"Gaya move on bergantung pada massa cinta dan kecepatan melupakan."
Brak!
Aku menoleh dan melihat Dika sudah jatuh pingsan. Aku beralih melihat ke wanita di depanku.
"Mama?"
Mama diam, tidak bergerak atau menjawab, hanya perlahan mundur. Menghilang di balik jubah hitam dan rambut panjangnya. Sebenarnya tidak menghilang, hanya saja telapak kaki mamaku tidak terlihat karena jubah panjangnya dan berjalan pelan tanpa suara, udah mirip hantu sungguhan.
Aku menghela napas sebentar, mengamati Dika yang terkapar di lantai. Dika pasti shock melihat Mama yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Aku hanya meliriknya sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Masa bodoh soal Dika. Dia berat, aku tidak akan kuat untuk menggotongnya masuk. Menyeretnya pun malas.
Aku masuk ke kamar, meletakkan tas sekolahku dan berganti baju.
"Siapa?"
Pertanyaan itu membuatku menoleh, kepala mama sudah menyembul dari balik pintu kamarku.
"Teman."
"Oo." Mama membeo.
Sedetik kemudian menghilang. Lagi. Aku melanjutkan mengganti pakaianku. Samar-samar aku mendengar suara sesuatu yang diseret. Aku mengabaikan hal itu.
Tak lama berselang, aku keluar kamar dan mencium aroma masakan. Makanan sudah siap di meja makan. Rupanya Mama sudah selesai menyiapkan makan siang. Aku menengok ke dapur, mama tidak ada disana. Aku jadi teringat Dika. Dika bilang kalau mau numpang makan, jadi aku mengecek kondisinya. Bagaimanapun aku tidak boleh membiarkannya lama-lama terbaring di lantai. Bisa masuk angin.
"Lho?"
Aku mengernyitkan keningku. Dika sudah tidak ada.
Kemana jasadnya pergi? Sudah pulang?
Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan yang cukup kencang. Aku segera menuju ke halaman belakang. Benar saja, Dika sudah ada berdiri dengan tubuh gemetar di depan mama. Cowok itu bahkan terlihat pucat dan berkeringat dingin, Saat Dika melihatku, dia langsung berlari ke arahku seperti anak kecil yang menghampiri ibunya karena ketakutan ketemu hantu.
"Al, Al,” kata Dika jerit-jerit dengan wajah panik.
“Ho?’ sahutku datar.
“Itu, itu, Al!" tunjuknya ke mama.
“Kenapa, Dik?’ kutanya.
“Ada hantu, Al!” bisik Dika dengan wajah takut.
“Heh?”
Aku mengernyitkan keningku.
“Itu, di sana!” tunjuk Dika pada mamaku lagi.
Aku menatap Dika bingung dan agaknya cowok bawel itu mulai menangkap kebingunganku. Dika tertegun sejenak, loading kayaknya.
"Dia mamaku, Dik!"
"Hah?"
Hening. Dika shock berat.
Wajar aja sih Dika shock, siapapun yang bertemu mamaku pasti akan mengira begitu. tidak dapat dipungkiri kalau tampilan mamaku sudah seperti Sadako, bedanya mamaku berjubah hitam bukan putih. Sadako jelek, mamaku cantik dan perbedaan yang paling kontras adalah mamaku masih manusia, Sadako mantan manusia.
“Udah, ayo masuk!” ajakku.
Dika masih tidak bergeming.
“Makanan sudah siap lho!” imbuhku dan seketika kudengar Dika berseru kegirangan sambil lompat-lompat.
Pemulihan yang cepat sekali mengingat barusan dia udah nyaris ngompol di celana karena mengira mamaku sebagai hantu.
Aku dan Dika duduk di ruang makan. Sementara Mama sedang mengisi piring dengan nasi dan meletaknya di meja. Aku mulai mengambil lauk yang tersedia. Sepotong ayam goreng, setumpuk cap-cay dan sambal aku rasa cukup sebagai teman sepiring nasi yang sudah mama ambilkan. Dika yang melihat makanan seketika berwajah mirip anjing tetanggaku yang sedang minta makan. Dika mulai mengambil dua potong ayam goreng, setumpuk cap-cay, telur dadar gulung, tahu goreng dan beberapa menu lainnya yang Mama masak.
Dengan ragu, Dika menoleh pada mamaku.
“Tante,” panggilnya sungkan.
Mamaku hanya melirik sedikit ke arah Dika.
“Boleh nambah?” tanya Dika sambil menyodorkan piring nasinya yang sudah mirip tumpukan makanan.
“Apanya?’ tanya mama.
“Nasinya,” jawab Dika sambil nyengir.
Mama mengangguk lalu kembali meletakkan nasi di piring Dika. Setelah itu Dika mulai menyantap makanannya. Dika makan dengan lahap, ternyata dia memang kelaparan.
Aku menoleh sekilas ke arah Mama yang menyeringai lebar saat melihat Dika makan. Kalau sudah begitu, sepertinya aku tidak perlu khawatir. Seringai lebar Mama—yang sebenarnya menakutkan itu, berarti bahwa dia menyukai Dika. Mama memang suka jika masakannya dihargai dan Dika sudah lolos tahap pertama dari seleksi sebagai temanku. Walaupun sebenarnya dia itu adik kelas.
“Oi, Al! Makanlah, anggap rumah sendiri,” tegur Dika saat melihatku hanya diam.
Anggap rumah sendiri? Ini rumahku kali, Dik.
Kampret.
***
Aku membuka pintu pagar rumahku saat mengantar Dika pulang. Cowok bawel itu tersenyum lebar sembari menepuk perutnya yang sudah kenyang. Dika kesurupan—aku tidak tahu bahwa cowok kurus seperti dia bisa makan lebih dari tiga porsi dalam sekali makan. Entah ia kemanakan semua makanan yang dimakannya, Dika sama sekali tidak tampak bertambah gemuk bahkan perutnya kulihat tidak bertambah buncit setelah makan sebanyak itu.
“Al, aku pulang ya,” pamitnya sembari menyampirkan tas ransel sekolahnya ke punggungnya.
Aku hanya mengangguk pelan.
“Nggak nanya kenapa aku kok langsung pulang habis makan nih?” tanya Dika.
Aku hanya menggeleng.
“Kenapa?’ tanyanya dengan kecewa.
“Udah sore, pulang sana,” sahutku setengah mengusirnya.
“Yah, Ally jahat,” sungutnya.
“Emang.”
“Wah, Ally lucu, bikin gemes,” kpuji Dika sembari mengacak-acak rambutku pelan membuatku seketika blushing. Seumur hidup aku belum pernah dibegitukan cowok.
Dika tergelak.
“Mendidih, Al? Merah gitu?” goda Dika.
Aku segera membuang muka dan menutupi sebagian wajahku dengan tangan kanan. Malu. Dika masih tertawa lalu menghentikan tawanya beberapa detik kemudian, mendadak serius.
“Aku temannya Duta, lho,” katanya yang seketika membuatku menoleh lagi ke arahnya.
Dika tersenyum tipis.
“Naksir Duta kan?” tanyanya tanpa ragu.
Aku melebarkan mataku dengan mulut yang tanpa sadar menganga. Kaget, shock, tapi tidak terkena serangan jantung.
Dika cekikikan, puas melihat reaksiku.
Ketahuan banget aku suka Duta? Kok dia bisa tahu?
Dika berdehem beberapa kali, kembali normal lalu menatapku yang masih diam.
“Nyerah aja,” katanya yang membuatku seketika mengatubkan kedua bibirku dengan rapat.
“Duta sudah punya pacar,” lanjut Dika.
Aku diam, hanya bisa meremas kedua tangan yang mulai dingin.
“Sudah tahu ya?” tebak Dika.
Aku hanya menghela napas berat lalu mengangguk pelan. Dika tersenyum tipis lalu menepuk tangannya sekali.
“Yosh,” teriaknya tiba-tiba.
Aku melongo.
Dika kenapa?
“Naksir aku aja, Al,” katanya.
“Huh?”
“Aku jomblo,” kata Dika dengan bangga.
“Huh?”
“Pasti aku balas kok perasaanmu, Al. Soalnya dari awal sepertinya aku memang ditakdirkan menjadi pangeran berkuda putih yang turun dari kayangan untuk seorang Ally,” katanya dengan penuh percaya diri. Dika kumat.
“Ngarep,” dengusku yang langsung disambut gelak tawa Dika.
“Yaudah, deh! Aku pulang dulu, kalau berubah pikiran bilang aja ya,” katanya tanpa tahu malu.
“Ooh, besok aku jemput ya,” katanya.
“Heh? Nggak usah, rumahku dekat,” tolakku.
Dika geleng-geleng kepala.
“Nggak usah malu kali, Al! Dika yang tampan sejagad bumi ini akan siap menjemputmu kapanpun dan di manapun, nggak usah sok nolak-nolak tapi mau gitu,” sergahnya.
“Huh? Beneran, nggak usah--.”
“Kamu biasa berangkat jam berapa, Al?” potong Dika cepat.
“Jam 7 kurang sepuluh,” jawabku tanpa sadar.
“Sip, masuk gih! Aku mau pulang,” suruhnya.
“Ya, pulang aja sana! Ntar masuk sendiri aku,” elakku.
Dika menyipitkan matanya dengan raut mata yang menunjukkan sebuah kecurigaan padaku.
“Apa?” tanyaku heran.
“Masuk, Al! Ntar kamu nangis lagi pas lihat aku pulang,” kata Dika dengan ke-GR-an. Lagi.
“Dih, najis!” umpatku.
Dika tergelak, keras dan membuatku harus menyuruhnya diam.
“Kekencangan tauk! Diam!” suruhku.
Dika hanya mengangguk sambil menggigit bibirnya sebentar walau akhirnya pecah juga ketawanya. Kubiarkan saja dia selama tawanya normal. Tak lama kemudian Dika sudah kembali normal.
“Ally ternyata juga bisa ngumpat,” gumamnya.
Jelaslah. Aku kan manusia.
“Padahal di sekolah selalu diem kayak anak curut,” imbuhnya yang seketika membuatku manyun.
Tersentil hatiku.
“Yaudah, aku pulang,” katanya.
Kali ini Dika tidak menunggu jawabanku. Cowok bawel itu langsung berjalan pergi membuatku hanya bisa diam menatap punggung Dika yang perlahan menjauh. Setelah tidak terlihat, aku masuk kembali ke dalam rumah.
Jadi cewek yang waktu itu beneran pacar Duta? Haruskah aku move on?
“Aih, bodo amat! Nggak ngarep juga!” desisku lalu masuk ke kamarku.