Part 10

1198 Words
Sepanjang jalan, Farah memikirkan apa yang Gibran katakan saat berada di tempat bakso tadi. Hati-hati di jalan? Untuk apa Gibran mengatakan itu? Apakah ia tidak mau Farah terjatuh lagi dan meminta gadis itu untuk berhati-hati di setiap jalan. Mungkin hal itu yang menjadi pikiran di dalam kepala Farah sekarang hingga dirinya tak sadar bahwa ia sudah sampai di depan teras rumahnya. “Udah sampai, Far.” kata Gibran. “Eh, iya. Makasih ya, Gib.” “Hm.” Belum saja Farah membuka gerbang, Diana sudah lebih dulu membukakan gerbang. Sontak saja Diana terkejut saat melihat kaki dan lengan Farah yang terlihat lebam karena jatuh dari motor. “Ya ampun, Farah? Kamu kenapa kok tangan dan kakimu bisa jadi luka-luka begini?!” ujar Diana histeris saat melihat kondisi kaki dan tangan Farah. “Jatuh dari motor, Bun.” “Hah? Jatuh dari motor? Kok bisa?!” “Iya, Bun. Farah nggak hati-hati tadi, Farah melamun.” “Astaga, Farah! Gimana kamu ini—“ “Nggak apa-apa, Bu—“ “Nggak apa-apa apanya? Jelas-jelas kaki dan tangan kamu luka-luka begini!” potong Diana saat Farah mencoba membela diri. “Ini udah mending Bun, udah dibersihkan sama Gibran.” Kedua mata Diana langsung menuju kepada Gibran, ia baru menyadari jika ternyata Gibran berada di sana. “Eh, kamu? Nggak sadar kalau ada Gibran di sini.” “Hehe nggak apa-apa, Tante.” “Ya ampun Gibran, Farah kenapa kok bisa sampai luka-luka gitu?” tanya Diana kepada Gibran, akhirnya Gibran menjelaskan sesuai dengan apa yang kedua matanya saksikan. Diana tak henti-hentinya menasihati Farah agar gadis itu lebih berhati-hati dalam membawa kendaraan. Terlebih lagi membawa kendaraan roda dua memerlukan keseimbangan untuk membawanya. Jika lengah sedikit, nyawa yang menjadi taruhannya. “Makanya Farah, kamu itu harus hati-hati kalau bawa motor? Lihat coba, kamu sampai luka-luka lebam begini. Untung aja ada Gibran yang membantu kamu, kalau nggak ada gimana? Bisa-bisa kamu jalan kaki dari jalan raya sana ke rumah. Aduh, Bunda nggak habis pikir dengan kamu. Kamu tahu kan' kalau besok kita ada acara? Kita diundang makan malam dengan keluarga Dion dan sekarang kamu malah luka-luka begini!” omel Diana panjang kali lebar kepada Farah. Farah hanya bisa diam dan mengangguk saja saat Diana menjelaskan hal tersebut kepada dirinya. Yang Gibran lihat dari sorot mata Farah, gadis itu nampak lelah dan letih. Tentu saja Farah lelah, ia kan' habis jatuh dari motor. Karena tak tega melihat Farah yang terus-teruskan terkena ocehan Diana, akhirnya Gibran memberanikan diri untuk berbicara. “Tante Diana, maaf sebelumnya. Sepertinya Farah terlihat capek. Dia perlu istirahat, Tante. Kasihan juga habis jatuh dari motor. Farah memang salah tapi saya yakin di kemudian hari ia akan belajar dari kesalahannya. Mungkin juga itu adalah ketidaksengajaan atau musibah kecil, Tante.” kata Gibran kepada Diana. Beruntungnya, kalimat tersebut tidak membuat boomerang bagi Diana. Berkat kalimat yang Gibran ucapkan, Diana melirik mata Farah dan melihat memang sepertinya gadis itu nampak lelah. Ia hanya bisa diam jika sedang dinasihati ataupun dimarahi. “Ya Tuhan, benar apa yang kamu katakan, Gib. Sepertinya Farah butuh istirahat,” ucap Diana khawatir lalu menyuruh Farah untuk masuk ke dalam kamarnya, “masuk, Nak. Istirahat sana.” “Baik, Bun.” jawab Farah. Sebelum ia pergi, Farah mengucapkan terima kasih kembali kepada Gibran yang telah membantunya. Gibran hanya bisa mengangguk dan tersenyum hangat saat membalas apa yang Farah katakan. “Terima kasih banyak ya, Gibran. Tante sangat berterima kasih sama kamu karena kamu sudah berlaku baik ke Farah. Kamu memang anak yang baik.” “Sama-sama, Tante. Sudah sepantasnya saya sebagai teman menolong Farah,” jawab Gibran, “baik kalau begitu saya pamit pergi, Te.” “Eh, mau kemana kamu? Nggak mau mampir dulu minum teh atau kopi?” “Lain kali aja ya, Tante. Saya udah ditelepon atasan kantor di suruh ke sana.” “Oh, begitu. Baiklah, sekali lagi terima kasih banyak ya, Gibran.” “Iya sama-sama, Tante.” *** Keesokan harinya, Farah terlihat tengah sibuk menghias dirinya di depan cermin. Pasalnya, malam ini ia akan pergi makan malam dengan keluarga Dion. Tentunya Farah harus menghias dirinya secantik mungkin. Farah juga sudah menyiapkan tas, high heels, dan perhiasan lainnya yang akan ia kenakan. Luka gores dan lebam yang terdapat di kaki dan tangannya juga sudah diperban agar tidak terlalu kelihatan meskipun sebenarnya orang lain dapat melihatnya. Ya, mau bagaimana lagi namanya juga musibah. Ia tidak bisa menutupinya. Mungkin kemarin adalah hari yang sangat melelahkan dan menjengkelkan bagi Farah. Hari dimana ia harus mendengar ocehan setiap saat. Tidak hanya dari Diana, Farah mendapat ocehan dari David yang ikut-ikutan memarahinya karena tidak berhati-hati dalam berkendara. Semua itu memang salahnya, jadi Farah harus bisa menerimanya. Setelah selesai berhias, Diana dan David memanggil Farah untuk pergi makan malam menuju restoran tersebut. “Farah, sudah siap belum?“ kata Diana. “Sudah, Bun.” “Ayo, nanti kita terlambat.” tambah David. “Iya, Ayah.” *** Tak perlu waktu satu jam untuk Farah, Diana, dan David sampai di restoran tersebut. Saat menginjakkan kaki di sana, mereka langsung disambut hangat dengan para pelayan dan keluarga Dion yang sudah berada lebih dulu di sana. “Akhirnya kalian datang juga, aku sudah menunggu lama sedari tadi!” kata Rani lalu matanya beralih kepada Farah, “cantiknya kamu, Farah. Menantuku satu ini memang tiada tandingan ya cantiknya.” “Makasih, Tante.” “Ya ampun, sudah berapa kali aku bilang jangan panggil Tante? Panggil Mama Rani ya, Farah.” “Iya, Mama Rani.” Sedetik kemudian pandangan Rani dan Dion tertuju kepada perban yang membalut lengan dan kaki Farah. “Hei? Kaki dan tanganmu kenapa?” tanya Dion langsung kepada Farah. “Ah, itu karena aku jatuh dari motor kemarin.” “Ya Tuhan, kasihan sekali menantuku ini. Hati-hati Sayangku…” ujar Rani khawatir terhadap Farah. “Sekarang gimana? Masih sakit nggak? Apa perlu aku gendong biar jalanmu nggak sakit?” ucap Dion menawarkan namun Farah dengan tegas menggeleng. “Nggak apa-apa, nggak sakit kok sekarang. Sudah sembuh.” “Yakin? Kalau ada apa-apa bilang ya?” “Iya, Dion.” “Kamu udah lapar belum, Farah?” kini Rani bertanya kepada Farah. “Udah Ma, eh, maksudnya belum.” “Hayo… Udah lapar kan' kamu? Yaudah, yuk makan semuanya.” kata Rani seraya menyuruh keluarga Diana dan keluarganya untuk menikmati hidangan makan malam tersebut. Mereka pun menyantap makan malam itu dengan suka cita yang penuh dengan kebahagiaan. Mereka juga membahas tentang hari pernikahan Dion dan Farah yang akan diselenggarakan secepatnya. Baik keluarga Farah dan Dion sama-sama turut menyumbangkan ide dan kreativitas mereka untuk memberikan saran serta pendapat mengenai pesta pernikahan Dion dan Farah. Sementara itu, Dion dan Farah selesai menyantap hidangan makan malam tersebut. Dion mengajak Farah untuk melihat-lihat pemandangan indah dari balkon restoran. Farah pun menurutinya. Akan tetapi ada sesuatu hal yang masih Farah pikirkan saat ia bersama Dion. Ya, ia masih teringat dengan kejadian di Mall tatkala ia melihat Dion bersama wanita lain. Entah keberanian apa yang muncul pada dirinya, tiba-tiba saja Farah langsung mengatakan sesuatu kepada Dion. “Farah mau nanya sama Dion. Boleh?” kata Farah to the point. “Iya, boleh? Memangnya Farah mau nanya apa?” “Kemarin Dion jalan sama cewek ya?” Deg! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD