Pagi itu, matahari bersinar cerah, menyinari halaman depan rumah Ayu yang rapi dan bersih. Suara burung berkicau bersahut-sahutan di antara pepohonan, sementara angin pagi yang sejuk menari pelan di antara dedaunan mangga yang mulai berbuah. Suasana tampak damai dan tentram. Namun tidak bagi Hendro.
Dengan setelan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana kain berwarna krem, Hendro berdiri di depan cermin besar rumahnya, menatap pantulan dirinya yang telah rapi. Di tangannya, ia membawa satu keranjang rotan penuh buah segar: jeruk import, apel hijau, manggis, dan anggur hitam. Buah-buahan itu ia pilih sendiri pagi-pagi sekali dari toko buah terbaik di kota. Ia ingin datang ke rumah Ayu, memberikan kesan terbaik, dan bicara serius dengan orangtua Ayu—bahwa ia tak main-main.
Ia sempat berkaca lima kali. Menata rambut. Menyemprotkan parfum. Bahkan, menyelipkan sedikit minyak kayu putih di leher agar terasa sejuk dan sopan. Hari ini ia ingin tampil berbeda. Ingin memperlihatkan bahwa dirinya layak.
Satu jam kemudian keluar dari dalam rumah, Hendro berjalan ke depan rumah Ayu. Ia sempat menarik napas panjang, memperbaiki posisi keranjang buah, dan melangkah turun. Tapi belum sempat mengetuk pagar rumah, langkahnya terhenti.
Hendro memicingkan mata. Dari balik pagar, ia melihat halaman rumah Ayu dipenuhi kursi plastik putih. Ada tenda kecil dipasang di depan teras. Beberapa tamu duduk dengan sopan, mengenakan pakaian rapi, seperti sedang silaturahmi formal. Hendro mengenali satu wajah yang tampak familiar: Pak Sarman, tokoh masyarakat di kelurahan. Di sebelahnya, duduk seorang pria muda berkemeja batik, berkulit bersih, dan berkacamata tipis. Tampak dewasa dan tenang. Itu Yudha—anak Pak Sarman.
Hendro masih berdiri kaku di balik mobil. Ia melihat Rani, ibu Ayu, membawa nampan penuh kue pastel dan teh manis ke tamu-tamu. Pak Hardi mengenakan batik cokelat tua dan menyambut semua tamu dengan senyum hangat dan akrab. Rumah itu dipenuhi tawa ringan dan obrolan formal.
Namun yang paling menusuk bagi Hendro adalah kalimat yang tidak sengaja terdengar lewat angin.
“InsyaAllah, kalau cocok, bulan depan bisa kita lanjutkan ke pertemuan keluarga besar,” ucap Pak Hardi sambil menepuk bahu Yudha. “Ayu juga tidak keberatan.”
Seketika, dunia Hendro seperti berhenti. Napasnya tercekat. Tangannya yang memegang keranjang buah mulai gemetar ringan. Kata-kata itu... menikam seperti sembilu. "Ayu juga tidak keberatan."
Benarkah? Apa Ayu tahu soal ini? Apa Ayu setuju dijodohkan?
Hendro buru-buru melangkah mundur ke balik ke rumahnya, berdiri di balik semak, mencoba menenangkan detak jantungnya yang makin cepat. Tangannya masih membawa keranjang buah, kini terasa semakin berat.
Ia menatap pintu pagar rumah Ayu... dan berpikir keras. Haruskah ia masuk dan tetap menyerahkan buah ini? Haruskah ia menyapa orangtua Ayu di tengah-tengah acara lamaran calon lain?
Namun tiba-tiba, dari arah dapur samping, muncul sosok Ayu. Gadis itu tampak mengenakan blouse hijau toska dengan rambut dikuncir sederhana. Ia membawa botol air galon kecil dan hendak meletakkannya di dispenser belakang rumah. Tak sengaja matanya menangkap sosok Hendro yang berdiri canggung di pinggir jalan.
Ayu sempat terkejut. Tatapannya bertemu dengan Hendro.
“Astaga... Mas Hendro?”
Hendro terdiam, hanya tersenyum tipis. Ia tidak menjawab, hanya mengangkat keranjang buah di tangannya seperti seorang pengantar barang yang bingung mau masuk atau tidak.
Ayu menuruni anak tangga kecil di samping rumah, mendekat dengan langkah tergesa.
“Mas ngapain di sini? Kenapa nggak masuk?” tanya Ayu pelan, sedikit gugup.
Hendro menatap wajah Ayu dalam-dalam. “Aku kira... hari ini waktu yang tepat. Tapi sepertinya aku terlambat, ya?”
Ayu menggigit bibir. Ia tahu Hendro pasti mendengar semuanya.
“Maaf... Mas. Aku juga baru tahu pagi tadi. Ayah dan Ibu nggak bilang apa-apa sebelumnya.”
Hendro tersenyum pahit. “Jadi kamu dijodohkan?”
Ayu menunduk. “Iya. Tapi aku belum bilang setuju. Mereka yang memutuskan semuanya.”
Hendro menarik napas panjang. Ia lalu mengalihkan pandangan ke keranjang buah di tangannya.
“Aku bawa buah... buat Ayah dan Ibu kamu. Tapi... ya sudahlah.”
Ayu meraih tangan Hendro perlahan. “Mas... jangan pergi.”
Hendro menoleh. Ada emosi yang sulit dijelaskan di matanya. Campuran kecewa, marah, dan cinta yang menggantung.
“Aku nggak akan maksa kamu milih aku, Ayu. Tapi kamu harus tahu satu hal. Aku datang ke sini bukan buat main-main. Aku serius dari awal. Dan aku akan tetap serius.”
Ayu hanya bisa terdiam. Kerongkongannya tercekat. Suara dari ruang tamu terdengar semakin ramai, tawa para orangtua dan calon besan membumbung di udara.
Hendro melangkah pelan, meletakkan keranjang buah itu di dekat pagar. Lalu menatap Ayu sekali lagi, begitu dalam, sebelum berbalik pergi menuju rumahnya kembali.
Ayu memandangi punggung Hendro yang menjauh... dan untuk pertama kalinya, ia merasa takut kehilangan.
—
Di malam yang sunyi, Hendro berdiri sendirian di balkon kamarnya. Angin bertiup pelan, menyapu wajahnya yang tegang dan murung. Matanya tak lepas menatap rumah seberang — rumah Ayu — yang kini terasa begitu jauh, walau secara fisik hanya berjarak satu gang. Rumah yang dulu ia tatap dengan senyum dan harapan, kini hanya mendatangkan debar tak nyaman di d**a.
Ia memeluk tubuhnya sendiri, bukan karena dingin, tetapi karena kosong. Hatinya seperti dicabut paksa dari tempatnya. Malam ini begitu hampa. Tak ada suara. Tak ada tawa Ayu. Tak ada sapaan kecil dari balik pagar. Yang ada hanya sunyi yang menusuk.
Langit pun mendung, menambah kelam suasana hatinya. Hendro menatap langit, lalu menghela napas panjang.
“Kalau benar Ayu dijodohkan dengan Yudha…” gumamnya lirih, “…aku ini apa? Hanya bayangan lewat?”
Senyumnya pahit. Kepalanya tertunduk. Ia menginjak puntung rokok yang tadi sempat menyala tapi tak sempat dihisap.
Pikirannya kembali pada kejadian tadi pagi, saat ia datang membawa buah ke rumah Ayu. Harapannya sederhana, ingin bersilaturahmi, menunjukkan kesungguhan hati. Tapi harapan itu pecah berantakan ketika dari balik pagar, ia melihat dua mobil asing terparkir di halaman rumah Ayu. Dari dalam rumah terdengar gelak tawa dan obrolan hangat. Bukan suara Ayu. Tapi suara orang tuanya dan… tamu yang tak asing.
Yudha dan keluarganya.
Dan yang membuat Hendro membeku adalah saat mendengar Pak Hardi dengan suara ramah menyebut nama Yudha, menyambut dengan penuh hormat, dan tertawa lepas bersama ayah Yudha. Ibu Ayu pun tampak membawa nampan berisi minuman, menjamu dengan hangat. Senyum mereka tidak palsu. Penuh penerimaan.
Saat itu juga, langkah Hendro mengendur. Tangannya yang membawa keranjang buah mulai gemetar. Kakinya ingin melangkah masuk, tapi hatinya tertahan. Ia mundur. Menyingkir. Menyelinap kembali ke mobil, dan menyetir pulang dengan pandangan buram.
Kini, di balkon itu, ia merasakan semua perih yang tadi ditahan di jalan. d**a Hendro terasa berat.
"Aku bukan siapa-siapa..." bisiknya, seperti menenangkan diri. Tapi kalimat itu justru menyakitkan.
Matanya kembali menatap rumah Ayu. Jendela kamarnya gelap. Mungkin Ayu sudah tidur. Mungkin Ayu sedang berbicara dengan Yudha. Atau… mungkin Ayu sedang berusaha menerima kenyataan yang sudah diputuskan orang tuanya.
“Apa aku terlalu percaya diri?” Hendro memejamkan mata, menahan pedih.
Ia berjalan masuk ke kamar. Duduk di ujung ranjang dengan tubuh yang lelah, tapi pikiran yang terus melayang. Ia menatap cermin di hadapannya. Wajahnya tampak lebih tua malam ini. Pandangannya kosong. Garis di keningnya dalam.
“Kalau Ayu menikah dengan Yudha... apakah aku masih bisa melihat senyumnya tiap pagi? Masih bisa menyapa dari pagar rumah? Masih bisa bercanda walau hanya basa-basi?”
Ia tak tahu jawabannya. Yang ia tahu hanya satu — hatinya kini dalam kondisi luka yang tak berdarah.
Pikiran buruk kembali menyerbu.
"Apa aku culik aja Ayu? Aku bawa dia kabur. Kita nikah diam-diam. Biar selesai semua."
Lalu ia menggeleng, mengusap wajahnya keras-keras. “Jangan gila, Hendro. Jangan gila...”
Ia tertunduk lama. Sunyi masih menguasai kamarnya. Tak ada yang menemani selain suara detak jarum jam di dinding.
Akhirnya, Hendro merebahkan tubuhnya ke ranjang. Tapi matanya tak mau terpejam. Dan malam itu, ia hanya bisa menatap langit-langit kamarnya, dengan satu kalimat yang terus terngiang dalam pikirannya:
"Aku nggak siap kehilangan Ayu..."