Benar kata Mia saat itu, semua akan menjadi mungkin saat ada orang dalam. Aku tidak bermaksud menormalisasi hal tersebut, tapi pada kenyataannya memang hal itu merupakan suatu privilege yang tidak bisa dibantah. Sedih memang, tetapi namanya juga hidup kan?
Meski menggunakan bantuan orang dalam, aku tetap memastikan untuk melakukan yang terbaik sebagai WO yang dipercaya untuk mengambil alih acara milik client The Grand Lavish tersebut.
Pihak keluarga juga tidak mempertanyakan apapun lagi—termasuk ‘siapa’ Sanggar Kenanga sampai bisa menjadi WO pengganti. Mereka lebih memikirkan bagaimana acara tetap bisa berlangsung sempurna besok. Untungnya, para karyawanku juga sudah terlatih untuk bisa tanggap dan sigap dalam bekerja sehingga dalam beberapa jam kami sudah berhasil menghubungi vendor-vendor pengganti yang bersedia untuk acara besok.
Untungnya, sejak awal bagian catering diserahkan ke pihak hotel sehingga hal itu mengurangi sekian persen dari masalah yang perlu kuselesaikan. Persiapan acara pernikahan itu pun berjalan lancar dan tetap memuaskan meski persiapannya benar-benar dilakukan secara kebut semalam. Tim décor bahkan sampai harus menginap di venue untuk melakukan pengerjaan décor.
Tapi tentu saja meski lancar bukan berarti tidak ada masalah. Kami sempat kesulitan mendapatkan fresh flower yang diinginkan calon pengantin. Tetapi untungnya aku berhasil mendapatkan bunga substitute yang disetujui calon pengantin dan keluarga.
Pukul setengah empat pagi, aku masih mengawasi pengerjaan décor pelaminan menggunakan fresh flower. Perlu sangat hati-hati di bagian ini karena kalau salah sedikit saja, bunga-bunga itu bisa saja rusak.
Aku menguap. Bahkan aku belum tidur sama sekali. Mia sudah kubiarkan tidur di kamar hotel yan Tante Ambar sediakan untukku dan beberapa karyawanku beristirahat. Aku bisa bergantian tidur dengan Mia besok pagi jadi kubiarkan ia tidur lebih dulu selagi aku mengawasi proses décor.
“You’re still here?”
Aku tersentak ketika seseorang tiba-tiba muncul di belakangku. Lebih terkejut lagi ketika mengetahui bahwa orang itu adalah Argio. “Maksudnya?” Aku tidak tahu maksud pertanyaan Argio tadi. Apa seharusnya aku tidak ada di sini? Tidak tahukan dia kalau aku bahkan belum tidur sama sekali demi membantu menyelamatkan acara pernikahan client hotelnya?
“Maksudku kamu masih di sini, kerja. It’s almost four a.m, apa kamu nggak ngantuk?”
Sepertinya kurang tidur membuatku jadi sensitive. Ternyata Argio bertanya karena aku kelihatan belum pergi meninggalkan ballroom ini sejak semalam. Sejak sore bahkan. “Harus ada yang ngawasin pengerjaan decornya. Apalagi ini hitungannya kejar waktu, salah sedikit malah bisa kacau.”
“I know. Tapi kamu kan bisa suruh pegawai kamu.”
“Mereka punya jobdesk masing-masing yang sama pentingnya. It’s fine, aku bisa tidur nanti dan gentian sama staffku.” Aku tidak ingin mendebat atau banyak menjelaskan. Aku terlalu lelah untuk itu. “Kamu sendiri ngapain di sini jam setengah empat pagi?” Pertanyaan itu bukan karena aku penasaran dengan keberadaannya, tetapi hanya untuk mengalihkan topik saja.
“Got something to do this early morning,” jawabnya singkat. Jawaban itu membuatku tahu bahwa Argio juga tidak ingin ditanya lebih lanjut. Dan aku pun memang tidak berniat melakukannya.
Perhatianku kemudian tertarik kepada salah satu bunga yang tampak terpasang tidak sesuai. Jadi aku memutuskan pamit pada Argio untuk menghampiri team décor yang sedang bekerja itu sebagai bentuk kesopanan. Dan ia hanya menyahutiku dengan anggukan singkat.
Ini mungkin hanya perasaanku tetapi dalam tiga kali pertemuan kami, aku merasa Argio selalu bersikap berbeda. Di pertemuan pertama ia sombong, pertemuan kedua ia ramah, lalu pertemuan di ruangannya siang tadi dia sangat menyebalkan dan pertemuan kali ini ia bersikap dingin. Tapi aku tidak ingin ambil pusing. Ada banyak hal yang perlu aku pikirkan sekarang daripada sikap aneh CEO hotel tempatku berada saat ini.
“Aduh—” Aku baru sadar kakiku terasa sakit. Sebenarnya aku memang sudah merasakan sakit sejak awal memakai sepatu kesempitan yang Argio berikan padaku. Tetapi karena begitu banyak yang harus kukerjakan aku sampai tidak menyadari—atau lebih tepatnya mengabaikan rasa sakit itu. Dan kini sepertinya kakiku sudah menyerah.
Aku melirik kakiku dan bisa kulihat ada goresan luka dan darah di atas tumitku. Mungkin karena luka lecet itu terus tergesek seharian ini sehingga lukanya makin melebar. Astaga pasti nanti akan sakit sekali.
Tapi aku tidak punya waktu untuk mengeluh dan mengeceknya sekarang. Sebentar lagi matahari akan terbit dan pengerjaan décor ini masih jauh dari kata selesai. Aku harus focus!
Beberapa menit kemudian saat aku sedang berbicara dengan salah satu team décor, seseorang menepuk punggungku. Ketika menoleh, aku mendapati seorang staff The Grand Lavish dengan nametag Ivan berdiri di hadapanku membawa sebuah kotak di tangannya.
“Bu Laras, ini medical kitnya. Di dalemnya ada plaster luka dan obat-obatannya.”
“Hah?” Aku menatap lelaki itu dengan bingung. Tetapi meski begitu aku menerima uluran kotak alat P3K itu dari tangannya. “Saya perasaan nggak minta ini…”
Ivan tidak mengatakan apapun karena lelaki itu sudah lebih dulu pamit dan pergi dari hadapanku. Tetapi kotak itu membuatku teringat pada luka di kakiku yang lecet akibat sepatu. Yah, mungkin memang sudah waktunya aku mengobati luka itu.
***
Acara pernikahan ini akhirnya bisa digelar dengan lancar. Kami berhasil mempersiapkan segalanya tepat waktu. Aku bisa bernapas lega ketika kini sang pengantin sudah masuk ke sesi bersalaman dengan para tamu undangan. Dari sini sebenarnya aku bisa menyerahkannya pada Mia untuk menggantikanku mengawasi jalannya acara tetapi aku memilih untuk tetap standby.
“Mbak udah sana balik ke kamar, serahin sama Mia. Lagian ada team coordinator event dari pihak hotel juga yang standby, Mbak nanti bisa tumbang kalau terus maksain di sini.” Mia sepertinya sudah menyadari bahwa kondisiku mulai tidak layak lagi untuk terus berada di sini. Entah wajahku yang pucat atau mungkin kantung mata yang menghitam karena aku bahkan belum benar-benar mendapatkan tidur sejak semalam.
“Iya deh aku ke kamar mandi dulu cuci muka sama touch up sebentar terus nanti—”
“Nggak! Nggak usah balik lagi, Mbak! Ini acaranya masih sampai jam sembilan malam, mending Mbak tidur aja. Nanti kalau udah selesai dan mau ketemu pengantinnya baru aku panggil. Tapi diwakilin sama aku juga nggak apa-apa lah. Mbak butuh tidur astaga!”
Aku meringis. Kalau Mia sudah mengomel ia bahkan jadi lebih galak daripada ibu-ibu sekalipun. “Tap—”
“Nggak ada tapi-tapi! Udah sana ih!”
Aku tertawa dan akhirnya menyerah karena memang aku pun sudah tidak sanggup lagi melawan rasa lelah dan kantuk ini.
Ketika aku berjalan keluar dari ballroom menuju ke lift, aku berpapasan dengan seorang perempuan muda cantik. Rambutnya berwarna ash brown, terurai dengan indah dihiasi manik-manik mengkilap yang membuatnya seperti peri. Cantik sekali. Selain cantik, tubuhnya mungil dan langsing. Dress berwarna merah muda yang ia gunakan membuatnya terlihat manis.
Kami ternyata naik di lift yang sama. Aku menempelkan kartu akses kamar hotelku dan tombol angka dua puluh dua menyala secara otomatis. Lift menuju ke lantai kamar para tamu memang hanya bisa diakses menggunakan kartu untuk kenyamanan dan keamaan para tamu yang menginap.
Perempuan itu menempelkan kartu miliknya dan tombol lantai tiga puluh langsung menyala. Lantai direksi. Tidak mau dianggap aneh karena terlalu memperhatikannya, aku bergegas mengalihkan pandangan. Aku menyandarkan tubuhku pada dinding lift yang terbuat dari kaca. Seluruh dinding lift ini memantulkan bayangan kami sehingga meski aku tidak berusaha memperhatikannya, aku mau tidak mau tetap bisa melihat apa yang perempuan itu lakukan begitu juga sebaliknya. Tetapi ia focus dengan ponselnya saat ini sedangkan aku bahkan tidak tahu di mana aku meletakkan ponselku.
Aku merogoh kantung blazzerku dan menemukan walkie talkie yang kugunakan untuk koordinasi dengan teamku selama acara. Sepertinya ponselku kutinggal di kamar hotel saat ganti baju dengan pakaian dan sepatuku yang dibawakan Mia. Aku tidak mau kakiku makin lecet dan susah bergerak karena menggunakan sepatu dan baju sempit.
Ding! Pintu lift terbuka di lantai dua puluh dua. Aku bergegas keluar dari lift namun langkahku terhenti karena ada Argio berdiri di depan lift. Kami saling bertatapan dan aku sudah siap untuk menyapanya ketika tubuhku tersenggol ke samping ketika seseorang dari belakangku melewatiku begitu saja dan berseru.“Babe!”
Dengan kondisi lelah dan tidak siap, senggolan itu nyaris membuatku jatuh ke lantai. Untung saja aku bisa dengan cepat menyemimbangkan tubuhku. Tapi tidak sampai di situ, kini aku justru dihadapkan oleh pemandangan sepasang wanita dan pria berciuman. Iya, Argio dan wanita bergaun merah muda itulah yang kini tengah berciuman di hadapanku tanpa memedulikan keberadaanku.