BAB 7

1601 Words
Hari ini aku masih libur. Karena kelas XII Try Out selama 3 hari, kelas X dan XI juga libur selama 3 hari. Kemarin aku liburan ke wisata air bareng Alfa, tapi bukannya senang malah nyawaku nyaris melayang. Demi kesejahteraan bersama, aku rahasiakan insiden itu dari siapa pun termasuk ayah dan Fafi. Sebenarnya, si Alfa belum jera, buktinya, dia kembali mengajakku pergi hari ini, tetapi aku tolak. Selain karena hari ini aku ada latihan taekwondo, aku sudah kapok liburan bareng dia. Latihan taekwondoku hari ini berjalan lancar. Meski aku udah lama nggak latihan, tubuhku masih mengingat gerakan seni bela diri yang udah bertahun-tahun dipelajari itu sehingga aku bisa mengalahkan Kak Bian, ketua ekstrakurikuler taekwondoku. Kemenanganku yang nggak terduga itu membuat Ida dan Cicil yang datang berkunjung untuk menontonku menganga. Mereka berdua mulai melihatku sebagai “saingan” lagi. Setelah dua jam latihan, latihan taekwondo pun berakhir. Aku segera menghampiri Ida dan Cicil yang udah lama nungguin aku. Kami berempat sengaja ketemu hari ini, mau nge-trip bareng. Ide ini diusulkan oleh si tajir, Ida. Entah kenapa aku ngerasa “miskin” saat ada di kelompok ini. Mereka semua, anak dari keluarga yang “telanjur kaya”. Ida adalah anak dari pengusaha batu bara. Konon katanya, bukan mbah dukun ya, rumahnya megah bak istana. Setiap anggota keluarganya punya mobil sendiri. Meski bukan anak tunggal, Ida anak bungsu. Jadi udah suatu hal yang wajar dia dimanja banget sama ayah, ibu dan kedua kakaknya. Beda sama Ida, Cicil adalah anak tunggal. Orang tuanya kaya banget. Ayahnya seorang kepala sekolah di suatu SMAN di kotaku meski bukan smansa atau smaga. Ibunya seorang dokter umum. Karena anak satu-satunya, udah di atas kertas kalau semua kekayaan ayah dan ibunya bakal nurun ke dia. Cewek yang hobi dandan ini, lagi deket sama cogan IPA-3 di sekolahku. Meski nama cogannya dirahasiakan, aku berharap mereka jadian Fafi, sahabatku yang chubby. Orang kaya yang nggak kelihatan kaya. Sikapnya yang kayak orang kismin eh miskin maksudku membuat ketajirannya nggak kelihatan. Rumahnya lantai tiga, super megah. Punya kamar sendiri yang fasilitasnya lengkap. Di dalam kamarnya ada AC, TV, Kamar mandi dalam, perpustakaan kecil yang isinya manga semua dan seperangkat alat game. Setelah berganti baju, aku dan Fafi menghampiri Cicil dan Ida yang lagi asyik ngemil. “Sorry, lama ya,” ujarku seraya duduk di samping Cicil. Iseng-iseng aku ambil wafer yang lagi ia makan. Wafernya enak, gurih dan gratis. “Duh, Na, lama amat. Kami udah jamuran ini,” keluhnya. Cicil segera menjauhkan wafernya dari tanganku yang terus ngambil wafernya diam-diam. Sepertinya dia sadar kalau ada tangan gelap yang membuat makanannya raib. Soal makanan, dia memang cepat tanggap. Ajaib. “Waferku ini. Kalau mau, beli sana,” cibirnya, gerah karena aku minta melulu. Aku manyun. Jilatin sisa wafer yang masih nempel di jari-jari tanganku. “Idih, jorok kau. Beli napa murah kok. Hanya Rp15.000,00,” kata Ida ikutan komentar. “Rp15.000,00 kau bilang murah? Anjir, uang sakuku tiap hari aja Rp5.000,00, ngirit banget biar nggak gersang karena lintah darat,” ujarku dengan suara nyaring membuat Cicil langsung mendaratkan wafer di mulutku. “Jangan alay, deh. Kaum duafa mah gitu ya. Yuk, ah! Keburu siang ini.” Ia bangkit dari duduknya. “Yaudah, naik mobilku aja,” usul Ida sambil menunjukkan kunci mobilnya. “Lho? Emang STNK mobilmu udah balik? Bukannya kau kena tilang ya?” tanyaku heran. “Oh itu kan yang jazz, hari ini aku bawa yang ertiga,” jawabnya sambil senyum. Aku hanya menggaruk-garuk kepalaku. (Orang kaya emang gitu ya. Mobil aja gonta-ganti. Ayahku aja punya satu mobil, itu pun mobil biasa aja.) “Waduh, sepeda motorku gimana nasibnya?” tanya Fafi bingung. “Udah tinggal aja, kagak ada yang mau nyolong,” jawab Ida santai. Fafi manyun. “Itu sepeda motor warisan dari nenek buyutku tauk. Bersejarah banget,” sanggahnya nggak terima. “Lah, karena terlalu bersejarah harusnya tuh sepeda bebek masuk museum,” pungkas ida membuat Fafi langsung jadi bimoli (bibir monyong lima senti). “Udah, udah. Tinggal aja. Ntar pulangnya ida kan nganter kita ke sekolah lagi, kamu bisa naik sepeda motor kesayanganmu lagi sekalian nganterin aku,” jawabku memberi solusi. “Yaudah. Daripada kelamaan di sini, ayo capcus,” ujar Fafi sambil berjalan duluan. Ida, Cicil dan aku pun mengikuti Fafi dari belakang. Tiba di parkiran, Fafi balik badan. “Mobilmu yang mana, Da?” tanyanya malu-malu. Kami bertiga langsung ngakak denger pertanyaan konyol Fafi, sok di depan, malah nggak tahu. Ida tak menyahut, hanya segera menuju ke mobilnya lalu naik, diikuti aku, Fafi dan Cicil yang juga naik. Cicil duduk di depan bareng Ida, sedangkan aku dan Fafi duduk di tengah. Kami berencana untuk pergi ke pantai tetapi bukan yang pantai yang dulu Ida ketemuan dengan si molen pisang. Temanku itu trauma ke sana, takutnya si molen nongol lagi. Ida bahkan menon-aktifkan akun f*******:-nya. Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, kami tiba di tujuan. Setelah memarkirkan mobilnya, mesin mobil telah dimatikan, kami pun keluar dari mobil. Aku dan Fafi segera menuju pantai sambil lari-lari kecil. Kami langsung kejar-kejaran kayak adegan sinetron. Cicil dan Ida pun ikutan lari, menyusulku dan Fafi yang asyik sendiri. “A….!!!!” Aku langsung teriak ketika sampai di pantai, meluapkan semua kekesalan yang ada. “A…!!!!” Fafi juga ikutan. “A…….!!!!” Cicil menyusul. “A…..!!!” Ida pun akhirnya ketularan stress. Kami berpandangan lalu ketawa ngakak. “Asli, di sini enak banget. Liburan beneran nih,” ujarku sambil merentangkan kedua tanganku lebar-lebar, menikmati angin yang membuai lembut kulitku. “Lah kemarin kau kan liburan bareng Alfa kan, Na?” tanya Fafi heran. Aku hanya tersenyum kaku, seandainya aku bisa mengatakan kejadian kemarin padanya. Demi keselamatan Alfa, mending aku diam aja. “Iya, kan beda. Sekarang bareng temen kemarin bareng pacar,” jawabku ngeles. Fafi manggut-manggut. “Kau enak ya diajak liburan. Sauki sibuk. Nggak bisa kencan,” ujarnya dengan wajah sedih. “Kau mah enak udah taken, kami nih masih jones,” sanggah Ida membuat Fafi langsung senyum. “Iya, ya. Aku udah taken. Uhuy!” teriaknya alay, kayaknya dia udah kumat. “Heleh, senyummu mengerikan,” ujar Cicil kesal. “Na!” Panggilan itu membuatku menoleh. Seorang cowok yang aku kenal sedang melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan. Cowok itu berlari kecil menghampiriku. Sepertinya dia lagi berenang, hanya mengenakan celana pendek sehingga tubuhnya yang atletis dan agak kotak-kotak itu terlihat. (Dasar tukang pamer badan!) “Na, mereka kenapa?” tanya cowok itu ketika udah ada di depanku. Aku menoleh ke arah yang cowok itu tunjuk. Aku mulai merasa kesal ketika aku melihat Ida dan Cicil lagi menganga ngeliatin cowok di depanku. Saking menganganya, iler mereka berjatuhan. (Ampun dah malu-maluin.) “Oi, iler netes!” ujarku sambil mencoba untuk membangunkan lamunan keduanya yang seperti terhipnotis dengan ketampanan cowok di depanku. “Sumpah, pangeran baru aja mendarat di bumi,” gumam Ida masih nggak sadar. “Haduh, ini nih yang namanya cogan penggoda iman. Meski kau iblis, aku ikut deh, Bang,” kat Cicil ikutan sedeng. Aku menepuk jidatku. Malu banget dengan kelakuan dua cewek di sampingku. “Oi, Dam. Ngapain kau di sini?” Fafi mulai komentar. Nadanya agak kesel. “Santai, Fafi. Aku ke sini bukan buat berantem sama kamu,” jawab Adam kalem. “Ina. apa kabar?” tanya Adam sambil senyum. “Haduh, nggak kuat, Bang.” Ida nyeletuk lagi. Aku mulai menggoyang-goyangkan bahu temanku itu untuk menyadarkannya. “Hil, bangun! Oi!” “Oh? Apa?” tanyanya, masih ngeliatain Adam, tetapi udah agak sadar. “Hai, aku Adam. Temannya Ina,” ujar Adam sambil mengulurkan tangan. Ida hendak menerima uluran tangan Adam, akan tetapi Cicil mencuri start, nggak mau kalah. “Aku Cicil, teman Ina juga,” ujarnya seraya menjabat tangan Adam. “Anjir, aku duluan. Lepas!” Ida nggak terima. Cewek itu memukul keras tangan Cicil hingga jabatan tangan Cicil lepas. “Halo, aku Ida, hai, ganteng,” ujar Ida sambil meraih tangan Adam. “Oh iya, hai,” kata Adam sambil senyum. Ida membeku, sepertinya udah jatuh cinta pada pandangan pertama pada Adam. “Oi, jangan lama-lama!” Cicil protes. Ida melepas jabatan tangannya dengan Adam. Kedua cewek itu hanya senyum-senyum sambil ngeliatin wajah gantengnya Adam. “Na, kamu nggak jalan sama Alfa?” tanya Adam. Aku menggeleng. “Mau jalan sama aku aja nggak?” tanya Adam. Ida dan Cicil langsung menoleh kepadaku, mereka berdua kompak memelototiku. Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan, menolak tawaran Adam. Kedua temanku yang melihatku menggeleng langsung mengangkat tangan, bersyukur pada yang Maha Kuasa. “Takut dimarahin Alfa ya? Padahal aku pengen banget jalan sama kamu, lho,” kata Adam dengan agak kecewa. Aku hanya senyum-ngerasa agak bersalah udah ngecewain dia. “Kalau Ina nggak mau, aku siap gantiin kok, Adam,” celetuk Cicil. “Jangan sama dia. Sama aku aja.” Ida nggak mau kalah. “Apa sih! Sama aku!” Cicil ngebalas, nggak terima. “Sama aku!” “Aku!” “Aku!!” “Aku balik aja ya, Na. Bye,” ujar Adam sembari melambaikan tangan. Cowok ganteng itu berlalu. Ida dan Cicil yang masih asyik berantem nggak sadar Adam minggat. Aku dan Fafi pun hanya meninggalkan mereka berdua, pura-pura nggak kenal. “Na, kapan komunikasi sama Adam lagi?” tanya Fafi ketika kami udah duduk di bangku deket pantai. “Beberapa hari yang lalu. Dia tahu nomerku dari teman SMP kita dulu kaatanya,” jawabku menjelaskan. “Oh gitu, dia nggak bilang yang aneh-aneh kan? Kamu tahu kan, dia naksir kamu sejak SD,” ujar Fafi sambil memandang ke arah pantai. Nada suaranya khawatir, tetapi seperti nggak mau membuatku gelisah. “Dia nggak aneh-aneh, kok, Fi, tenang aja. Kalaupun naksir, dia seharusnya tahu, aku sudah sama Alfa sekarang. Lagian dari dulu, aku cuma menganggap dia teman aja, nggak lebih.” Fafi menghela napas panjang. “Adam jadi rebutan tuh barusan! Ganteng parah berarti dia ya. Kau nggak nyesel?” tanyanya. “Nyesel kenapa?” tanyaku bingung. “Kalau kau pacaran dengan Adam mungkin kau akan lebih bahagia, Na,” jawab Fafi tulus, entah kenapa aku ngerasa dia lebih setuju aku sama Adam. Padahal awalnya dia benci banget tuh sama Adam. Karena cowok itu memang sempat jadi stalkerku saat SMP. Ngeri, sih, tetapi sudah berlalu. (Masak iya dia berubah pikiran karena Adam ganteng? Apa kabar sama kelakukan anehnya dulu? Anjir lah. Ogah. ) “Nggaklah, aku bahagia kok sama Alfa.” “Yakin kau bahagia? Aku kok makin nggak yakin ya cowok b*****t itu bisa bahagiain kau,” ujar Fafi dengan wajah yang memendam kegelisahan dan keraguan. Aku menepuk-nepuk pelan bahu sahabatku itu. “Don’t worry. I’m happy,” jawabku mencoba meyakinkan. “Aku harap begitu,” ujar Fafi penuh harap. Kami memandang ke arah pantai dengan pemikiran masing-masing. Ditemani angin pantai yang segar, kami menikmati pemandangan pantai yang memanjakan mata. Aku dan Adam ya? Hm, aku nggak pernah membayangkan soal itu sebelumnya. Akan tetapi, entah karena pengaruh Fafi atau bukan, aku jadi sedikit memikirkannya sekarang. Alfa, kau akan membahagiakanku selamanya bukan? Aku sungguh mencintaimu. Aku nggak bisa membayangkan jika aku harus dengan cowok lain selain kau. Meski kamu b*****t, aku tetap sayang banget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD