Zakiyah mencengkeram besi balkon, tatapannya terpaku pada lantai jauh di bawah. Bayangan jatuh dari ketinggian itu terasa begitu nyata, mencekam. Namun, rasa takut akan sosok Jayden jauh lebih besar daripada rasa takut jatuh. Ia harus pergi dari sini, sekarang juga. Firasat buruk itu menggigit, sebuah bisikan bahaya yang menggema di telinganya, memicu debar jantung yang tak terkendali. Napasnya memburu, dadanya sesak.
Kamar ini, dengan bayangan-bayangan yang menari di dinding, terasa seperti penjara. Keheningan kamar seakan semakin memperkuat rasa terkurungnya. Ia harus keluar. Harus!
Siera, adik dari ibunya Zakiyah, masih belum ditemukan. Kegagalan anak buah Jayden dalam menemukan Siera—sebuah hal yang seharusnya mudah—menambah rasa panik Zakiyah. Mereka begitu tidak kompeten, atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan?
“Tidak, tidak boleh berpikir seperti itu sekarang,” desisnya, suara lirih hampir tak terdengar di tengah keheningan mencekam. “Aku harus keluar dulu. Baru setelah itu, aku akan memikirkan cara untuk menghindar dari Jayden. Pria itu ... jika kemarahannya meledak, aku bahkan tak berani membayangkannya.”
Zakiyah kembali masuk ke dalam kamar, menelisik setiap sudut, mulai menjelajahi kamar. Setiap laci dibuka, setiap lemari diperiksa dengan teliti. Ia mencari kunci, sebuah jalan keluar. Mungkin, terdengar lucu. Mana ada kunci cadangan untuk kamar hotel semewah ini. Jikapun ada pastilah di simpan pihak hotel. Tapi Zakiyah tidak menyerah, harapannya menyala-nyala, kemudian redup kembali setiap kali upayanya gagal.
Gadis itu mengendus kesal. Nafasnya terengah karena degub jantungnya yang tidak beraturan. Dia harus segera menemukan sesuatu untuk membuka pintu sebelum Jayden kembali.
Detik-detik berlalu seperti siput merangkak. Kegelapan mulai menyelimuti ruangan, menambah rasa takut Zakiyah. Ia memeriksa ulang setiap sudut. Tidak ada. Hanya kehampaan dan rasa putus asa yang semakin menghimpit. Air matanya mulai mengancam, namun ia tahan. Ia tidak boleh menyerah. Ia harus keluar.
“Aduh! Tidak ada benda yang bisa dipakai!” cetus Zakiyah. Ia menggigit jarinya sendiri dengan detak jantung yang berpacu amat cepat. “Kalau tidak ada satupun yang bisa digunakan. Berarti aku tidak bisa keluar dari sini!”
Zakiyah merasa kebingungan. Peluh keringat telah membanjiri padahal kamar ini dipenuhi oleh pendingin ruangan. Akan tetapi, itu seperti tak berguna untuk tubuhnya.
“Tenang, Kiya. Kita harus menemukan satu cara saja, jangan panik,” monolognya.
Ditengah kepanikannya, tiba-tiba dia melihat pantulan dirinya di cermin. Matanya memicing, tangannya menyentuh jepit rambut hitamnya. Jepit rambut itu terbuat dari logam yang kuat dan ujungnya sedikit runcing. Sebuah ide muncul di benaknya. Ia ingat pernah melihat salah satu adegan film aksi di mana pemerannya membuka pintu yang terkunci dari benda itu. Zakiyah mencobanya, melihat celah kecil di bagian samping pintu. Seharusnya jepit rambut ini bisa digunakan untuk membuka kunci dari dalam!
Menarik nafas dalam kemudian menghembusnya pelan, memerintah tubuhnya agar tenang.
Bergegas Zakiyah memasukkan ujung jepit rambut yang runcing ke dalam celah pintu. Jantungnya berdebar-debar, setiap gerakannya diiringi napas yang tertahan. Ia mengutak-atik jepit rambut dengan sabar, mencoba berbagai cara. Keringat dingin membasahi dahinya. Beberapa kali ia hampir menyerah, namun ia terus mencoba. Dan akhirnya …
'Klik!'
Suara kecil itu menggema di keheningan ruangan, menandakan bahwa kuncinya telah terbuka.
“Ketengan memang selalu segalanya!” ujar Zakiyah begitu gembira. Sehingga tanpa sadar, ia melompat seperti anak kecil yang mendapatkan es cream.
Dengan pelan, ia mendorong pintu. Pintu terbuka sedikit, cukup untuk membiarkannya keluar.
“Ya Tuhan, aku berhasil!” tambahnya, suaranya bergetar karena campuran kelegaan dan kegembiraan. Ia jingkrak-jingkrak kecil, sebuah tarian kemenangan yang penuh syukur di tengah kegelapan. Senyum lebar merekah di wajahnya, menghilangkan bayang-bayang ketakutan yang selama ini menghantuinya. Dengan langkah cepat, ia melesat keluar dari ruangan itu, meninggalkan di belakangnya kamar yang menyeramkan dan ancaman Jayden.
"Meskipun terkesan jahat, jika aku tetap tinggal di sana dan menjadi tawanan Uncle Jayden, itu akan sangat konyol! Apalagi, aunty yang melakukannya. Kenapa aku yang menanggung semua ini?”
Zakiyah mendesah, kesal. Ia berusaha menyembunyikan sisa air mata dan mata yang sedikit sembab. Untunglah, Jayden tidak akan menyadari kepergiannya.
Langkah demi langkah, Zakiyah mengamati dekorasi hotel yang meriah dan mewah. Keindahannya sungguh memukau. Lampu-lampu kristal berkilauan, karpet tebal dan lembut di bawah kakinya, serta lukisan-lukisan yang terpajang di dinding menambah kesan megah. Ia tak pernah menyangka akan berada di tempat semewah ini.
“Astaga, dekorasi sebagus dan semeriah ini. Kenapa aunty malah kabur? Apa sebenarnya yang terjadi?” Zakiyah semakin heran. Siera melakukan hal konyol yang mempermalukan dirinya sendiri.
“Padahal, Uncle Jayden tampak sempurna. Kenapa aunty bersikap seperti itu?” Pertanyaan itu terus berputar di benaknya. Ia tak mengerti motif Siera, dan rasa bingung dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Kemewahan hotel ini terasa ironis di tengah kekacauan batinnya. Ia berharap segera menemukan Siera dan mendapatkan penjelasan atas semua ini.
Langkah Zakiyah semakin cepat. Ia melewati deretan vas bunga tinggi yang menjulang, melewati sofa-sofa mewah yang tertata rapi, dan melewati para pelayan yang sibuk berlalu-lalang. Aroma parfum mahal dan makanan lezat seakan tak mampu mengalihkan fokusnya. Ia ingin segera keluar dari hotel megah ini, sejauh mungkin dari bayang-bayang Jayden dan misteri kepergian Siera.
“Seandainya aku bertemu aunty Siera sekarang juga, aku akan langsung menanyakan semuanya dan memarahinya habis-habisan! Persetan dengan sopan santun, aku benar-benar kesal karena menjadi tawanan calon suaminya yang menyeramkan dan menyebalkan itu!” gerutu Zakiyah dalam hati.
Meskipun melangkah cepat, ucapannya terus bergumam tanpa henti. Ia benar-benar kesal dan marah atas kejadian yang menimpanya. Namun, di balik amarahnya, tersimpan rasa iba pada Jayden atas kelakuan Siera. Bayangan wajah Siera yang cantik bercampur aduk dengan kemarahannya.
Zakiyah menghela napas panjang. Pikirannya melayang kemana-mana. Padahal, tujuan utamanya adalah pergi dari sini dan mencari keberadaan Siera. Ia tidak boleh terganggu oleh emosi yang mungkin menghambat langkahnya. Mencari Siera adalah prioritas utama, semua emosi lain harus dikesampingkan untuk sementara waktu.
Langkah Zakiyah semakin cepat, tekadnya bulat untuk keluar dari hotel dan mencari adik dari ibunya tersebut. Ia melewati koridor yang sunyi, hanya langkah kakinya yang memecah kesunyian. Pikirannya masih dipenuhi oleh kemarahan, kecemasan, dan tekad untuk menemukan aunty-nya. Ia harus menemukan jawaban atas semua misteri yang membingungkan ini.
“Pokoknya aku harus bertemu dengan aunty! Awas aja, kalau dia malah maki-maki aku. Akan aku marahi juga dia dengan penuh amarah. Dan akan aku katakan bodoh juga!”
Tiba-tiba, sesuatu menghantam tubuhnya dengan keras. Zakiyah tersentak, tubuhnya terhuyung kemudian jatuh tersungkur, rasa sakit menusuk pergelangan tangannya. Ia mendongak, melihat seseorang dengan mata yang membulat dan jantung yang merosot.