Ayu menunduk. Hening menyelimuti bangku taman tempat mereka duduk. Senja telah berubah menjadi temaram, cahaya oranye keemasan berangsur memudar di balik bayang-bayang masjid. Suara angin sore menyusup di sela dedaunan ketapang, sementara Hendro memandang Ayu dengan wajah yang penuh harap dan sekaligus gundah. “Ayu…” bisik Hendro akhirnya, nadanya pelan tapi tegas, “Kamu… kamu terima perjodohan sama Yudha?” Ayu mengerjapkan mata, tertegun. Pertanyaan itu menampar pikirannya yang semula tenang. Ia menghela napas pelan, menggenggam erat tali tas selempangnya. “Aku… belum jawab apa-apa, Mas.” Suaranya lirih. “Ibu sama Ayah maunya aku cepat terima. Mereka bilang Yudha dari keluarga baik, punya usaha, dan... nggak pernah dekat-dekat janda punya anak, kayak kamu.” Kalimat itu terlepas begitu