12. Laras’s Annoying Client

973 Words
Dari semua persiapan pernikahan yang pernah kulakukan semuanya, sejujurnya mempersiapkan pernikahan Argio dan Silvania adalah persiapan pernikahan yang paling aneh dari semuanya. Bagaimana tidak? Hampir delapan puluh persen persiapan ini hanya dilakukan sepihak saja oleh pihak pengantin pria, itupun hampir sebagiannya diurus oleh sekretaris pribadinya. Sedangkan kedua calon pengantinnya justru sibuk sendiri-sendiri tanpa benar-benar peduli. Ok, ralat. Argio sebenarnya sangat perduli dengan acara pernikahannya. Tetapi setiap kali kami meeting untuk acara pernikahannya ini, moodnya selalu saja buruk dan pada akhirnya ia hanya akan diam sama di kursi menatap kosong ke layar ponsel atau tablet di tangannya. Terkadang ia juga berubah menjadi sangat sensitif dan suka marah-marah untuk hal kecil. Sedangkan Silvania? Jangan ditanya. Wanita itu benar-benar tidak berkontribusi apapun dalam pernikahan ini selain memberikan tema di awal. “Mbak Laras, gimana ya? Bu Silvania-nya minta ukurannya diturunin satu ukuran lagi karena katanya dia lagi program diet jadi nanti pas hari-h pasti ukuran tubuhnya mengecil.” Aku bisa menangkap ekspresi kebingungan Lula, asisten designer yang menangani khusus gaun pengantin Silvania. Gaun pengantin Silvania didesain khusus oleh salah satu designer gaun pengantin terbaik dan termahal di Indonesia yaitu Berliana Hermawan. Untuk jasa designnya saja, orang-orang harus mengeluarkan dana paling sedikit enam puluh juta. Belum dengan pembuatan gaun beserta detailnya. Menjadi in house WO untuk Grand Lavish benar-benar membuatku jadi tahu bahwa ada orang-orang yang bisa mengeluarkan dana sampai ratusan juta untuk gaun yang dipakai hanya satu kali saja itu. Bu Berliana dan beberapa asistennya baru saja kembali dari Korea Selatan kemarin untuk melakukan fitting dengan Silvania setelah selama ini konsultasi mengenai design gaunnya dilakukan secara online saja. Bahkan dibanding Silvania, aku dan Mia sepertinya sudah lebih dulu tahu bagaimana detail gaun itu. “Mbak Lula apa sudah coba jelaskan ke Bu Silvania-nya?” tanyaku karena sejujurnya masalah ini benar-benar di luar kendaliku. Bahkan secara teknis, masalah ini sebetulnya bukan urusanku. Posisiku di sini sebagai WO hanyalah untuk mengkoordinasi jadwal antara calon pengantin dan designer. Biasanya calon pengantin lebih nyaman untuk mendiskusikan masalah baju secara pribadi dengan team designer. Tetapi dalam kasus Silvania, jelas aku tidak bisa melakukannya karena ia bahkan tidak sepenuhnya ikut serta dalam diskusi. “Sudah, tapi dia tetap maksa begitu. Masalahnya kami takut nanti malah nggak bagus pas hari-h karena bajunya kesempitan atau apa. Bagian d**a sampai perutnya tuh modelnya kan press body gitu, Mbak, to be honest itu saja lumayan sesak meski sesuai ukuran. Apalagi kalau diturunkan satu ukuran lagi, bisa-bisa susah napas.” Aku mengerti posisi mereka. Karena ini bukan soal bisa atau tidak bisanya mengikuti kemauan client tetapi juga soal nama baik. Jika pada hari-h gaun itu justru jadi tidak bisa dipakai atau membuat pengantin kesulitan, tentu nama designer akan ikut tercoreng. “Kalau gitu nanti saya jadwalkan meeting untuk mediasi lagi ya, Mbak Lula. Saya juga coba bicarakan dengan pihak calon pengantin.” Tentu saja yang kumaksud adalah Argio karena aku bahkan hampir tidak pernah berhubungan dengan Silvania sejauh ini. Iya, ini juga adalah pertama kalinya sepanjang karirku bekerja menjadi WO di mana aku bahkan tidak pernah berdiskusi langsung dengan sang calon pengantin wanita selama persiapan pernikahan. *** “Just do whatever she wanted to. Ikuti semua permintaannya, tanpa terkecuali.” Aku menghela napas. Bahkan setelah penjelasan panjang yang kujabarkan pada Argio termasuk kemungkinan Silvania nantinya bisa saja sesak napas karena pakaiannya terlalu sempit–Argio tetap menyuruhku menuruti kemauan calon istrinya yang tidak masuk akal itu. “Pak, Bapak sendiri tahu Bu Berliana itu bukan designer sembarangan. She’s a pro, the best of the best whatever you called it. Mereka tidak bisa mengikuti permintaan Bu Silvania bukan tanpa alasan. Tetapi juga untuk kenyamanan calon pengantin.” “Lalu kamu mau saya gimana?” Mana aku tahu?! Dia kan tunangan kamu, sialan! Ingin sekali aku berteriak seperti itu di hadapan Argio tetapi tentu saja itu mustahil. Selain kini Argio adalah klienku, dia juga atasanku di sini. Ah sial. “Bapak bisa bicarakan ini baik-baik sama Bu Silvania.” Sebenarnya aku pun tidak tahu mengapa Silvania harus sekeras kepala atas alasan tidak jelas begini. Padahal menurutku jika memang di hari-h nanti dietnya berhasil dan tubuhnya menyusut, baju yang kebesaran lebih mudah diakali untuk dikecilkan dibanding sebaliknya. “As if she wants to listen to me.” Lagi-lagi Argio bergumam terlalu keras yang bisa kudengar. Aku tidak tahu mengapa ia harus repot-repot bergumam jika pada akhirnya aku bisa mendengarnya. Atau mungkin dia memang tanpa sadar melakukannya? “She’s your fiance and this is about your marriage, not only hers or yours. Diskusi bahkan berdebat dalam persiapan pernikahan itu hal yang wajar. Juga ada kalanya kamu nggak harus selalu mengikuti keinginan tunanganmu saja. You surely have your own opinion, which is just as important as hers.” Aku tidak tahu mengapa mulutku pada akhirnya berkata demikian. Tetapi sepertinya aku sudah kepalang jengah dengan persiapan pernikahan tidak normal ini di mana semua hanya dilakukan satu pihak yang mengikuti satu pihak lainnya yang bahkan kontribusinya pun tidak ada. Apa benar ini bisa disebut pernikahan? Aku kadang bertanya-tanya, bagaimana mereka bahkan bisa berkencan dan memutuskan menikah dengan kondisi seperti ini? “Maaf Pak Argio kalau ucapan saya kurang berkenan atau kelewatan.” Aku tersadar bahwa ucapanku mungkin kelewatan dan di luar batas sebagai seorang wedding organizer & planner. Aku terlalu terbawa perasaan pribadiku yang bahkan tak kusadari. “You definitely crossed the line, nona WO.” Argio akhirnya bersuara setelah beberapa saat hanya diam saja sejak aku bicara. Dan ini adalah nada terdingin Argio yang pernah ia gunakan padaku sejauh ini. “Lain kali, lebih baik kamu nggak perlu bicara kalau saya nggak minta,” tambahnya sebelum kemudian memutar kursinya hingga membelakangiku. Tidak perlu dikatakanpun aku tahu gesture itu berarti sebuah usiran. Dengan tangan terkepal, aku bangkit dari kursiku dan pergi dengan kaki yang terhentak lebih keras dari yang kumaksud. Baru kali ini aku ingin menangis saat menghadapi seorang client.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD