“Saya ragu rencana ini akan berhasil,” gumam Ario pelan, suaranya hampir tak terdengar. Wajahnya mencerminkan kebingungan dan keraguan yang mendalam. Garis-garis keriput di dahinya semakin dalam, menunjukkan betapa berat beban yang dipikulnya. “Gadis itu tidak akan mau bekerja sama. Rencana ini terlalu berisiko, dan saya khawatir akan merugikan semua pihak.”
Jayden mendegus sebal. Pesimisme Ario semakin menambah frustrasinya. Rencana yang telah ia susun dengan matang, rencana yang ia yakini sebagai satu-satunya jalan keluar, kini diragukan oleh orang kepercayaannya sendiri. Ia merasa tekanan yang luar biasa, waktu terus berlalu, mengerat lehernya seperti sebuah jerat.
“Jangan bergumam seperti itu. Aku masih mendengarmu dengan jelas!” Jayden menyindir Ario, suaranya sedikit meninggi. Ia melirik jam dinding; hanya tinggal lima belas menit lagi sebelum upacara pernikahan dimulai. Kecemasan dan keputusasaan mulai menguasainya. Apakah rencana ini benar-benar akan berhasil? Apakah ia akan berhasil menyelamatkan pernikahannya dan reputasinya?
“Saya hanya takut rencana Tuan akan gagal total. Rencana ini terlalu ekstrem, dan gadis yang Tuan maksud pasti akan menolak,” Ario menjelaskan, suaranya masih pelan, namun tegas. Ia mencoba untuk menyampaikan kekhawatirannya dengan bijak, tanpa menentang perintah Jayden secara langsung.
“Kenapa kamu pesimis sekali?” Jayden menatap Ario dengan tajam. “Aku yang membuat rencana ini. Kamu harus menuruti! Jangan mempertanyakannya! Jika dia menolak, aku akan mengancamnya!” Suaranya meninggi, menunjukkan amarah yang mulai menguasainya. Ia merasa kewibawaannya sebagai atasan dipertanyakan.
“Tuan, tolong jangan bertindak gegabah. Mengancamnya hanya akan memperburuk keadaan. Calon pengantin wanita akan memberontak, dan ia akan menuding kita habis-habisan. Itu akan menjadi skandal besar yang akan menghancurkan reputasi Tuan,” Ario memperingatkan Jayden, suaranya dipenuhi dengan keprihatinan. Ia mencoba untuk menasehati Jayden agar berpikir jernih dan tidak bertindak impulsif.
“Lalu, apakah kamu punya ide lain?” Jayden menantang Ario. Ia ingin melihat apakah Ario memiliki solusi yang lebih baik. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh detak jam dinding yang terasa semakin nyaring.
Ario terdiam. Ia tidak memiliki ide lain yang lebih baik. Rencana Jayden, seburuk apapun itu, tetaplah satu-satunya harapan yang mereka miliki saat ini. Jayden memasang wajah penuh percaya diri, seolah keputusannya sudah bulat. Ia tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi rencananya. Ia akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
“Tetapi, Tuan, mengapa Anda tidak memberinya pilihan, alih-alih langsung mengancamnya? Saya rasa dia mau membantu, Tuan,” Ario menyarankan, suaranya lembut namun tegas. Ia mencoba untuk menawarkan alternatif lain, cara yang lebih bijaksana dan lebih berkemungkinan berhasil.
Jayden mendengus sebal. Ia tidak suka dibantah, apalagi disarankan untuk melakukan hal yang menurutnya tidak perlu. “Aku benci membujuk atau memberikan pilihan, Ario! Kau seharusnya sudah tahu itu. Bukankah kamu sudah bekerja untukku selama bertahun-tahun?” Suaranya meninggi, menunjukkan ketidaksukaannya terhadap saran Ario. Ia merasa Ario tidak mengerti situasi dan kepribadiannya.
Kali ini, Ario yang merasa kesal. Ia menghela napas panjang, mencoba untuk menahan amarahnya. Semua akan berjalan lancar jika Jayden mau mendengarkannya. Ia merasa frustrasi karena Jayden terlalu keras kepala dan tidak mau menerima saran yang lebih masuk akal. Ia tahu, Jayden sedang panik, tetapi ia juga merasa bahwa Jayden harus lebih tenang dan berpikir jernih.
“Baiklah, Tuan. Terserah Tuan saja. Lagipula, tim pencari belum mendapatkan informasi apa pun. Sepertinya, menemukannya akan sangat sulit.” Ario mengalah, suaranya terdengar lesu. Ia merasa putus asa, usaha mereka untuk menemukan calon pengantin wanita sepertinya sia-sia.
Jayden menatap Ario dengan tajam. “Kalian harus tetap mencarinya! Sampai kalian menemukannya!” Suaranya tegas dan penuh tekanan. Ia tidak akan menyerah begitu saja untuk menemukan Siera.
Ario mengangguk, kepatuhan tergambar jelas dari raut wajahnya yang tegang. Ia tahu, menentang Jayden saat ini hanya akan memperburuk segalanya. Harapannya, dengan menemukan calon pengantin wanita itu, setidaknya sebagian masalah akan terselesaikan. Ia menghela napas panjang, beban berat terasa menindih pundaknya. Ia harus memastikan tim pencari bekerja maksimal, menemukan calon pengantin wanita sebelum upacara pernikahan dimulai. Kegagalan bukanlah sebuah pilihan. Pikirannya melayang pada kemungkinan terburuk, skenario yang membuat jantungnya berdebar kencang.
Jayden melangkah keluar ruangan, langkahnya pelan, namun aura kepemimpinan tetap terpancar darinya. Ia menuju ruang rias, ruangan yang biasanya dipenuhi aroma parfum dan tawa riang para penata rias. Namun, kali ini, suasana terasa berbeda. Sebuah bisikan samar terdengar dari balik pintu setengah terbuka, suara-suara yang membuatnya mengerutkan kening. Ia mendekat perlahan, hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Ia mengintip melalui celah pintu. Ruangan itu dipenuhi oleh para penata rias, mereka berkumpul di sudut ruangan, suara-suara berbisik memenuhi ruangan. Jayden menyipitkan mata, mencoba menangkap setiap kata yang terucap.
“Kamu tahu, kasihan sekali Tuan Jayden,” bisik seorang penata rias, suaranya bernada rendah dan penuh simpati, namun dengan sedikit nada berbisik penuh rasa ingin tahu. “Bayangkan, sempurna seperti itu, tampan, kaya raya, tapi calon istrinya malah kabur.”
“Benar sekali,” sahut penata rias lain, suaranya penuh empati, namun dengan sedikit nada bergosip. “Aku dengar dari para penjaga tadi, katanya calon istrinya kabur, meninggalkan Tuan Jayden sendirian di hari pernikahannya. Padahal, Tuan Jayden itu idaman banget, lho!”
“Aku dengar juga,” timpal penata rias lainnya, suaranya sedikit lebih keras, namun masih berbisik. “Katanya sih, calon istrinya itu gila harta. Mungkin dia menemukan pria yang lebih kaya.”
“Aduh, kasihan sekali Tuan Jayden,” kata penata rias pertama, suaranya diiringi gelengan kepala. “Padahal, dia sudah mempersiapkan semuanya dengan sangat matang. Pernikahannya pasti mewah banget.”
“Kamu tahu, mereka memberitahukan ciri-cirinya padaku. Dan setelah ku pikir-pikir, tadi arah ke sini. Aku sempat berpapasan dengan Nona Siera. Wanita itu tampak cantik, namun dia pergi masuk ke dalam sebuah mobil.”
“Oh, astaga! Apakah itu pria barunya?”
'Brak!'
Dengan tendangan keras, Jayden menerjang pintu ruangan, membuat para penata rias terperanjat. Barang-barang di atas meja bergetar hebat, menciptakan suasana kacau. Namun, Jayden sendiri tampak tenang dan datar, seolah tidak terjadi apa pun. Ia melangkah masuk dengan tenang, namun aura dingin dan mengancam terpancar dari dirinya.
Ketegangan memenuhi ruangan. Para penata rias saling berpandangan, wajah-wajah mereka pucat pasi. Mereka merasakan aura dingin dan mengancam yang terpancar dari Jayden. Rumor tentang sifat Jayden yang sinis dan dingin memang sudah tersebar luas. Dan, pada saat ini, rumor itu terbukti benar.
Salah seorang penata rias, dengan suara gemetar, mencoba untuk menenangkan Jayden. “Tuan, maafkan kami. Kami tidak bermaksud untuk …,” ujarnya, suaranya terputus-putus karena gugup.
Jayden hanya menatap mereka dengan tatapan tajam, amarah membara di dalam dadanya. Namun, ia berusaha untuk mengendalikan emosinya. Ia masih membutuhkan para penata rias ini untuk acara pernikahannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri.
“Saya memaafkan kalian,” ujar Jayden, suaranya terdengar dingin namun tegas. “Tetapi, kalian harus merias calon istri saya dalam waktu lima belas menit. Dan, riasannya harus sempurna! Tidak ada toleransi untuk kesalahan!”