Pagi itu, udara terasa segar menyapa wajah Hendro yang sedang berolahraga ringan keliling perumahan. Kaos olahraganya sudah basah di beberapa bagian karena keringat, tapi semangatnya masih tinggi. Sejak matahari terbit, Hendro sudah bersiap. Bukan semata karena ingin menjaga kebugaran, tapi juga karena diam-diam ia berharap bisa melihat seseorang—seseorang yang sudah beberapa waktu terakhir ini membuat hatinya bergetar.
Langkahnya terhenti saat ia melihat pemandangan yang membuatnya nyaris lupa cara bernapas sejenak.
Di depan warung kecil milik Bu Siti, tampak sosok perempuan yang ia kenal. Rambut dicepol seadanya, daster sederhana warna coklat muda, sandal jepit, dan tangan yang memegang dua bungkus nasi kuning. Ayu. Gadis itu sedang memilih kerupuk dengan ekspresi tenang, tak sadar kalau ada seseorang yang sejak tadi memperhatikannya.
Hendro tersenyum. Kesempatan seperti ini tak bisa ia sia-siakan. Ia berjalan mendekat, lalu menyapa dengan nada santai dan sedikit menggoda.
"Wah, pagi-pagi sudah cantik saja, Adek Ayu. Lagi beli sarapan ya? Buat saya juga nggak?"
Ayu menoleh cepat, terkejut, lalu mendengus pelan saat melihat siapa yang menyapanya.
"Mas Hendro? Ya ampun, Mas ini ada di mana-mana, ya."
Hendro tertawa ringan sambil menaruh kedua tangannya di pinggang. "Bukan saya yang ada di mana-mana, Dek. Mungkin hati saya saja yang sudah nyasar ke mana-mana sejak lihat kamu."
Ayu membalikkan badan, bersiap membayar nasi kuning ke Bu Siti. Namun sebelum tangannya menyentuh dompet, Hendro sudah lebih dulu menyodorkan uang.
"Sudah, saya bayarin saja. Biar sarapannya lebih enak dan kamu nggak perlu repot."
Ayu menoleh dengan dahi mengernyit. "Mas Hendro, saya masih punya uang, lho. Jangan dibiasakan begini, nanti saya ketagihan."
"Tapi saya punya rasa," sahut Hendro cepat, menyeringai. "Biar saya yang tanggung pagi ini. Kamu cukup bawa nasi kuningnya, saya bawa perasaannya."
Ayu mulai berjalan menjauh dari warung, berusaha mengabaikan Hendro yang masih saja melontarkan kata-kata manis konyol yang membuat telinganya panas. Tapi Hendro tidak menyerah. Ia mengikuti langkah Ayu dengan santai, masih mencoba mencari celah untuk membuat gadis itu tersenyum.
"Adek Ayu, aku serius, lho," ujarnya sambil menatap wajah Ayu. "Kalau aku datang ke rumahmu, bawa pesawat pribadi buat lamaran, diterima nggak?"
Langkah Ayu langsung terhenti. Ia menatap Hendro dengan ekspresi campuran antara kaget dan geli.
"Mas Hendro... Mas waras, kan?"
"Waras. Sehat. Cuma hatinya yang lagi nggak bisa tenang tiap kali lihat kamu."
Ayu kembali melangkah, kali ini lebih cepat. Tapi Hendro tetap menyusulnya.
"Kalau Adek Ayu nggak suka pesawat, aku bisa naik sepeda ontel, bawa nasi goreng sekuali, terus bilang: 'Saya datang melamar.' Gimana? Lebih romantis?"
Ayu tidak menjawab, tapi bibirnya tampak sedikit mengembang, seperti menahan senyum. Hendro tahu, meski jawabannya belum keluar, respons itu sudah lebih dari cukup untuk membuat harinya cerah.
"Mas Hendro ini..." gumam Ayu pelan. "Pagi-pagi bikin saya senewen."
"Daripada pagi yang sepi dan dingin, mending saya bikin sedikit ribut tapi bisa bikin kamu senyum, kan?"
Langkah Ayu melambat. Wajahnya tak lagi seketus tadi. Tatapannya lebih tenang, meski masih ada garis waspada di dalamnya.
"Mas Hendro, saya ini cuma perempuan biasa. Nggak cantik, nggak punya apa-apa. Mas yakin dengan semua ini?"
"Yakin," jawab Hendro tanpa ragu. "Saya sudah lihat banyak perempuan di dunia bisnis. Yang dandan cantik, yang pintar bicara, yang mewah dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tapi nggak pernah ada yang senyumnya sejujur kamu, Ayu."
Ayu mengalihkan pandangan. Matanya menatap jalanan kecil di depan rumahnya yang masih basah karena embun. Hendro diam menunggu. Tak ada kata-kata tambahan, hanya keyakinan yang ia bawa penuh kesungguhan.
Setelah beberapa saat, Ayu menarik napas pelan dan berkata dengan suara nyaris tak terdengar.
"Kalau Mas Hendro masih gila minggu depan dan masih ngomongin lamaran... saya pikirkan lagi jawabannya."
Hendro menatapnya dengan senyum yang perlahan tumbuh lebar. "Berarti saya boleh gila tiap hari ya, Dek?"
Ayu berjalan lebih cepat sambil membawa bungkusan sarapannya. Tapi Hendro tak peduli. Langkah Ayu boleh menjauh, tapi ucapannya tadi telah membuat semangat Hendro meletup seperti kembang api.
Ia tahu, Ayu belum sepenuhnya yakin. Tapi gadis itu sudah membuka sedikit pintu. Dan Hendro tidak akan menyia-nyiakan kesempatan sekecil itu.
Baginya, perjuangan baru dimulai. Jika perlu, ia akan datang ke rumah Ayu bukan hanya dengan pesawat pribadi, tapi juga dengan secangkir kopi hangat dan hati yang tulus.
Hendro tersenyum lebar sambil menatap langit yang cerah.
Langkah kecil ini akan ia lanjutkan. Sampai akhirnya gadis yang dipanggilnya Adek Ayu itu benar-benar menjadi rumah untuknya.
***
Pak Hardi berdiri di balik pagar rumahnya, tubuhnya membungkuk sedikit, mengenakan kaus oblong dan celana pendek kain yang biasa ia pakai tiap pagi. Kopi di tangan kanan sudah dingin, tapi amarahnya mulai memanas. Tatapan matanya tajam mengarah ke jalan kecil di depan rumah—tepat ke arah di mana putrinya, Ayu, tengah berjalan pelan sambil membawa bungkusan nasi kuning.
Namun yang membuat hati Pak Hardi mendadak panas bukan karena Ayu pulang terlalu lama atau membawa sarapan. Bukan. Tapi karena lelaki di sebelahnya—Hendro.
Lagi-lagi lelaki itu muncul seperti hantu yang muncul tiap pagi. Dengan baju olahraga mahal dan aroma parfum yang menyengat seperti baru mandi cologne, Hendro tampak terlalu santai. Terlalu sering. Dan terlalu dekat dengan anak gadis satu-satunya.
Hendro tersenyum lebar, melambai sebelum berbalik arah dengan santai. Sementara Ayu hanya menunduk buru-buru membuka pagar dan masuk ke dalam rumah.
Pak Hardi memutar bola mata. Ia tahu, ini bukan sekadar kebetulan pagi. Ini sudah yang keempat kalinya minggu ini.
Ketika Ayu meletakkan bungkus sarapan di meja dapur, Pak Hardi sudah duduk di bangku panjang, menatap lekat.
“Kamu itu ya, Ayu... bener-bener keras kepala.”
Ayu mendesah pelan. “Lho, kenapa, Yah?”
“Masih nanya juga? Itu si Hendro lagi. Tiap pagi ngider depan rumah, kayak ngelilingin mangsa. Ayah nggak suka!”
Ayu membuka bungkusan nasi kuning. “Dia cuma lewat, Yah. Nggak ngajak ngobrol juga kok.”
“LEWAT?!” suara Pak Hardi meninggi. “Kalau sekali dua kali, Ayah percaya. Tapi kalau udah tiap pagi? Udah kayak tukang ronda, cuma bedanya ini pake mobil dan parfum mahal.”
Ayu tidak menjawab. Ia tahu, debat pagi akan selalu kalah oleh amarah seorang ayah.
Tak lama, dari arah dapur belakang, Ibu Rani muncul membawa bakul sayur dari kebun kecil mereka. Melihat wajah Pak Hardi yang masam dan Ayu yang menunduk, ia langsung tahu sesuatu sedang terjadi.
“Ada apa ini pagi-pagi udah tegang kayak mau sidang?”
“Ini, Bu,” kata Pak Hardi geram. “Anakmu makin dekat sama Hendro itu. Ayah nggak suka, dan Ayah nggak mau pura-pura baik-baik aja.”
Rani menatap Ayu tajam, lalu menaruh bakul sayur ke atas meja.
“Ibu juga nggak setuju,” katanya datar. “Maaf ya, Yu. Tapi Mas Hendro itu... bukan orang yang cocok buat kamu.”
Ayu terkejut. “Lho... jadi Ibu juga ikut-ikutan, nih?”
“Ikut-ikutan?” Rani menyipitkan mata. “Ibu dari dulu diam bukan berarti setuju. Ibu cuma nunggu kamu sadar sendiri. Tapi makin ke sini, Hendro itu makin ngotot, makin sering muncul, dan kamu... malah diem aja. Kalau kamu seriusin dia, ibu kecewa.”
Ayu menghela napas dalam. Ia berdiri, menatap kedua orangtuanya.
“Mas Hendro orang baik. Dia sopan, nggak pernah kasar. Dan dia datang dengan niat jelas. Kenapa Ayah dan Ibu langsung tolak mentah-mentah?”
Pak Hardi tertawa pahit. “Karena kami orangtuamu. Kami tahu mana lelaki yang datang karena sungguhan, mana yang cuma main rayu.”
Rani menyambung, “Dia duda, Yu. Umurnya jauh di atas kamu. Dia bisa aja sekarang terlihat sopan, manis, penuh perhatian. Tapi kamu siap nggak kalau suatu saat dia berubah? Dia sudah pernah berumah tangga. Kita nggak tahu seperti apa kehidupan dia sebenarnya. Kita juga nggak tahu juga keluarga kaya itu kayak apa.”
Ayu menunduk. Dadanya terasa sesak. Ia merasa seolah segala penjelasannya tak berarti.
“Kami sudah diskusi,” lanjut Rani pelan namun tegas. “Ayahmu punya rencana... mau menjodohkan kamu sama Yudha.”
Ayu terdiam.
“Yudha?” ucapnya pelan.
“Iya,” jawab Pak Hardi mantap. “Anaknya Pak Sarman. Dia udah kerja sekarang. Umurnya pas, karakternya bagus. Kamu juga kenal, kan?”
“Kenal,” jawab Ayu lirih. “Tapi cuma sekilas waktu kemarin datang.”
Rani tersenyum. “Itu justru bagus. Mulai dari awal, dari nol. Tidak ada luka, tidak ada bayang-bayang masa lalu.”
Ayu menahan napas. “Tapi saya nggak suka Yudha, Bu... Yah... Saya nggak punya rasa apa-apa.”
“Itu bisa tumbuh,” ujar Rani tenang. “Asal kamu ikhlas membuka hati. Daripada sama duda tua itu... lebih baik kamu jalan sama orang yang seumuran, sama-sama belajar, sama-sama melangkah.”
Pak Hardi mengangguk keras. “Besok, Ayah undang Pak Sarman ke rumah. Kita bicarakan ini.”
Ayu melangkah ke kamarnya. Ia tidak menangis. Tidak juga melawan. Tapi di dadanya seperti ada dua dunia yang bertabrakan. Antara kepercayaan pada orangtua, dan rasa yang pelan-pelan tumbuh diam-diam pada seseorang yang tak pernah didukung keluarganya.
Malam itu, Hendro mengirim pesan.
"Adek Ayu, kalau aku datang ke rumah, bicara baik-baik sama orangtuamu... kira-kira masih ada harapan nggak?"
Ayu memandangi layar ponselnya lama. Tapi ia tidak membalas. Ia tahu, kalau Mas Hendro datang dalam waktu dekat... maka badai besar akan menunggu.
---