Jayden kesulitan untuk mengatakan apa pun. Lidahnya terasa kelu, pikirannya kalut. Ia merasa terjebak dalam situasi yang semakin sulit. Ia harus berpikir cepat, ia harus menemukan cara untuk keluar dari situasi ini. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya justru bertolak belakang dengan apa yang ia rasakan.
"Oh, astaga!” ujarnya, suaranya terdengar sedikit gemetar, namun ia berusaha agar tetap terdengar tenang. “Sepertinya mereka datang memang untuk memeriahkan acaraku. Saya sangat amat tersanjung.” Ia memaksakan senyum, sebuah senyum yang terlihat sangat dipaksakan.
Kolega bisnisnya langsung tertawa renyah. “Iya, dan pasti fans Anda juga akan langsung kecewa jika Anda benar-benar resmi menikah.”
Mereka berdua tertawa bersama, namun di balik tawa itu, Jayden merasakan kepanikan yang semakin memuncak. Ia takut, ia sangat takut. Ia takut kebohongannya akan terbongkar. Ia takut reputasinya akan hancur.
Akhirnya, kolega bisnisnya itu menawarkan diri untuk menemani Jayden. “Daripada berdiri di sini. Mungkin kita lebih baik ke ruang pesta untuk mengobrol dan menikmati hidangan pernikahan mu sambil menunggu calon istrimu tiba,” ujarnya.
Namun, Jayden menolak tawaran itu. “Sepertinya kita tak bisa bersama,” jawabnya, suaranya terdengar sedikit gugup. “Saya harus datang ke ruang tata rias untuk melihat calon mempelai saya dan memastikan bahwa ia tampil sempurna. Mungkin calon istriku juga membutuhkan waktu tambahan.”
Kolega bisnis Jayden itu mengangguk percaya, lalu pamit dengan senyum ramah. Ia meninggalkan Jayden sendirian di lorong hotel yang sunyi. Rasa lega sekejap menerpa Jayden, namun segera sirna ketika ia melihat pemandangan di depannya.
Ario, dengan wajah tegang dan penuh amarah, sedang menyeret Zakiyah. Zakiyah memberontak, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Ario. Rambutnya acak-acakan, wajahnya memerah menahan amarah dan air mata.
“Lepas! Aku nggak mau balik ke kamar itu! Ini semua juga bukan salahku!” teriak Zakiyah, suaranya bergetar menahan tangis.
Jayden terpaku di tempat, jantungnya berdebar kencang menyaksikan adegan mengerikan itu. Tangannya mengepal, urat-urat di tangannya menegang. Wajahnya memerah menahan amarah yang membuncah. Dengan langkah cepat, ia menghampiri mereka, menghentikan aksi brutal Ario.
Zakiyah menoleh, tatapannya bertemu dengan mata Jayden. Ribuan pertanyaan dan harapan terpancar dari matanya yang berkaca-kaca. Namun, di balik itu semua, tersirat pula ketakutan yang mencekam. Instingnya berteriak: lari!
“Berani sekali kamu keluar dari kamarku? Aku sudah memerintah kamu untuk menunggu!” Suara Jayden dingin, menahan amarah yang hampir meledak. Ia berusaha keras menjaga nada suaranya agar tetap terkendali, takut menarik perhatian para tamu dan staf hotel yang mungkin saja menyaksikan kejadian ini.
Zakiyah tertunduk, air mata mengalir deras. Emosi yang mengguncang jiwanya membuatnya memberontak lagi, berusaha melepaskan diri dari Ario. Asisten Jayden itu benar-benar menjengkelkan! Ia hampir saja berhasil kabur.
Tanpa aba-aba, Zakiyah menggigit tangan Ario dengan sekuat tenaga. Ario meringis kesakitan, suaranya mengaduh pelan. Kesempatan itu dimanfaatkan Zakiyah untuk berlari secepat kilat, meninggalkan bayangan ketakutan di belakangnya.
“Tuhan, aku hanya ingin hidup tenang dan meminta bantuannya,” gumam Jayden frustasi, rasa bersalah menggerogoti hatinya.
Ia berlari menyusul Zakiyah, langkahnya cepat dan pasti. Bayangan Zakiyah yang berlari kencang itu seakan menghilang dalam sekejap. Jayden berhasil menyusulnya.
Tatapan tajam Jayden menusuk Zakiyah, penuh amarah dan kecurigaan yang membuncah. Ia tak ingin menyakiti siapa pun, tetapi kecurigaannya kini sebesar gunung yang siap meletus. Sesuatu yang tak dapat dijelaskan mengganjal di hatinya. Zakiyah, yang baru saja berlari sekuat tenaga, tiba-tiba berhenti. Napasnya tersengal-sengal, dadanya bergemuruh.
“Uncle,” ucapnya, suara terengah-engah, “Aku ingin pergi. Ini bukan salahku. ‘Kan aunty yang kabur, kenapa aku yang dijadikan tawanan? Tahu gitu, mending aku tidak kasih tahu.”
Sebelum Jayden sempat menjawab, dengan gerakan cepat dan tak terduga, Jayden menggendong Zakiyah. Tubuh Zakiyah mendadak melayang, kakinya tak lagi menyentuh tanah. Ia tersentak kaget, matanya membulat sempurna. Detik berikutnya, ia memeluk erat leher Jayden, suaranya tertahan di tenggorokan.
“Uncle ...! Apa yang kamu ingin lakukan?!” teriak Zakiyah, suaranya bergetar di antara ketakutan dan kemarahan. Detak jantungnya berpacu liar di dadanya, menggelegar seperti genderang perang. Pikirannya kalut, berputar-putar tak menentu, menciptakan skenario terburuk yang mungkin terjadi. Ia benar-benar dilanda kebingungan, tak mampu memahami tindakan Jayden yang tiba-tiba dan tak terduga ini.
“Diam! Kamu tidak ingin membuat semua tamu hotel menoleh ke arah kita, bukan?” Suara Jayden terdengar dingin, tetapi di balik nada tegasnya, Zakiyah merasakan sedikit getaran kecemasan.
Dengan langkah pasti, Jayden terus melangkah menuju kamarnya, tanpa menghiraukan protes Zakiyah yang masih terdengar samar-samar. Ia melewati koridor hotel yang sunyi, hanya diiringi detak langkahnya yang bergema di telinga Zakiyah. Sesampainya di depan pintu kamarnya, Jayden membuka pintu dengan kunci kartu, lalu dengan cepat menutupnya kembali di belakang mereka. Suasana di dalam kamar terasa lebih tenang, terisolasi dari hiruk-pikuk di luar.
Dengan hati-hati, Jayden menurunkan Zakiyah hingga kakinya menyentuh lantai berkarpet yang lembut. Zakiyah masih dalam keadaan linglung, belum sepenuhnya memahami situasi. Namun, instingnya langsung menyala. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Tatapannya waspada, mengamati setiap sudut ruangan dengan seksama. Kepercayaan yang semula ia rasakan terhadap Jayden kini mulai rapuh, digantikan oleh kecurigaan yang mengganjal di hatinya. Suasana yang tadinya terasa aman, kini terasa mencekam.
“Kamu benar-benar tidak bersekongkol dengan Siera, bukan?” tanya Jayden, suaranya lantang, menggelegar di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan mencekam. Nada bicaranya tegas, namun tersirat sedikit keraguan yang tak dapat disamarkan Zakiyah.
Zakiyah mengangguk cepat, matanya berkaca-kaca. “Ya, aku sudah mengatakannya berulang kali. Kenapa Uncle masih saja menanyakannya? Aku lelah menjelaskan hal yang sama berulang-ulang,” ujarnya.
Jayden tidak langsung menjawab. Ia duduk di samping Zakiyah, tubuhnya mendekat hingga hampir tidak ada ruang di antara mereka. Manik matanya yang tajam menatap Zakiyah yang masih terlihat waspada, mencari celah sekecil apa pun untuk mengungkap kebenaran. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya ditemani detak jantung mereka yang berdebar kencang.
“Lalu, bagaimana kamu bisa keluar dari kamar ini? Jika bukan Siera yang membantumu?”
“Aku pakai ini,” jawab Zakiyah cepat, menunjukan jepitan hitam dari rambutnya, bukti bahwa ia memang keluar dari kamar itu tanpa bantuan siapapun.
Jayden mengangguk perlahan, matanya masih terpaku pada Zakiyah. Namun, kali ini tatapannya jauh lebih serius, bahkan menimbulkan rasa tak nyaman pada Zakiyah. Ada sesuatu yang aneh dan mencurigakan dalam tatapan Jayden, sebuah keanehan yang membuat otak Zakiyah berputar keras, mencoba mencari arti di balik tatapan misterius itu.
Jayden menarik napas dalam-dalam, tatapannya masih terpaku pada Zakiyah. Suasana tegang menyelimuti ruangan, udara seakan membeku. “Pernikahan ku dan Siera semakin dekat,” ujarnya, suara rendah dan berat, menciptakan tekanan yang menekan Zakiyah. “Dan kamu harus bertanggung jawab atas semua ini. Kamu akan menggantikan posisi Siera sebagai pengantin ku.”
Ia menghentikan ucapannya sejenak, mengamati reaksi Zakiyah yang terlihat syok dan kebingungan. “Ini adalah perjanjian kita,” lanjutnya, nada suaranya keras dan tegas, tidak menawarkan ruang untuk negosiasi. “Jika Siera ditemukan, pernikahan ini akan berakhir. Kamu mengerti?”