Siang itu, halaman rumah Rani dan Hardi tampak berbeda. Karpet digelar, kursi plastik ditata melingkar, dan meja rotan penuh kue-kue kecil serta teko teh manis yang masih mengepul. Hari ini giliran Bu Rani menjadi tuan rumah arisan RT, acara yang biasanya hanya penuh tawa kini terasa menegang.
Karena sejak pagi, bisik-bisik dari ibu-ibu komplek semakin jadi. Semua mata sering melirik ke rumah Rani, bukan untuk mengomentari hiasan bunga atau kebersihan halaman, tapi karena satu nama yang entah kenapa menjadi topik panas: Ayu dan Mas Hendro.
"Eh, denger-denger anaknya Bu Rani bakal dilamar ya sama Mas Hendro?" bisik Bu Mimin ke Bu Yuli sambil nyeruput teh.
"Astaghfirullah, masa sih? Kan Mas Hendro duda. Ganteng sih, kaya juga, tapi... tetap aja, duda, lho!" sahut Bu Yuli setengah berbisik, setengah tergelak.
"Dari kemarin si Kiano teriak-teriak di jalan, katanya Ayu itu calon ibunya! Hihihi... anak kecil tuh jujur, Bu. Coba bayangkan, kalau udah dekat segitunya pasti mereka udah sering ketemu!" timpal Bu Retno yang duduk paling pojok, matanya menyorot tajam ke arah ruang tamu.
Di balik pintu, Ayu yang sedang membawa nampan berisi kue lemper dan pastel mendengar jelas semua itu. Langkahnya seketika ragu. Wajahnya memerah, tangan gemetar, tapi ia tetap melangkah masuk dan meletakkan kue dengan senyum menahan malu.
"Silakan dicoba ya, Buuu..." ucap Ayu pelan.
Beberapa ibu senyum menyeringai. “Makasih ya, calon mantu!” celetuk salah satu dari mereka. Ayu terkesiap dan buru-buru keluar ruangan.
Melihat reaksi itu, Rani yang sedang menuang teh tak bisa tinggal diam. Ia meletakkan teko dengan suara cukup keras dan berdiri tegak.
"Bu-ibu sekalian," ucapnya lantang. "Tolong ya, saya ini tuan rumah hari ini. Hormati sedikit. Jangan sembarang bawa nama anak saya dalam obrolan!"
Ruangan seketika senyap.
"Saya ibu kandung Ayu. Dan saya bisa jamin, anak saya itu tidak ada hubungan apapun dengan Mas Hendro! Semua itu cuma omongan kosong. Gosip jalanan!"
"Ah, Bu Rani, jangan marah, dong. Kita cuma ngobrol biasa..." kata Bu Yuli sambil terkekeh kecil, mencoba meredakan suasana.
"Ngobrol boleh, tapi jangan fitnah. Anak saya itu gadis baik-baik, masih muda, belum punya pengalaman apa-apa. Kalau kalian terus goda dia, ganggu dia, ya saya sebagai orang tua marah!" kata Rani tegas, lalu duduk kembali sambil menghela napas panjang.
Di luar rumah, tepat saat suasana arisan sedang panas-panasnya, Mas Hendro datang.
Ia mengenakan kemeja putih bersih, dengan sepiring kue lapis legit di tangannya. Baru hendak mengetuk pagar, terdengar suara tawa dan bisik-bisik dari dalam rumah Rani. Hendro mengerutkan dahi.
"Astagaa, jangan-jangan gosip makin ramai..." gumamnya. Tapi ia tetap masuk dan disambut oleh wajah-wajah terkejut ibu-ibu.
"Wah, ini dia tokohnya datang!" seru Bu Mimin sambil terkikik.
Hendro yang tak tahu apa-apa hanya mengangguk dan meletakkan kue di meja. "Saya cuma mau nganter kue. Bu Rani kan bilang kalau arisan di sini, saya cuma bantu bawa titipan dari Pak RT juga."
Rani berdiri sambil melipat tangan di d**a. "Titipan atau nyari kesempatan, Mas?" katanya datar.
"Aduh, Bu Rani... jangan salah paham. Saya cuma... ya, cuma ingin berteman baik. Biar tetangga rukun," balas Hendro, walau matanya sesekali melirik ke dalam rumah, berharap melihat sosok Ayu.
Dan benar saja, Ayu yang tadi sempat masuk ke dapur muncul membawa piring bersih. Matanya membulat melihat Hendro, dan buru-buru menunduk hendak kembali ke dalam. Tapi Hendro lebih cepat memanggilnya.
"Eh, Dek Ayu... pagi tadi belum sempat nyiram tanaman ya? Mas nungguin loh..." katanya lirih, tapi cukup didengar satu ruangan.
Sekali lagi, ruangan meledak tawa. Beberapa ibu memegangi perut karena geli, yang lain memukul-mukul paha temannya sambil tertawa terpingkal.
Wajah Ayu merah padam. Ia nyaris menjatuhkan piring yang dibawanya. "Mas, tolong jangan ngomong kayak gitu depan orang banyak..." gumamnya pelan, panik dan malu bercampur jadi satu.
Tapi Mas Hendro hanya tertawa kecil. "Mas cuma rindu lihat senyuman pagi dari seberang pagar. Bukan salah Mas dong?"
“MAS!” seru Bu Rani keras, membuat Hendro tersentak.
“Mulai sekarang, tolong jaga sikap. Jangan ganggu anak saya, jangan bicara sembarangan. Kalau Mas Hendro memang berniat baik, datanglah ke rumah dengan cara yang baik. Tapi kalau hanya main-main, lebih baik berhenti sekarang juga,” ucap Bu Rani, nadanya tajam tapi tenang.
Semua terdiam. Bahkan suara ketawa Bu Mimin pun padam. Hendro terdiam cukup lama, sebelum akhirnya berkata pelan, “Baik, Bu. Kalau itu permintaan Ibu, saya akan pikirkan baik-baik. Tapi saya tidak main-main…”
Setelah itu, ia menunduk hormat, lalu keluar dari rumah itu dengan langkah perlahan. Tapi di balik semua itu, Ayu hanya bisa menggigit bibir. Hatinya berkecamuk. Antara malu, marah, dan… sedikit rasa bersalah.
Karena mungkin… sedikit saja, ia mulai menaruh hati pada tetangga sebelah rumah itu.
***
Hendro termenung di ruang tengah rumahnya yang sepi. Jam dinding berdetak lambat, angin dari kipas angin berdengung pelan, tapi hatinya tak tenang. Sejak tadi siang, wajah Bu Rani terus terbayang di kepalanya, lengkap dengan kata-katanya yang mengandung makna tajam. Kalimat itu seperti tamparan.
"Kalau Mas Hendro memang serius, datanglah baik-baik. Jangan cuma goda-goda anak orang."
Hendro menghela napas panjang. Ia bersandar ke kursi, menatap layar ponsel yang kosong. Tak ada pesan masuk. Tak ada centang biru. Tak ada balasan dari Ayu.
Padahal, ia sudah mengirim pesan yang menurutnya lucu. Menggoda. Tapi... setelah dikirim, dia sendiri mulai ragu. Bukan ragu soal niatnya, tapi ragu apakah caranya benar.
Dia ingat isi pesannya sendiri, begitu spontan dan menggoda.
"Kalau Mas melamar, malam pertamanya mantap nggak ya? Mas udah siap minum vitamin biar kuat."
Saat itu, Hendro hanya ingin mencairkan suasana. Tapi sekarang, ia sadar—leluconnya kelewatan.
Dan ternyata Ayu membaca pesan itu. Tapi tidak membalas. Tidak satu huruf pun. Bahkan status w******p-nya kini tidak aktif.
Hendro duduk lebih tegak, menyesal. Tapi juga bingung. Perasaannya pada Ayu bukan main-main. Memang awalnya hanya iseng. Ayu itu lucu, suaranya lembut, kulitnya kuning langsat, dan gaya bicaranya suka bikin Hendro gemas sendiri. Tapi makin hari, ada sesuatu yang membuat hatinya terpikat lebih dalam.
Sementara itu, di kamar Ayu, ponsel diletakkan di atas meja belajar dengan layar menghadap ke bawah. Ayu berdiri di depan cermin, memandangi wajahnya sendiri. Pikirannya kalut.
Baru tadi sore dia merasa bersalah pada ibunya, merasa perlu bicara jujur. Tapi belum sempat ia buka suara, malah dapat pesan m***m dari Mas Hendro.
Ayu menggigit bibirnya. Marah. Malu. Dan bingung.
Di dalam hati, Ayu tahu bahwa ia sedikit menyukai pria itu. Pria berwajah tenang, dengan garis rahang tajam, dan pandangan mata yang kadang bikin jantung berdebar. Tapi Ayu juga tahu, dirinya bukan perempuan sembarangan. Ia tidak mau dijadikan bahan candaan. Apalagi candaan seperti itu.
Ia sempat mengetik balasan.
"Mas, jangan ngomong kayak gitu. Saya bukan perempuan seperti itu. Tolong hargai saya."
Tapi kemudian ia hapus. Tangannya gemetar. Akhirnya ia memilih mematikan ponselnya dan merebahkan diri di kasur. Menarik selimut hingga ke leher, memejamkan mata, mencoba tidur.
Namun pikirannya terus berputar.
Di kamar sebelah, Bu Rani mendengar suara berdebum dari kamar Ayu. Ia keluar dan mengintip. Pintu kamar Ayu tertutup rapat. Lampunya masih menyala. Tapi tak ada suara.
"Ayu?" panggil Bu Rani pelan.
"Ya, Bu," jawab Ayu dari dalam.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Nggak, Bu. Mau tidur."
Bu Rani tidak bertanya lebih jauh. Ia kembali ke kamar, tapi hatinya mulai curiga. Sejak siang, Ayu memang terlihat gelisah. Dan kini, malam-malam seperti ini, anak gadisnya sudah mematikan ponsel. Pasti ada sesuatu.
Sementara itu, Hendro di rumahnya mulai dilanda gelisah. Ia membuka galeri ponsel. Ada satu foto Ayu yang ia ambil diam-diam saat acara arisan tadi. Ayu sedang membawakan baki berisi kue dan tertawa bersama anak-anak kecil. Wajahnya berseri, matanya menyipit, dan pipinya memerah karena terik matahari.
Foto itu membuat Hendro berpikir ulang. Ia bukan anak SMA yang baru kenal cinta. Ia sudah berumur, duda pula. Tapi kenapa justru kali ini ia merasa gugup, seperti remaja?
"Udah cukup main-main, Dro," gumamnya. "Kalau memang suka, ya datang baik-baik."
Ia berdiri, mengambil kemeja bersih dari lemari, menyetrikanya sendiri, dan menggantungnya di dekat pintu. Dalam hati, ia sudah putuskan. Besok sore, setelah Ayu pulang kerja, ia akan datang ke rumahnya. Bicara pada Bu Rani dan Pak Hardi. Minta izin dengan sungguh-sungguh.
Meskipun ia tahu, Ayu mungkin masih marah.
Dan meskipun ia sadar, bisa jadi Ayu akan menolaknya mentah-mentah.
Tapi ia harus coba.
Ia ingin memperbaiki semuanya.
Ia ingin Ayu tahu—bahwa bukan hanya tubuhnya yang Hendro suka. Tapi senyumnya. Tatapannya. Sikap polosnya. Cara Ayu menunduk saat malu. Dan suara lembutnya saat menyapa tetangga.
Dan ia ingin Ayu percaya—bahwa seorang duda pun bisa mencintai dengan tulus.
---