08. Siapa Dia?

1336 Words
Hendro berdiri di depan cermin besar di kamar hotel yang ia sewa khusus malam itu. Kemeja putih bersih membalut tubuh kekarnya. Jas abu-abu gelap yang baru saja dijemput dari tailor terbaik di kota ini telah ia kenakan dengan rapi. Tapi saat memandangi wajahnya, Hendro justru mengerutkan dahi. “Ganteng nggak, ya?” gumamnya, menyisir rambutnya sekali lagi, lalu merapikan janggut tipis yang tumbuh di rahangnya. Ia menghela napas, lalu keluar dari kamar, menghampiri putranya yang sedang duduk menonton kartun di sofa. “Kian, coba sini bentar,” katanya. Anak itu mendongak dan tersenyum kecil. “Kenapa, Pa?” Hendro berdiri di hadapan anak semata wayangnya itu, lalu membuka tangan, seperti sedang memperlihatkan seluruh penampilannya. “Papa udah ganteng belum?” Kiano tertawa pelan. “Udah lah, Pa. Papa keren banget! Kayak di film-film.” “Yakin?” Hendro masih tak percaya diri. Kiano mengangguk mantap. “Yakin dong. Papa kan mau ketemu Mbak Ayu, ya?” Hendro tertawa kaku. “Iya. Tapi… nggak tahu kenapa, Papa gugup, Ki. Padahal Papa punya perusahaan, tiap hari ketemu pejabat, rapat sama menteri, pidato depan seribu orang… Tapi kalau urusan Mbak Ayu… kaki ini lemes.” Kiano hanya tersenyum simpul, lalu menggandeng tangan papanya. “Makanya beli parfum baru dulu, biar makin pede. Habis itu kita beliin perhiasan buat Mbak Ayu, ya?” Hendro terdiam sejenak, lalu mengangguk mantap. “Oke. Hari ini kita keliling mall. Sekalian quality time, ya.” Mereka pun berangkat ke mall yang paling besar di kota itu. Parkiran penuh, lampu-lampu berkelap-kelip, dan suasana ramai oleh pengunjung yang berlalu-lalang. Tapi bagi Hendro dan Kiano, hari itu istimewa. Mereka tak terburu-buru. Mereka menikmati setiap langkah. Mereka masuk ke toko parfum pertama. Kiano memaksa papanya mencium berbagai tester parfum. “Yang ini, Pa. Wanginya kayak... gentleman banget.” Hendro mengendus. “Kayak bau majalah bisnis.” Kiano tertawa. “Kalau ini? Yang woody… Kayak orang dewasa tapi hangat.” “Wah… bisa-bisa Mbak Ayu pingsan nanti cium baunya,” canda Hendro. Akhirnya mereka memilih satu botol parfum mahal dengan aroma kayu dan vanila yang lembut. Kiano menyimpan struk pembelian dengan bangga, seolah itu trofi keberhasilan pertama mereka hari ini. Selanjutnya, mereka menuju toko perhiasan. Hendro tampak kebingungan saat melihat puluhan gelang, cincin, dan kalung berkilau di etalase kaca. “Papa bingung, Ki. Cewek itu sukanya apa sih?” Kiano melipat tangan di d**a. “Mbak Ayu itu manis, ya? Lugu, kan? Berarti jangan yang terlalu mewah. Tapi tetep yang elegan.” Mereka akhirnya memilih kalung perak putih dengan liontin mungil berbentuk kupu-kupu. Sederhana, tapi anggun. Saat Hendro mencobanya ke leher manekin, dia langsung membayangkan Ayu memakainya. “Astaga... cantik banget kalau dia pakai ini,” gumamnya. Hari sudah hampir sore saat mereka selesai belanja. Perut mulai lapar. Mereka duduk di food court, memesan makanan cepat saji. Kiano makan sambil mengayun-ayunkan kakinya, sementara Hendro lebih banyak diam, menatap kalung di dalam kotak beludru biru. “Papa takut ditolak, Ki,” bisiknya. Kiano memandang papanya. “Kenapa takut?” “Ya… Ayu masih muda. Papa duda. Udah tua, bawa anak pula.” “Tapi Papa orang baik. Dan Mbak Ayu juga nggak kelihatan ilfeel. Bahkan kayaknya dia suka sama Papa. Cuma malu.” Hendro tersenyum. Anak ini kadang lebih dewasa dari usianya. Ia merasa sedikit lega. Setelah makan, mereka lanjut jalan-jalan. Masuk toko sepatu, lihat-lihat jaket, mampir ke toko buku. Tertawa-tawa di eskalator, ambil foto di photobooth, dan bahkan ikut main tembak-tembakan di arena game. Hingga malam datang, mereka pulang dengan tubuh lelah, tapi hati hangat. Sesampainya di rumah, Hendro menggantung jasnya di lemari. Ia membuka kotak kalung dan memandangi perhiasan itu sekali lagi. “Besok, Kiano,” bisiknya pada anak yang sudah tertidur di sofa. “Besok Papa akan datang ke rumah Mbak Ayu. Kalau dia tolak, ya nggak apa-apa. Tapi Papa akan bilang semuanya.” Dan malam itu, Hendro tidur dengan senyum tipis. Perutnya masih deg-degan. Tapi untuk pertama kalinya, dia merasa seperti lelaki muda lagi. Bukan karena parfum mahal atau jas baru. Tapi karena rasa cinta yang tumbuh dengan tulus. --- Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Hendro sudah berdandan rapi. Parfum barunya menyebar aroma lembut setiap kali ia bergerak. Di genggaman tangan kirinya ada kotak beludru biru—kalung yang ia beli kemarin bersama Kiano. Di d**a, degup jantungnya tidak bisa diajak kompromi. Tapi langkah Hendro mantap. Hari ini, ia akan berbicara langsung pada keluarga Ayu. Namun, ketika langkahnya baru sampai depan pagar, dia tiba-tiba berhenti. Matanya menyipit, menatap ke arah rumah Ayu. Sebuah motor matic Honda Nmax berwarna hitam mengilat terparkir di depan halaman. Dari atas motor itu, turun seorang pria muda dengan kemeja putih digulung hingga siku dan celana jeans bersih. Pria itu tampak percaya diri, bahkan sempat menyisir rambutnya ke belakang sambil tersenyum pada Pak Hardi yang berdiri di depan teras. Hendro terdiam. Dadanya terasa sesak aneh. Pak Hardi tertawa lebar. Suaranya jelas terdengar dari tempat Hendro berdiri. "Wah, Yudha! Sudah lama nggak mampir, Nak! Kok tumben datang pagi-pagi begini?" Yudha. Nama itu menyentak ingatan Hendro. Lelaki itu turun dari motor, menyalami Pak Hardi dengan penuh hormat dan akrab, seperti anak sendiri. Tak hanya itu, Bu Rani juga keluar dari rumah, membawa nampan berisi dua gelas teh manis. “Ini, minum dulu. Kamu pasti capek, Yud,” ucap Bu Rani, tersenyum manis. Yudha tertawa kecil, menerima teh itu dengan tangan dua. “Makasih, Tante. Saya memang sengaja mampir. Dengar-dengar Ayu lagi sering di rumah. Saya pikir, nggak salah dong kalau saya nyambangi.” Perkataan itu seperti tamparan telak di pipi Hendro. Ia menunduk pelan, menyimpan kembali kotak kalung di sakunya. Langkahnya yang tadinya penuh percaya diri kini menjadi ragu. Siapa Yudha ini? Kenapa begitu akrab dengan orang tua Ayu? Dari kejauhan, Hendro bisa melihat Ayu keluar dari dalam rumah. Rambutnya diikat ke atas, mengenakan kaus lengan panjang warna pastel dan celana longgar. Ia tampak terkejut melihat Yudha, tapi tidak langsung menyambut. Hendro menangkap sorot mata Ayu yang sempat menatap ke jalan—tepat ke arahnya—tapi hanya sedetik. Setelah itu, gadis itu menunduk dan masuk kembali ke dalam rumah. Hendro berbalik. Langkahnya mundur pelan-pelan. Perutnya mual seperti menelan cabai rawit mentah. Apa dia harus tetap datang? Atau pulang saja? Tapi kemudian suara Kiano terngiang dalam kepalanya. "Papa kan orang baik. Dan Mbak Ayu juga nggak kelihatan ilfeel." Ia berhenti berjalan. Menghela napas. Menatap ke langit sejenak. Lalu ia membalikkan badan lagi, berdiri di balik tiang pagar dan mengintip seperti maling yang lagi galau. Sementara itu, di dalam rumah, Ayu duduk di meja makan, jari-jarinya memainkan sendok teh dalam gelas bening. “Ayah, Yudha ngapain ke sini?” tanyanya pelan. Pak Hardi, yang baru saja duduk setelah melepas sendal, menjawab santai, “Yudha dulu anak tetangga kita waktu Ayu kecil, lho. Masih ingat, nggak? Sekarang dia kerja di luar kota. Katanya kangen suasana sini. Dan ya… dia nanyain kamu juga, sih.” Ayu tertegun. “Nanyain Ayu?” “Lho iya. Katanya dulu waktu kecil kamu suka ngasih dia roti setiap pagi. Sekarang dia penasaran kamu jadi gadis seperti apa.” Bu Rani yang duduk di sebelah suaminya ikut bicara. “Mama rasa si Yudha itu baik, lho. Sopan, mapan, dan dia datang dengan niat jelas. Coba dibandingin sama si duda itu, ya—” “Mama!” Ayu mengangkat wajah, agak kesal. “Loh, iya dong. Mama cuma bilang. Hati-hati, Ayu. Jangan jatuh hati sama yang usianya jauh dan udah punya anak. Apalagi kalau cuma kirim-kirim pesan genit. Nggak serius.” Ayu mendesah, merasa sesak. Ia berdiri dan pergi ke kamarnya, menutup pintu dengan lembut. Di balik pintu itu, ia meraih ponselnya. Ada satu pesan baru. "Aku ada di depan rumah tadi. Tapi sepertinya kamu sedang sibuk. Mungkin lain waktu aku bisa datang lebih tepat. Salam untuk kedua orang tuamu, ya. Dan… kamu cantik, seperti biasa. :) – H." Ayu menggigit bibirnya. Menahan rasa yang campur aduk. Ia tahu siapa yang menulis pesan itu. Dan anehnya… meskipun tadi ada Yudha, meskipun orangtuanya tampak senang dengan pria bermotor itu, Ayu justru merasa kehilangan seseorang yang bahkan belum sempat masuk ke rumahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD