14. Ketemu

828 Words
Jam menunjukkan pukul 10 pagi ketika Farel, dengan celana pendek belepotan lumpur dan kaus bergambar dinosaurus yang sudah mulai belel, melangkah ceria ke rumah Ayu. Seperti biasa, bocah delapan tahun itu menyelinap melewati pagar samping, mengetuk pintu belakang sambil bersiul kecil. “Kak Yuuu… Kak Ayuuu…” bisiknya sambil mengintip dari celah jendela dapur. Tak lama, pintu dibuka oleh Ayu yang sedang mengenakan daster bermotif bunga dan rambutnya dikuncir tinggi. Matanya agak sembab, sisa dimarahi ibunya kemarin. Tapi senyumnya tetap muncul saat melihat Farel berdiri di sana. “Eh, Farel. Main ke sini pagi-pagi? Nggak sekolah?” “Libur, Kak! Hari ini kan Jumat. Cuma setengah hari, tadi udah pulang!” serunya sambil nyelonong masuk tanpa diundang. Ayu terkekeh kecil. “Dasar kamu. Mau main sama Dimas ya?” “Enggak, Kak Ayu… Aku ke sini… ada titipan…” Farel menengok ke kanan dan kiri dengan dramatis, lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan amplop kecil yang sudah agak lecek. Ia menyerahkannya pada Ayu dengan hati-hati, seolah itu emas batangan. “Dari Om Hendro. Tapi rahasia! Jangan kasih tahu siapa-siapa!” Ayu membelalak. “Hendro?” Farel mengangguk mantap. “Iya! Tapi jangan bilang-bilang, nanti aku disemprot Bu Rani.” Ayu menelan ludah pelan, menerima amplop itu dengan tangan gemetar. Hatinya mendadak berdebar tak karuan. “Dia nitip ke kamu?” tanyanya pelan. Farel mengangguk. “Iya. Terus dia janji mau kasih aku ciki sama es lilin kalau aku berhasil kasih surat ini.” Ayu nyaris tertawa, tapi terlalu gugup untuk itu. “Udah, sana main dulu di teras. Kak Ayu mau ke kamar sebentar ya,” ucap Ayu sambil buru-buru membawa surat itu ke dalam kamarnya dan menutup pintu. --- Di dalam kamar, Ayu duduk di tepi tempat tidur. Ia memandang amplop itu lama. Jantungnya berdetak keras. Di luar, suara Farel terdengar sedang main kejar-kejaran sendiri sambil menirukan suara dinosaurus. Perlahan, Ayu membuka amplop itu dan mulai membaca… --- > **Ayu…** > > Maaf kalau hari ini kamu dimarahi gara-gara aku. Aku juga lihat kamu ditarik masuk sama Ibu kamu. Rasanya seperti ditampar pakai piring pecah. > > Aku cuma mau bilang satu hal: > Aku nggak niat ganggu kamu. Nggak niat ngerebut kamu dari hidup kamu. Aku cuma… suka kamu. > Dan itu bukan kesalahan, kan? > > Aku tahu kamu dijaga ketat. Tapi kalau kamu masih mau ngobrol... sekedar menyapa... aku akan tunggu kamu di taman belakang masjid jam lima sore besok. > > Kalau kamu datang, itu artinya kamu belum benar-benar meninggalkan aku. > Kalau kamu nggak datang, aku akan ngerti. Tapi aku akan tetap suka kamu. > > Dari… tetanggamu yang sering melamun: > **Hendro** --- Ayu mengatupkan mulutnya, menahan gemuruh di dadanya. Surat itu sederhana. Tidak melebih-lebihkan. Tapi justru itu yang membuat Ayu terisak pelan. Dia tahu, Hendro bukan lelaki biasa. Duda, ya. Punya anak, ya. Tapi bukan b******k. Bukan pria yang main-main. Ia tahu betul bagaimana Hendro memperlakukan orang, memperlakukan anaknya, dan memperlakukan dirinya. Dengan hormat. Dengan tatapan yang membuat jantungnya seperti menari. Tapi… ayah dan ibu Ayu—Pak Hardi dan Bu Rani—adalah tembok batu yang mustahil dilewati. Dan sekarang, Ayu dihadapkan pada pilihan: Menemui Hendro… atau… menuruti orang tuanya? Ia memeluk lutut di tempat tidur. Lalu bangkit, membuka jendela kamarnya yang menghadap langsung ke rumah Hendro. Pagi ini, jendela lantai dua rumah pria itu terbuka. Tirai bergoyang pelan. Tapi Hendro tak tampak. “Dia pasti kerja…” bisik Ayu. Senyum tipis terbit di wajahnya. “Tapi masih sempat nulis surat buat aku.” Pikiran Ayu berputar-putar. Ia tahu konsekuensinya besar. Kalau ketahuan menemui Hendro, ibunya bisa murka. Ayahnya bisa lebih dari sekadar marah. Tapi dia juga tahu satu hal lagi: Dia ingin menemui Hendro. Tak peduli seberapa ragu, seberapa takut, seberapa bingung. Ia ingin. Dan keinginan itu tidak salah. --- Jam 4.30 sore Ayu berdiri di depan cermin, mengenakan blouse panjang warna lembut. Ia mengganti dasternya dengan celana kulot hitam dan sepatu sandal. Wajahnya polos, tanpa make-up. Tapi matanya—matanya berbinar karena gelisah dan harap yang berpadu jadi satu. Ia menulis secarik pesan untuk ibunya: “Yu ke rumah Linda bentar, Bu. Ada perlu.” Setelah menaruh pesan itu di meja makan, Ayu melangkah keluar diam-diam dari pintu samping. Langkahnya cepat, gugup, tapi pasti. Angin sore berhembus lembut. Suara azan mulai terdengar dari kejauhan. Dan di taman kecil di belakang masjid, di bawah pohon ketapang yang rindang, seorang pria sedang duduk di bangku batu. Hendro. Ia menatap layar ponselnya. Gelisah. Sudah sepuluh menit ia menunggu. Mungkin Ayu tidak datang… Tapi kemudian—ia mendongak. Dan di hadapannya, berdiri Ayu, memeluk tas selempang di dadanya. Wajahnya canggung. Mata mereka bertemu. “Aku datang,” bisik Ayu lirih. Hendro menatapnya, terkejut… lalu tersenyum. Senyum hangat yang membuat seluruh dadanya terasa penuh. “Kamu datang…” gumamnya tak percaya. Ayu mengangguk, lalu duduk pelan di samping Hendro. Sore itu, mereka tidak butuh banyak kata. Tidak butuh janji. Hanya duduk berdampingan, menatap senja, dan membiarkan perasaan mereka bicara dalam diam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD