“Pernikahannya tinggal dua minggu lagi dan pengantinnya bahkan belum pernah sekalipun datang meeting, ini beneran bukan nikah bercanda, Mbak?”
“Shht!” Aku menyenggol bahu Mia sebagai teguran karena sudah bicara sembarangan. “Nggak enak nanti kedengeran orang.”
“Siapa yang dengar? Pihak sananya aja nggak kelihatan batang hidungnya sama sekali, Mbak! Cuma Ibu sama adiknya yang dateng mewakili itu juga nggak tahu apa-apa dan nggak kontribusi apapun sama sekali. Dari empat kali meeting, cuma muncul sekali. Calon pengantin wanitanya malah belum pernah sama sekali.”
“Mia…” Aku benar-benar ingin membekap mulut Mia kali ini. “Udahlah biarin aja, bukan urusan kita. Yang penting kita jalanin kerjaan sesuai jobdesk.”
Mia masih menggerutu tetapi aku mencoba mengabaikannya. Lalu kami kembali fokus pada pekerjaan kami masing-masing. Sore ini kami akan melakukan technical meeting final untuk finalisasi semua detail teknis, memastikan semua pengaturan sesuai dengan rencana serta persiapan telah diselesaikan dan siap untuk hari H.
The Grand Lavish telah menyiapkan sebuah ballroom berukuran sedang untuk agenda hari ini karena technical meeting final ini memang dihadiri oleh cukup banyak pihak. Mulai dari keluarga pengantin, WO, perwakilan hotel baik koordinator venue dan tim katering hotel, tim dekor, tim desainer pakaian, MUA, hair styelist, vendor audio, vendor food extra, fotografer, entertainment, MC, florist, hingga staff logistik.
Sebagai wedding planner di sini, tentu saja akulah yang memiliki peran paling utama atau bisa dibilang bahkan akulah kepala dari keseluruhan persiapan acara ini. Meskipun kini staffku juga sudah bertambah, tetap saja tanggung jawab yang kuemban justru semakin besar.
Akan ada banyak tamu pejabat dan orang penting yang hadir ditambah aku tidak ingin mengecewakan kepercayaan Tante Ambar yang sudah ia berikan padaku. Jadi bukan hanya bagi pihak pengantin, tetapi pernikahan Argio ini juga sama pentingnya untukku.
Pintu ballroom terbuka dan Tante Ambar memasuki ruangan ini bersama dengan Daisy, asisten pribadinya. Aku sudah beberapa minggu ini tidak sempat bertemu Tante Ambar karena mempersiapkan pernikan Argio yang cukup merepotkan. Tante Ambar sendiri sepertinya juga disibukkan oleh berbagai kegiatan sosial bersama teman-temannya sehingga jarang berkunjung ke Grand Lavish belakangan ini.
Entah mengapa, aku juga merasa Tante Ambar tidak terlalu ‘turun tangan’ dalam pernikahan Argio. Melihat bagaimana Tante Ambar yang bahkan sangat peduli pada pernikahan clientnya yang waktu itu nyaris berantakan karena ditipu WO, cukup aneh melihatnya justru tidak terlalu peduli dengan persiapan pernikahan anak semata wayangnya sendiri.
Satu-satunya yang Tante Ambar lakukan sejauh ini hanya menanyakan progress persiapannya melalui aku dan itupun hanya selewat saja yang lebih terdengar seperti basa-basi.
Benar kata Mia, pernikahan ini bahkan terasa seperti sebuah candaan.
Tante Ambar tersenyum cerah begitu melihatku. Aku langsung memeluk dan mencium pipinya seperti biasa. “Tante, apa kabar?” tanyaku. Meski beberapa minggu tidak bertemu, sebenarnya kami beberapa kali berhubungan lewat telfon.
“Baik sayang. Laras sendiri gimana kabarnya? Capek ya pasti ini persiapannya ngebut?”
Aku menggeleng dengan tidak jujur. Soal fisik, mungkin memang tidak terlalu melelahkan. Tetapi mental? Entah sudah berapa kali perasaanku terombang-ambing dalam persiapan ini. Padahal persiapan pernikahan Argio dilakukan kurang lebih dalam waktu lima bulan. Sedangkan pernikahan Putri Pak Subroto kemarin yang kukerjakan dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam saja rasanya mentalku tidak selelah ini.
Kami berbincang basa-basi sedikit sebelum mengarahkan Tante Ambar duduk di kursi yang sudah disediakan untuk pihak keluarga. Tidak lama kemudian, Ibu dan adik laki-laki Silvania hadir sebagai satu-satunya perwakilan pihak calon pengantin wanita.
Silvania sudah tidak memiliki ayah. Katanya, ayahnya adalah WNA Korea yang dulunya bekerja di Indonesia kemudian bertemu ibunya dan menikah. Aku tidak dijelaskan lagi soal itu lebih jelas selain penjelasan bahwa yang akan menjadi wali nikah untuk Silvania nanti adalah adik laki-lakinya. Namanya Hadyan.
Sekarang kami tinggal menunggu Argio dan Silvania datang agar meeting ini bisa dimulai. Iya, kabarnya Silvania sudah kembali ke Indonesia kemarin malam dan akan stay sampai hari pernikahan.
Pintu ballroom kembali terbuka tetapi yang muncul di sana hanya Akbar. Tidak ada pertanda Argio ataupun Silvania bersamanya. Dan aku bisa lihat jelas ekspresi Akbar yang tampak…keruh. Entahlah.
Lelaki itu berjalan mengitari ruangan menuju ke arahku. Kupikir ia ingin bicara sesuatu dengan Tante Ambar yang kebetulan duduk tidak jauh dariku, tetapi rupanya ia menghampiriku.
“Ras–ekhem maksudnya Bu Laras, bisa kita bicara sebentar di luar?” Aku mengernyit. Lalu melirik ke orang-orang di ruangan ini yang kini perhatiannya jadi tertuju pada kami. “Urgent,” tambah Akbar lagi untuk mempertegas situasi ini. Perasaanku semakin tidak enak. Sesuatu pasti terjadi.
Aku mengangguk dan mengekori Akbar ke luar ruangan. Kupikir kami hanya akan bicara di luar ballroom tetapi Akbar membawaku sedikit jauh dari sana. Ini pasti benar-benar bukan sesuatu yang baik.
“Can we cancel the meeting?”
“What?!” Aku nyaris berteriak tetapi untungnya aku masih bisa menjaga volume suaraku meski aku terkejut setengah mati. “Why?”
“Ugh nggak–maksudku…bisa ditunda dulu? Atau ganti hari lain?”
“Hold on, Bar, sebenarnya ada apa? Did something happen to Pak Argio or Bu Silvania?” tanyaku mulai khawatir. Tidak mungkin kan Argio sampai minta menunda meeting besar ini kalau memang tidak ada hal yang serius.
“Something like that. Aku juga masih nunggu kabar, Argio masih dalam penerbangan sekarang.”
“Apa?” Ada apa ini sebenarnya? Penerbangan? Kenapa tiba-tiba lelaki itu terbang? “Terbang ke mana?”
“Seoul.” Akbar memijat dahinya. Ia sepertinya sama frustasinya denganku, bahkan mungkin lebih. “Silvania batalin pernikahannya dengan Argio.”
Wait what???