Hari menjelang sore ketika Ayu baru saja masuk ke dalam rumah, mencoba menenangkan pikirannya setelah seharian menjadi bahan bisik-bisik tetangga dan ini sudah dua minggu semenjak gosip itu tersebar. Namun baru saja menaruh sandal, dia melihat ibunya, Rani, sudah duduk di ruang tamu dengan tangan terlipat di d**a dan ekspresi wajah yang serius. Di sebelahnya, Hardi, ayah Ayu, memeluk bantal kecil sambil menatap lekat ke arah anak gadisnya.
Ayu langsung merasa sesuatu yang tidak beres.
“Ayu,” suara ibunya terdengar datar tapi tegas. “Duduk.”
Ayu menelan ludah pelan, lalu berjalan ke sofa dan duduk pelan di sisi mereka. Kedua orangtuanya menatapnya bergantian, seolah sedang menilai apakah Ayu masih gadis polos atau sudah berubah menjadi tokoh utama sinetron sore hari.
“Ada apa, Bu, Pak?” Ayu membuka suara, walau suaranya agak lirih.
Rani mendesah. “Kamu mau bilang sama kami sekarang atau nanti waktu undangan pernikahanmu sama Mas Hendro sudah disebar?”
“Hah?!” Ayu langsung terbelalak. “B-bilang apa? Astaga, Bu, Pak, itu cuma gosip! Saya nggak punya hubungan sama Mas Hendro!”
Hardi mengerutkan alis. “Tapi kenapa semua tetangga bilang kamu itu calon istrinya? Itu anaknya sendiri bilang begitu. Kamu sering ngobrol sama dia, ya?”
Ayu menggeleng cepat. “Nggak! Ya... ngobrol sih iya, kan tetangga, tapi bukan kayak yang Bapak sama Ibu pikir.”
“Kamu nggak bisa main-main soal ini, Yu,” lanjut Rani. “Kita bukan nggak kenal Mas Hendro. Orangnya tampan iya, punya duit iya, rumahnya besar, anaknya lucu. Tapi... dia duda, Yu. Duda. Kamu ngerti nggak, artinya apa? Kami nggak bisa asal lepasin kamu ke laki-laki yang sudah punya masa lalu.”
Ayu terdiam. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia menunduk, jari-jarinya saling meremas.
“Kalaupun kamu ada rasa, bilang. Kita bisa bicara baik-baik. Tapi jangan bohong sama kami, Ayu,” kata Hardi, suaranya lebih lembut tapi mengandung tekanan yang dalam.
Ayu mengangkat kepalanya pelan, menatap kedua orangtuanya dengan wajah memerah. “Saya... saya juga bingung, Pak, Bu. Mas Hendro itu... suka menggoda, tapi saya nggak pernah bilang iya. Saya malu. Semua orang sudah mengira kami ada hubungan.”
Rani menghela napas berat. Ia menyandarkan tubuh ke sandaran sofa dan memutar bola matanya. “Ini semua mulai dari durian kemarin itu, ya? Hanya karena dia kasih durian terus kamu senyum-senyum, semua orang langsung kira kalian pacaran?”
Ayu mengangguk pelan. “Kiano juga bilang katanya saya calon ibunya.”
Hardi menepuk dahinya sendiri. “Itu bocah pintar juga ya, bisa nyusun kalimat kayak gitu. Tapi kamu... jangan sampai terjebak, Ayu. Jangan hanya karena perhatian, kamu jadi lembek. Uang bisa dicari, Ayu. Tapi harga diri dan kehidupan itu panjang. Hidup jadi istri duda itu bukan cuma indah di awal.”
“Tapi Mas Hendro orang baik, Pak,” kata Ayu lirih. “Dia sopan, selalu hormat, nggak pernah ganggu saya secara tidak pantas.”
Rani dan Hardi saling pandang. Rani mengangkat alis. “Jadi kamu suka?”
Ayu terdiam. Lama. Lalu dia menjawab dengan suara yang nyaris tidak terdengar. “Saya... nggak tahu. Kadang iya. Tapi kadang saya takut.”
Rani berdiri, lalu menghampiri putrinya. Ia duduk di sebelah Ayu dan meraih tangan gadis itu. “Nak, bukan kami melarang kamu bahagia. Tapi kami cuma ingin kamu berhati-hati. Jangan sampai kamu jatuh cinta pada sosok yang hanya tampak sempurna di luar, tapi kamu tak tahu isi hatinya. Apalagi kalau statusnya duda.”
Ayu mengangguk pelan. Ia tahu, maksud orangtuanya baik. Tapi hatinya sendiri tak bisa diajak kompromi. Senyuman Mas Hendro, perhatian kecilnya, cara dia menatap dengan dalam... semuanya membuat perasaan Ayu bergejolak.
Malam harinya, Ayu duduk sendiri di kamarnya. Matanya menatap jendela yang langsung menghadap ke rumah Mas Hendro. Lampu terasnya masih menyala, dan siluet tubuh pria itu tampak berdiri di balkon lantai dua, menyiram tanaman. Seolah sadar tengah diperhatikan, Hendro menoleh, lalu melambai kecil.
Ayu buru-buru menutup tirai. Wajahnya memerah.
Dan detik itu juga, ponselnya bergetar. Pesan masuk.
Mas Hendro:
Dek Ayu, kalau sempat... besok sore saya masak lodeh kesukaan Kiano. Mau mampir makan?
Saya nggak ngajak karena modus, tapi karena saya tulus. Saya cuma pengen kamu tahu... saya serius.
Ayu menggigit bibirnya sendiri, jantungnya berdebar. Ia mengetik balasan... lalu menghapusnya... lalu mengetik lagi.
Hatinya bingung. Antara restu orang tua dan perasaan yang mulai tumbuh tanpa permisi.
***
Pagi itu, mentari baru saja naik dan sinarnya menyapu halaman rumah dengan lembut. Burung-burung berkicau seperti biasa, dan embun di daun-daun masih segar. Tapi ada satu yang berbeda: Hendro berdiri tegak di depan rumahnya, mengenakan kaos polos dan celana pendek santai, sambil menatap ke arah rumah Ayu seolah menanti munculnya matahari dari timur halaman.
Biasanya, pukul segini, Ayu sudah keluar dengan ember kecil dan selang untuk menyiram tanaman hias di halaman depan. Senyumnya selalu tampak malu-malu, dan kadang-kadang ia akan menunduk saat tahu Hendro memperhatikannya. Tapi pagi ini... halaman itu sepi. Tanaman-tanaman tampak haus, dan tak ada suara pintu yang dibuka dari arah rumah Rani dan Hardi.
Hendro mengernyit, lalu melirik ke arah pintu rumah tetangganya itu. Dan saat itu pula, pintu terbuka—tapi bukan Ayu yang keluar.
Rani muncul sambil membawa kantong belanja, hendak pergi ke warung. Tatapan Hendro langsung menegang. Ia ingin bertanya, tapi rasa segan lebih kuat. Rani menatap sekilas padanya, mengangguk ringan, lalu melangkah pergi.
“Hmm,” gumam Hendro sambil menggaruk tengkuknya. Ia melangkah pelan ke balik pagar rumahnya, matanya masih menatap rumah Ayu seakan berharap gadis itu tiba-tiba muncul dari balik jendela.
Tapi nihil.
Begitu masuk ke dalam rumah, Hendro menarik napas panjang. Ia membuka ponsel, membuka kontak yang bertuliskan Dek Ayu, dan mulai mengetik pesan:
Mas Hendro:
Tumben pagi ini halaman tetangga seberang sepi…
Biasanya ada gadis cantik nyiram tanaman sambil nyengir malu-malu.
Mas jadi gundah lho, kangen liat senyum pagimu, Dek Ayu.
Setelah pesan terkirim, Hendro menghempaskan tubuh ke sofa, tangan di atas kepala, dan bibirnya bergumam, “Ini orang kok bikin saya kangen kayak anak SMA, ya…”
Sementara itu, di dalam kamarnya, Ayu baru saja bangun dari tidur. Matanya masih sayu, rambutnya acak-acakan, dan ekspresinya lesu. Semalam ia begadang berpikir soal omongan Bapak dan Ibu. Kepalanya penuh dengan bayang-bayang Mas Hendro yang menyapanya, menggoda, bahkan tawaran makan malam itu pun masih belum ia balas.
Ia membuka ponsel, dan matanya langsung membulat membaca pesan masuk.
Mas jadi gundah lho, kangen liat senyum pagimu, Dek Ayu.
Ayu menatap layar ponsel itu lama sekali, lalu menjatuhkan diri ke kasur dengan wajah tertutup bantal. “Ini gimana tooh…” keluhnya setengah menggeram. “Mau ngehindar, malah digoda terus...”
Tak lama kemudian, ponselnya kembali bergetar.
Mas Hendro:
Kalau kamu ngambek, bilang ya…
Atau jangan-jangan kamu sudah bosan lihat wajah Mas Hendro di pagi hari?
Ayu mendesah panjang. Ia merasa tubuhnya panas dingin sendiri. Belum sempat membalas, terdengar ketukan di pintu kamarnya.
“Yu... ayo, bantu Ibu bersih-bersih teras. Nanti siang ada arisan, Ibu malu kalau halaman kita kotor!” teriak Rani dari luar.
Ayu buru-buru duduk, menyembunyikan ponsel di bawah bantal, dan menjawab, “Iya, Bu! Sebentar!”
Ia menarik napas panjang, lalu mengintip layar ponselnya sekali lagi. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya ia membalas pesan Hendro.
Ayu:
Ayu nggak ngambek kok. Cuma lagi malas siram tanaman, takut dibilang pamer senyum sama tetangga sebelah.
Tidak sampai semenit, balasan masuk.
Mas Hendro:
Lho? Kalau senyummu dipamerin ke Mas tiap hari, justru Mas senang. Bisa semangat kerja seharian. Kalau perlu, Mas beli air siraman khusus biar kamu rajin keluar tiap pagi.
Ayu kembali mengerang ke bantalnya. Wajahnya semerah cabai. “Aduh... ini orang kenapa sih? Bisa nggak sih, serius sedikit, bukan menggoda terus?”
Tapi jauh di lubuk hati, ia tahu—dirinya mulai menunggu pesan-pesan itu setiap pagi. Dan tanpa sadar, ia sudah membuka tirai sedikit. Menatap ke rumah seberang yang kini tertutup rapi.
Dan di dalam rumah seberang, Hendro pun kembali membuka tirai jendelanya, berharap melihat siluet gadis manis yang belakangan ini membuatnya terus tersenyum.