BAB 6

1380 Words
"Kamu boleh bahagia bersamanya hari ini. Karena besok kamu akan menghabiskan sisa hidupmu bersamaku."   "Ally." Aku menoleh dan melihat Dika sedang berdiri di pintu Lab Bahasa dengan senyuman ala pangerannya. Sementara Duta yang mendengar teriakan Dika, menghentikan sejenak teleponnya lalu menatapku beberapa detik. "Makasih sekali lagi ya, Kak. Bye," pamitnya lalu berlalu. Aku hanya mengangguk, membiarkannya pergi tanpa bisa melakukan apa-apa. Nyesek. "Naksir ya?" Aku menengok ke arah Dika yang menatapku dengan tatapan penuh rasa penasaran dan selidik yang menusuk. "Nggak!" bantahku lalu berjalan menjauh darinya. "Naksir kan?" tanyanya lagi. Cowok resek ini mengikutiku., membuatku sedikit senang karena belum pernah ada yang berjalan di sampingku sebelumnya. Walau juga kesal karena enggan meladeni rasa keponya yang terlalu tinggi. “Ally, Ally,” panggilnya dengan nada anak kecil yang lagi manggil mamanya agar dibelikan es krim. Aku cuek, tetap jalan lurus. “Ally, Ally,” panggilnya lagi. Aku tidak peduli. “Ally, nanya, dong,”  rengeknya. Aku menghela napas panjang lalu menoleh ke arahnya membuat Dika langsung memasang wajah sok imut. Kesal rasanya harus mengakui kalua dia memang imut. “Ikut aku yuk!” ajaknya sembari mengandeng tanganku tanpa diminta. Aku yang shock—belum pernah berinteraksi sentuhan ekstrim—level pegangan tangan dengan cowok manapun, bisa dibilang dia yang pertama. Dika mengajakku ke koperasi sekolah. Sejenak dia melepas genggaman tangannya dan memintaku menunggunya dengan menunjuk beberapa kali ke lantai dengan jari telunjuknya. Tak lama kemudian dia kembali dengan sebuah plester di tangannya. Tanpa basa-basi, Dika meraih jariku yang tadi tergores lalu menempelkan plester yang baru saja dibelinya. “Sudah,” katanya dengan senyuman lebar. Aku diam, tidak menyangka, dia sadar kalau jariku terluka. Ternyata, Dika peka. Sungguh terharu karena bagaimanapun ini moment so sweet yang harusnya bisa kuperankan dengan Duta. Namun, Dika juga tidak terlalu buruk, anggap saja pembelajaran sebelum akhirnya berakting dengan tokoh utama cowok—Duta maksudku. “Al,” panggil Dika membuatku tersadar dari lamunanku. “Dih, baper ya? Naksir aku ya?” tanyanya kepedean. Aku hanya membuang muka, malas menanggapi level narsisnya yang sudah melebihi Squidwart. "Ally, rumahmu di mana?” tanya Dika tiba-tiba. Aku menautkan alisku, firasatku buruk. “Boleh aku mampir?" tanyanya. “Boleh ya,” rengeknya. Aku tidak peduli,  melanjutkan langkahku menuju kelas. “Kan kita temen nih,” katanya membuatku seketika berhenti hanya untuk memelotinya. Dika hanya tersenyum polos. "Pokoknya boleh. Ntar pulang bareng, lho. Oke? Bye," katanya mengambil keputusan sepihak. Dika berlalu dengan cepat. Cowok itu bahkan tidak meminta persetujuanku. Maksa. Sungguh dia tipe cowok yang berbahaya. Bel istirahat berakhir berbunyi nyaring. Aku mengelus perutku yang baru terasa nyerinya. Aku baru sadar kalau lapar. Dasar Dika kurang ajar! Kalau dia ngajak aku ke koperasi sekolah setidaknya dia beliin aku makanan! Plester tidak bisa dimakan! *** "Oi, Oi, Oi!!!" Suara panggilan itu menggemparkan kelasku. Teman-temanku berkumpul ke sumber suara membuatnya seperti sebutir gula yang dikelilingi sejuta semut. Tidak terlihat! "Sorry, Ally mana?" Suara berat itu terdengar bertanya keberadaanku. "Ally yang mana?" tanya seorang cewek. "Emang di sini ada yang namanya Ally?" Seorang cewek juga keheranan. "Ally siapa sih ganteng. Nggak nanyain daku aja?" Seorang banci dadakan menyentuh mesra dagu cowok itu. "Bentar, deh. Bentar. Ally, Oi Ally." Kepala cowok itu menyembul lalu menerobos kerumunan untuk menghampiriku yang masih diam di bangkuku. "Aku manggil kok dicuekin sih? Asli parah. Kamu nggak liat aku lagi dibantai?" Cowok itu nyerocos di samping bangkuku. Ya, dia si pangeran narsis : Dika. Pangeran kataku? Sepertinya tanpa sadar aku sudah ketularan Dika. Aku menoleh sebentar ke arahnya dan mendadak kulihat teman-temanku juga sudah berbaris rapi di sekelilingku. Nggak jadi pulang mereka? "Ganteng, kamu adiknya-hm.. namanya siapa?" bisik temanku ke temanku juga. Bingung? Ok. Namanya Beni. Yang dibisikin Farah. "Tauk. Siapa dah?" Farah balik nanya ke Dinda yang berdiri di dekatnya. Dinda mengamatiku sebentar lalu  menggelengkan kepalanya pelan. "Ayo, pulang bareng!" ajak Dika. Aku hanya mengangguk dan suara teman-temanku yang mengelu-elukan Dika mulai terdengar lagi sedetik setelah kami keluar. Mungkinkah nantinya aku akan berhenti jadi cewek transparan? "Kamu pendiem ya, Al? Masak teman-temanmu nggak kenal kamu sih? Parah!" Dika berceloteh lagi. Asli. Dia memang bawel. "Eh.. rumahmu jauh nggak? Aku mau mampir lho ya. Numpang makan!" katanya lagi. Aku diam saja. Tidak ada niat ngejawab. Males. "Oh iya, tadi pas di kelas, aku ketiduran. Pelajarannya ngebosenin banget. Sumpah." Dika curhat lagi. Aku yang awalnya tidak merespon, tergoda untuk bertanya karena melihat Dika yang mengacak-acak belakang kepalanya. Sepertinya dia sedang mengekspresikan kekesalannya karena tidurnya diganggu. "Emang mata pelajaran apa?" aku bertanya. Jengah juga lama-lama cuma jadi pendengar. Pengen tahu juga Dika bosennya sama pelajaran apa. Dika nyengir, merasa mendapat angin segar karena aku tanggapi. "Kimia," jawabnya. Busyet dah. Kimia ngebuat dia bosen? Trus kenapa masuk IPA? “Ketentuan Sekolah,” kata Dika yang seketika membuatku menoleh kaget padanya. “Kamu pasti penasaran kenapa aku masuk IPA padahal nggak suka Mapel sekelas Fisika dan Kimia kan?” tebaknya yang seketika membuatku mengangguk kagum. “Haha, kamu gampang amat ditebak, Al,” ledeknya dan aku hanya kembali memasang wajah datar. Kami saling diam lagi, tidak ada topik—mungkin si topik lagi keluyuran atau liburan entah kemana. "Eh.. Ally.. Ally... Ally suka mata pelajaran apa?" tanyanya lagi. Cepat sekali mendapatkan topik lagi. Keren. "Aku.." Aku mengunci rapat mulutku. Hatiku mendadak terasa sakit. Mataku panas dan sedetik lagi mungkin akan menangis histeris. "Al.. Al.. lah.. kok nangis? Anjir, kamu kenapa?" tanya Dika dengan panik. “Aku hanya nanya kamu suka mata pelajaran apa lho, Al! Ada yang salah dengan itu huh?” Dika makin panik. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat, tidak tahan. Sakit. Airmataku tumpah. Aku melihat Duta dan cewek itu lagi. Berjalan bersama, penuh cinta. Bahagia. Dika kebakaran jenggot. Panik banget. Sedikit lebay—atau emang lebay banget. "Duh Al, sorry nggak maksud ngebuat kau nangis. Sorry banget." "Maaf ya. Nggak nanya lagi deh. Sumpah." "Sorry ya. Maafin ya," mohon Dika. “Jangan nangis, Al.” Aku membisu, mencoba sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan suara. Aku tidak mau ada yang salah paham karena aku tengah bersama Dika. Alasanku menangis bukan karena Dika atau pertanyaan bodohnya. Bukan! Dika manyun. Cowok itu berdiri di sampingku. Tidak ada suaranya sehingga membuatku khawatir. Aku berhenti menangis dan menoleh ke arahnya. "Dik," panggilku. Dika diam. Bibirnya tambah dimanyun-manyunin. "Dika." panggilku sekali lagi. Tetap. Tidak dijawab. k*****t! Terpaksa, aku melakukan serangan terakhir. "Pangeran," panggilku dengan terpaksa. Catat! Terpaksa!! "Hehe, apa Al?" sahut Dika sambil nyengir. Seneng banget aku panggil begitu. Dasar narsis! "Rumahku jauh," kataku kembali ke topik awal seolah lupa kalau barusan nangis. Dika diam, mencoba menyatukan kembali obrolan kami—sepertinya dia tahu kalau aku ingin menganggap apa yang baru saja terjadi tidak ada. Singkatnya, dia peka. "Jauhan mana sama ke Amrik?" tanyanya, sedang mencoba berlelucon. "Jauhan mukamu!" jawabku ketus. Kesel. Dika ngakak. Cowok itu mengelus kepalaku agak kasar. Emangnya aku kucing? "Kita jalan nih?" tanyanya lagi. "Terbang." Dika ngakak. Lagi, membuatku sadar kalau ada dua lesung pipit di masing-masing pipinya. Kadar pesonanya mendadak naik menjadi 67%. "Eh.. Al, ternyata kamu cepet marah ya? Aku seneng deh ngeliat kamu kayak gini. Gimana ya.. lebih hidup." katanya sambil tersenyum. Tulus. Hidup? Emang dia pikir aku sudah mati? "Aku seneng lihat kamu berinteraksi," kata Dika menimpali. "Kita jadi seperti teman beneran.” Aku terdiam mendengar ucapan Dika. Ah.. Benar juga. Dika adalah teman pertamaku. Dia mengajakku bicara lama, memanggil namaku, mengajak pulang bareng, bahkan hendak berkunjung. Walau cuma numpang makan, katanya. Aku rasa mengenalnya bukan sesuatu yang berbahaya. Walau tetap saja, sikap Dika itu berbahaya karena kenarsisan bisa menular dan termasuk penyakit mematikan jika tidak segera ditangani. "Rumahku di sini!" tunjukku pada sebuah rumah. Dika menoleh ke rumah yang aku maksud. Dahinya berkerut. Dia melihatku, Sekolah, Rumahku lalu balik lagi padaku. "k*****t! Rumahmu cuma jarak 5 rumah dari sekolah. Deket gila!" umpatnya. Aku nyengir, membuat Dika shock. "Wah.. Ally senyum licik. Astagah.. cantiknya." Dika mulai alay. Dia pikir senyum licik itu cantik? Dika memang aneh! Aku membuka pagar rumahku lalu mempersilahkan Dika masuk. Dika pun masuk dengan bibir yang terus senyum-senyum sambil nepuk pelan perutnya, kode untuk cepat diberi makan. "Makan, makan!" ucapnya girang sambil lompat-lompat kayak anak kecil. Aku mencari kunci pintu rumahku di tas. Sementara Dika di belakangku sembari melihat ke sekeliling. "Siapa..ka...mu?" Pertanyaan yang lebih mirip bisikan dedemit itu seketika membuat Dika menoleh dengan kikuk dan berkeringat dingin. "Annjirrr.....!!!" Dika berteriak sekuat tenaga, ketakutan setengah mati. Brak. Dika terkapar di lantai, pingsan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD