Menjaga Citra Diri Jayden.

1048 Words
Hati Jayden lega sejenak. Hanya tinggal sepuluh menit lagi sebelum acara pernikahan dimulai. Ia harus segera menyelesaikan masalah ini sebelum para tamu mulai bertanya-tanya dan menimbulkan kepanikan. Bayangan wajah-wajah cemas para tamu memenuhi pikirannya. Ia tak ingin namanya tercemar hanya karena ulah seorang wanita yang tiba-tiba menghilang di hari bahagianya. “Apakah ucapan salah seorang penata rias tadi benar?” gumam Jayden, pikirannya melayang. Ia masih terngiang-ngiang ucapan penata rias yang mengatakan telah melihat Siera masuk ke dalam sebuah mobil hitam. Namun, siapa yang mengemudikan mobil itu? Dan bagaimana mereka bisa begitu lihai hingga asistennya sendiri tidak mampu melacak keberadaan Siera? Jaringan dan koneksi siapa yang begitu kuat hingga mampu mengelabui pengawasan ketat yang telah ia siapkan? Rasa penasaran yang luar biasa menggerogoti pikiran Jayden. Namun, ia harus tetap tenang dan menyelesaikan acara pernikahan ini agar tidak menimbulkan kecurigaan. Ia harus memastikan acara berjalan lancar, meskipun hatinya dipenuhi oleh kecemasan dan pertanyaan yang belum terjawab. Jayden melangkah menuju kamarnya, langkahnya berat dipenuhi oleh kecemasan. Sepuluh menit lagi acara pernikahan akan dimulai, namun bayangan wajah Siera terus menghantuinya. Ia harus menemukannya sebelum semuanya menjadi lebih kacau. Tangannya meraih gagang pintu kamar. Alisnya bertaut. Pintu kamarnya sudah terbuka sedikit. Aneh. Ia yakin tadi telah menguncinya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu selebar-lebarnya dan melangkah masuk. Kamarnya tampak berantakan. Baju-baju berserakan di lantai, selimut tergeletak di atas tempat tidur. “Zakiyah Emberlyn,” panggil Jayden, suaranya sedikit meninggi. Namun, hanya keheningan yang menjawabnya. Hati Jayden mulai dipenuhi oleh rasa tidak tenang. Ia melangkah menuju pintu kamar mandi, mengetuknya pelan. “Kiya? Apakah kamu di dalam?” suaranya terdengar lebih cemas. Tidak ada sahutan. Jayden semakin panik. Dengan cepat, ia membuka pintu kamar mandi. Kosong. Kamar mandi kosong. Jayden merasakan jantungnya berdebar kencang. Zakiyah menghilang. Kemana dia pergi? Apakah ada hubungannya dengan hilangnya Siera? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya. Ia harus menemukan Zakiyah, sebelum semuanya menjadi lebih kacau. Ia harus menemukan keduanya sebelum acara pernikahan dimulai. Kecemasan dan kepanikan mulai menguasainya. Ia harus bertindak cepat. Jayden berlari menuju balkon. Pikiran terburuk langsung melintas di benaknya: jangan sampai Zakiyah nekat melakukan hal yang tidak diinginkan. Ia membayangkan Zakiyah berdiri di tepi balkon, siap untuk melompat. Namun, napasnya tersengal saat ia sampai di balkon. Kosong. Tidak ada Zakiyah. Umpatan kasar lolos dari bibir Jayden. “Sialan! Bagaimana dia bisa keluar?” Ia mengutuk kebodohannya sendiri. Apakah ada yang membantunya? Siera? Pikiran itu langsung muncul di kepalanya. Apakah Siera datang ke sini untuk membantunya keluar? Apakah mereka berdua memang sudah merencanakan sesuatu hal yang begitu fantasis? Ia merogoh ponselnya, berniat menghubungi Ario, asistennya. Ia harus segera mencari tahu apa yang terjadi. Langkah kakinya tergesa-gesa, kecemasan memenuhi hatinya. Namun, langkahnya terhenti. Di depan, ia melihat seorang pria paruh baya yang mengenakan setelan jas mahal. Pria itu tersenyum ramah, wajahnya tampak familiar. Ia mengenali pria itu sebagai salah satu kolega bisnisnya, seorang pengusaha ternama. Pria itu tersenyum manis, suaranya ramah namun terdengar sedikit mengejek. “Oh, astaga! Anda tampan sekali, Tuan Jayden. Tapi … di mana calon istri Anda?” Pertanyaan itu terasa menusuk, mengingatkan Jayden pada situasi yang semakin kacau dan memalukan. Ia harus menjawab, tetapi bagaimana? Kebohongan apa yang harus ia katakan? Ia terdiam, pikirannya kalut. Semua rencana pernikahannya hancur berantakan. Dan di hadapan kolega bisnisnya yang terhormat ini, ia harus menghadapi kenyataan pahit ini. Jayden berusaha keras untuk tersenyum, sebuah senyum yang dipaksakan, mencoba menutupi amarah dan kepanikan yang menggelegak di dalam dirinya. Ia memaksa otot-otot wajahnya untuk membentuk ekspresi ramah, meskipun di dalam hatinya, sebuah badai amarah tengah berkecamuk. Ia harus tetap tenang, ia harus tetap profesional di hadapan kolega bisnisnya yang terhormat ini. “Ada,” jawab Jayden, suaranya terdengar sedikit gemetar, namun ia berusaha agar tetap terdengar tenang dan ramah. “Sepertinya para penata rias masih membantunya untuk tampil sempurna. Karena ini adalah pernikahan yang sekali seumur hidup, maka saya ingin semuanya berjalan dengan sangat lancar.” “Oh, astaga. Anda sangat romantis,” puji kolega bisnis Jayden itu dengan tawa yang terdengar tulus, namun di mata Jayden, ucapan itu terasa seperti sindiran halus. Ia merasakan sentuhan ringan di pundaknya, tekanan yang terasa agak berat, mengingatkannya pada beban tanggung jawab yang kini dipikulnya. “Sepertinya para wanita akan patah hati pada hari ini. Apalagi anak saya, dia sangat memuji-muji Anda.” Jayden tersenyum tipis, sebuah gerakan otot wajah yang terasa kaku dan dipaksakan. Senyum itu tak mampu menyembunyikan kecemasan dan amarah yang tengah menggelegak di dalam hatinya. Ia merasakan keringat dingin mulai membasahi dahinya. Bagaimana ia bisa menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada kolega bisnisnya ini? Bagaimana ia bisa menghadapi semua pertanyaan yang mungkin akan diajukan? “Anda bisa saja. Dan sepertinya itu terlalu berlebihan,” jawab Jayden pelan, suaranya terdengar sedikit serak. Ia berusaha untuk tetap ramah, tetapi nada suaranya terdengar sedikit datar dan kaku. Kolega bisnis Jayden itu ikut tertawa, suaranya lantang dan menggema di lorong hotel. “Saya mengatakannya dengan benar,” ujarnya, nada suaranya penuh dengan kepercayaan diri. Ia melirik jam tangannya sejenak, kemudian melanjutkan, “Ah, ngomong-ngomong, kenapa Anda tidak ke tempat pesta pernikahan Anda saja? Sambil menunggu calon mempelai wanita datang.” Kalimat terakhir itu seperti pukulan telak bagi Jayden. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Ia tak boleh menunjukkan kepanikannya di depan kolega bisnisnya ini. Ia harus tetap profesional, ia harus tetap menjaga citranya. Namun, di balik senyum tipis yang masih ia pertahankan, sebuah badai kepanikan tengah berkecamuk di dalam hatinya. Jayden menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia harus berpikir cepat, ia harus menemukan cara untuk keluar dari situasi ini. Kolega bisnis Jayden menatapnya dengan bingung. Jayden terdiam, wajahnya pucat pasi, keringat dingin masih membasahi dahinya. Keheningan yang tercipta di antara mereka terasa mencekam. Akhirnya, kolega bisnisnya itu angkat bicara, suaranya terdengar sedikit khawatir. “Anda kenapa, Tuan Jayden? Kenapa Anda begitu gugup?” Jayden tertawa kecil, suara tawanya terdengar sedikit dipaksakan, namun ia berusaha agar terdengar natural. “Iya,” jawabnya singkat, mencoba untuk mengalihkan perhatian kolega bisnisnya dari raut wajahnya yang pucat. Ia berharap kolega bisnisnya tidak menyadari kepanikan yang tengah ia rasakan. Namun, ucapan kolega bisnisnya selanjutnya justru membuatnya semakin panik. “Astaga,” ujarnya, suaranya terdengar sedikit terkejut. “Sepertinya Anda harus berlatih lebih banyak lagi. Karena saya lihat ada beberapa media yang turut datang untuk menyaksikan acara pernikahan Anda. Mereka sudah berada di luar sana.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD