau makan apa?” tanya Gibran kepada Farah, “jangan jawab terser—“ “Terserah.” potong Farah langsung. “Nah, malah disebut.” “Bingung Gib, nggak tahu mau makan apa. Ngikut kamu aja.” “Yaudah, gimana kalau kita makan makanan kesukaan lo?” “Bakso?” “Memang lo punya makanan favorit lain selain bakso?” “Nggak ada, sih.” “Yaudah, yuk makan,” ajak Gibran, “tuh, di depan ada tukang bakso.” “Ayo.” Hanya membutuhkan waktu beberapa menit bagi Gibran dan Farah untuk sampai di tempat tersebut. Gibran langsung memesan bakso kepada sang penjual. “Bang, pesan bakso dua porsi yang satunya nggak usah pakai micin sama nggak pakai sambal dan saos ya.” kata Gibran kepada penjual bakso tersebut. Gibran memang sudah mengerti dengan pesanan bakso Farah. Farah tidak suka makanan pedas ditambah lagi pakai micin. Kalau dulu, sewaktu Farah masih bekerja. Gibran adalah sosok yang menemani Farah saat makan siang. Gibran yang mengajak Farah makan dan membelikannya makanan kesukaannya. “Masih perih?” tanya Gibran saat melihat wajah Farah yang nampak meringis. “Dikit.” “Makanya Far, hati-hati kalau bawa kendaraan itu. Jadinya jatuh begini kan? Luka-luka juga, apa kata Bunda nanti coba?” “Gibran jangan nakutin.” “Gue nggak nakutin, cuma iseng doang.” “Nyenyenye…” Farah membalikkan bola matanya kesal. Tak lama dari itu ponsel Gibran berdering menandakan ada telepon masuk yang berasal dari atasan kantornya. “Halo, Pak?” “Kemana kamu? Udah lewat jam makan siang ini tapi kok kamu belum ada di kantor? Cepat ke sini, ada berkas yang harus kamu urus.” “Iya, Pak. Sebentar lagi saya ke kantor. Saya masih di jalan cari makan siang.” “Lama benar makan siangnya, jangan lama-lama!” “Siap, Pak!” Sambungan telepon terputus begitu saja. Ternyata Gibran ditelepon oleh atasan kantornya untuk mengurus berkas. Seperti biasanya saat jam istirahat, Gibran selalu pergi keluar mencari makan. Kebetulan tadi saat Gibran keluar, ia melihat sosok yang sepertinya ia kenal di jalan. Dan ternyata benar, sosok tersebut adalah Farah yakni temannya sendiri. Maka dari itu Gibran langsung bergegas menghampiri Farah. Setelah ia dekati, ternyata Farah habis jatuh dari motor. Sungguh malang sekali nasib gadis itu. “Maaf, Gibran.” ucap Farah tiba-tiba yang membuat kedua alis Gibran saling bertautan. “Maaf?” bingungnya, “maaf kenapa, Far? Ngapain minta maaf?” “Karena Farah, Gibran jadi kena marah atasan kantor. Seharusnya Gibran nggak usah bantu Farah, Farah bisa sendiri.” tutur Farah yang malah membuat Gibran tertawa dibuatnya. “Ya ampun, Far. Santai aja kali, kayak sama siapa aja. Gampang itu mah, yang penting sehabis dari makan bakso ini gue langsung anterin lo pulang dengan selamat.” “Nggak usah Gibran, Farah nggak mau ngerepotin. Nanti malah yang ada kena marah atasan Gibran. Udah ya, nanti Farah pulang sendiri aja. Farah ngerasa nggak enak sama Gibran.” “Lo udah mau nikah tapi masih nggak enakan juga ternyata ya? Gimana nanti kalau lo udah nikah? Mau minta bantuan sama suami lo nggak enakan juga kayak gini, Far?” “Bukan gitu, Gib.” “Udah, Far. Tenang aja, jangan mikir kayak gitu lagi, oke? Kita kan' udah kenal lama, jadi jangan ngerasa nggak enak sama gue ya?” “Iya, Gibran.” “Dan jangan bilang makasih.” “Makasih.” “Dibilangin juga!” gemas Gibran. Tak lama dari itu, pesanan mereka datang. Farah dan Gibran langsung menyantap bakso tersebut dengan suka cita. Gibran memperhatikan Farah yang nampak lahap memakan bakso tersebut, memperhatikan dengan detail mata indahnya, memperhatikan wajahnya dari dekat, hingga memperhatikan ekspresinya yang kepanasan saat kuah bakso itu masuk ke dalam mulutnya. Mungkin. Mungkin hari ini akan menjadi momen terakhir Gibran menatap Farah sedekat ini. Menjadi momen terakhir mereka makan siang bersama. Setelah hari ini berakhir, Gibran yakin bahwa mereka akan jarang bertemu. Baik Farah dan dirinya akan mempunyai kesibukan masing-masing. Farah sibuk dengan pernikahannya, sedangkan dirinya sibuk dengan pekerjaannya. Ternyata setiap manusia mempunyai jalan yang sudah diatur semesta. Yang sudah kenal lama, pada akhirnya tak selamanya akan berakhir bersama. Terkadang, semesta memang mempunyai kejutan yang berbeda-beda kepada setiap manusia. Mirisnya, terkadang manusia kerap mengharapkan sesuatu sehingga membuat sang pencipta cemburu lalu menjauhkannya dengan apa yang ia harapkan. Gibran hanya bisa pasrah dan ikhlas meskipun hati kecilnya terasa berat melepas kepergian Farah bersama calon suaminya. Memendam rasa memang menyakitkan. Benar kata orang, kalau suka lebih baik diutarakan. Namun menurut Gibran jika ia mengutarakan perasaannya kepada Farah, apakah Farah akan membalas cintanya? Iya, kalau misalkan Farah menerima dan membalas cintanya. Kalau tidak? Bisa-bisa Farah menjauh dari Gibran agar pria itu berhenti untuk menyukainya. Tidak, Gibran tidak ingin jika siklusnya akan jadi seperti itu. Lebih baik ia diam saja dengan memendam rasa yang ada. Gibran hanya bisa berharap agar semesta menghilangkan perasaannya kepada Farah dan mengantikkan sosok Farah kepada diri seseorang yang akan menjadi istrinya kelak. Terkadang, kehidupan memang harus dipikir dengan logika yang realistis. Kita tidak boleh egois dengan mementingkan apa yang kita inginkan. Gibran percaya takdir semesta itu akan indah pada waktunya. Mungkin memang belum saatnya, namun pasti keindahan itu akan datang pada masanya. “Far,” “Hm?” “Hati-hati di jalan ya.” “Hah? Hati-hati di jalan kenapa?” “Bukan apa-apa. Yuk, pulang.” tepis Gibran langsung. Gibran pun berjalan menuju penjual bakso tersebut dan membayar makanan yang mereka pesan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD