Hari ini sekolah libur karena kelas XII sedang try out. Awalnya aku berniat pergi liburan dengan Fafi. Akan tetapi, Alfa, pacarku, mengajakku liburan. Cowok ganteng itu mengajakku pergi ke sebuah tempat wisata air yang lumayan besar dan terkenal di kotaku. Lokasi tempat wisata itu cukup jauh dari kotaku, sekitar 2-3 jam perjalanan jika naik sepeda motor. Jadi, Alfa subuh-subuh udah jemput aku di rumah.
Setelah membangunkan ayah yang susah amat dibangunin, minta izin plus minta uang saku juga, aku pun keluar menemui Alfa yang udah menungguku.
Ayahku sudah tahu kalau aku berpacaran dengan Alfa. Sebab, sebagai ayah dan anak, nggak ada rahasia di antara kami. Ayah nggak ngelarang, hanya berpesan untuk bisa menjaga diri dan tidak macam-macam. Sebagai anak yang baik, tentu aku menuruti apa yang ayahku katakana. Lagipula, kalau pacarnya kayak Alfa, mustahil ada hal buruk terjadi pada kami. Dia itu bisa dibilang, b*****t dalam hal kelakuan, bukan perempuan.
Aku setengah berlari menghampiri Alfa yang udah duduk ganteng di sepeda motornya. Hari ini pacar gantengku itu memakai baju yang casual dengan tambahan jaket tebal, kaos kaki, sarung tangan dan sepatu sneaker.
“Sorry, lama nunggu ya? Masih bangunin Ayah yang molor kayak kebo,” ujarku ketika udah ada di depannya.
Alfa hanya mengangguk lalu memandangku dari atas sampai bawah.
“Cantik, deh,” pujinya membuatku langsung tersipu malu.
“Yakin nih mau ke wisata air? Aku nggak bisa renang lho,” tanyaku ragu.
“Entar aku ajarin. Aku pegangin deh,” jawabnya mencoba meyakinkanku.
“Ina, bawa baju renang, kan?” tanyanya.
“Nggak punya aku. Tapi, aku bawa celana pendek dan tank top, sih. Boleh nggak?”
Alfa hanya diam, sedang berpikir sejenak.
“Boleh kayaknya, nggak ada larangan sih. Bekal bawa juga, kan?” tanyanya lagi.
“Bawa, kok. Ada di dalam tas ransel,” jawabku sambil menunjuk tas ransel yang ada di punggungku.
“Emang boleh bawa makanan masuk ke dalam?” tanyaku heran.
Alfa menggeleng.
“Bekalnya kita makan di jalan, takut laper aku. Kalau di tempat wisatanya beli aja,” jawabnya sambil senyum. Kalau lagi baik, Alfa memang ganteng banget.
Aku manggut-manggut. Perjalanan kami emang jauh. Jadi wajar aja kalau Alfa memintaku untuk bawa bekal makanan. Bagaimanapun susah mencari makanan di perjalanan. Kadang mahal, rasanya tidak sesuai selera dan lain sebagainya.
“Bawa sarung tangan juga kan? Jangan lupa baju gantinya,” katanya kembali mengingatkan.
“Udah semua, kok. Kamu sendiri gimana? Sudah lengkap semua barang-barang yang mau dibawa?” kataku bertanya balik.
“Udah, kok. Celana pendek buat renang, handuk, sampo, sisir dan perfum juga udah siap,” jawabnya.
“Hah? Parfum?” tanyaku bingung.
“Iya, biar wangi,” jawab Alfa sambil nyengir.
Aku hanya geleng-geleng kepala.
“Ya dah,” sahutku singkat, malas ngelanjutin obrolan yang nggak penting dengan Alfa.
“Udah pakai kaos kaki kan? Dingin lho,” katanya perhatian.
“Udah, kok. Kaos kaki udah pakai. Jaket tebal juga ada. Handphone juga udah aku charger full plus bawa powerbank,” ujarku dengan mantap.
Alfa senyum.
“Bagus-bagus,” ujarnya sambil mengangkat dua jempolnya.
“Yaudah, ayo berangkat,” ajaknya sambil memberikan helm padaku.
Aku pun memakai helm lalu naik ke sepeda motornya. Kami pun mulai berangkat menuju tujuan.
(Wisata air I’m coming!)
Setelah menempuh setengah perjalanan, Alfa menepi, membuka helm-nya dan menunjuk ke pundaknya.
“Pegel. Pijetin, dong,” pintanya.
Aku pun mengangguk lalu mulai memijat-mijat pundak Alfa dengan kekuatan sedang.
“Na, pijetnya pakai tenaga, dong. Nggak terasa,” keluhnya.
Aku pun mencoba menggunakan tenagaku sekuat yang aku bisa.
“Nah, gitu. Enak. Bayangin aja kau lagi ngeliat aku bareng cewek lain terus ngehajar aku,” katanya santai.
Aku pun mulai menumpahkan kekesalanku dengan memijat kuat pundaknya.
Tak lama kemudian dia memegang tanganku.
“Udah, Na. Ntar kalau aku nunjuk pundak, itu artinya pinjet lagi ya,” katanya.
Aku hanya mengangguk. Alfa kembali memakai helmnya lalu kami pun mulai melanjutkan perjalanan.
Kami hampir tiba di wisata airnya. Karena masih pukul 8 pagi, Alfa mengarahkan sepeda motornya ke sebuah warung pinggir jalan yang lagi tutup. Dia memberi isyarat padaku agar turun. Aku pun turun dari sepeda motornya. Setelah memarkirkan motor, kami duduk di bangku kosong yang ada di warung itu. Aku duduk di sampingnya.
“Makan dulu ya, masih buka jam sembilan kok wisata airnya,” usulnya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Aku menurunkan tas ransel dari punggung lalu mengambil kotak bekal. Aku memberikan sekotak bekal ke Alfa, tak lupa sendoknya yang udah aku bawa dari rumah. Hari ini aku membuatkannya nasi pecel dengan daging empal. Sambal kacangnya aku pisahkan dengan memasukkannya ke plastik kecil sehingga tidak membasahi nasinya. Soalnya bisa cepat basi jika sambal kacangnya menyatu dengan nasinya. Sejak ibuku meninggal, aku memang sengaja belajar memasak.
Alfa sepertinya udah kelaparan, sehingga langsung makan dengan lahap setelah menuangkan sambal kacang ke atas nasi pecelnya. Dia langsung menikmati setiap gigitan yang dia buat di gading empal buatanku. Untung aja aku menawarkan buatin dia bekal, kalau tidak, mungkin dia akan minta masak sendiri. Aku udah trauma makan makanannya. Bukannya kenyang entar kami malah keracunan.
Setelah makan, minum juga serta istirahat, kami pun mulai menuju tempat wisata air yang kami tuju. Alfa memarkirkan motornya lalu menggandeng tanganku untuk menuju ke loket. Dia membeli dua tiket masuk, kami pun masuk ke dalam. Alfa mengantarku ke tempat ganti cewek lalu pergi ke ruang ganti cowok setelah memberikan petunjuk agar aku menunggu di depan tempat penitipan barang.
Setelah selesai berganti baju, aku pun menemui Alfa yang sudah menunggu. Dia meminta tas ranselku dan menitipkannya ke tempat penitipan barang. Setelah itu, cowok ganteng itu menggandeng tanganku untuk mendekat ke kolam renang.
Hawa dingin mulai menyerang kulitku ketika tiba di kolam renang.
“Ini untuk dewasa, yang itu untuk anak-anak. Gimana, mau ikutan balita renang di sana?” tanya Alfa setengah menyindir.
Aku hanya tersenyum kecut menanggapi sindirannya.
“Tunggu sini ya. Aku mau pemanasan dulu,” katanya lalu berjalan agak menjauh dariku.
Aku berjalan pelan ke kolam renang untuk dewasa. Aku duduk di pinggir kolam dan mencemplungkan kedua kakiku ke dalamnya.
(Sumpah, dingin, tapi enak banget.)
Suasana di tempat wisata lumayan ramai dengan pengunjung. Nggak hanya pengunjung remaja, pengunjung dewasa dan satu keluarga juga ada.
Seorang anak kecil yang kira-kira masih berusia 5-6 tahun mendekati kolam untuk dewasa. Bocah itu celingak-celinguk sepertinya memindai kedalaman kolam. Aku pun yang khawatir takut dia tenggelam sehingga memberinya peringatan.
“Dek, jangan dekat-dekat. Kolamnya dalam nanti kau…”
Byuurr.
Bocah itu nyemplung ke dalam kolam. Sedetik kemudian dia udah mulai bergerak kayak kecebong. Dia bergerak ke sana kemari. Aku yang melihatnya begitu, hanya bisa mengusap d**a.
(Anjir, dia bisa renang.)
Alfa datang.
“Ina, kenapa?” tanyanya heran melihat wajahku yang bete.
“Tuh bocah aku peringatkan biar nggak dekat-dekat kolam dewasa, takut tenggelam eh ternyata dia bisa renang, malu banget, kan?” ujarku mengadu.
Alfa hanya nyengir.
“Coni ya?” ujarnya lalu ngakak.
Aku yang dicibirnya hanya manyun. Salah ngadu aku.
“Udah jangan ngambek, main selunjuran yuk!” ajak Alfa sambil menunjuk selunjuran di kolam renang yang gedenya masyaallah.
Aku mengernyitkan kening.
“Serius?” tanyaku ragu.
Alfa mengelus lembut kepalaku.
“Aku jagain,” jawabnya menyakinkan.
Akhirnya aku pun mengiyakan ajakannya. Kami pun mulai menaiki tangga untuk bisa naik seluncuran super besar itu. Aku naik lebih dulu, sesekali aku menoleh ke belakang memastikan Alfa berada di belakangku. Akhirnya setelah menaiki anak tangga yang lumayan banyak itu, aku pun tiba di puncak.
“Fa, serius nih?” tanyaku sekali lagi ketika kami udah tiba di puncak.
Alfa mengangguk.
Aku pun mulai diminta berbaring oleh petugas yang menjaga seluncuran itu. Aku menelan ludah dan memberanikan diriku. Aku berbaring, tetapi ketika menoleh ke belakang, Alfa udah zonk.
“Siap ya mbak. 1, 2…, ” petugas itu mulai berhitung.
“Hah? Mas, wait pacarku hi…”
“AAAAAAAAAAA….!!!!”
Aku mulai menjerit-jerit ketika tubuhku didorong dan meluncur turun. Kecepatannya makin lama makin cepat membuatku yakin aku akan kehilangan nyawa. Gesekan antara seluncuran yang licin dan badanku makin membuatku ngerasa akan mental dari jalur. Mulutku komat-kamit membaca semua surat pendek yang aku tahu. Akhirnya penderitaan itu pun mencapai puncak ketika aku merasakan tubuhku mendarat di air kolam, membentuk suatu hantaman kuat yang menimbulkan suara keras.
Byurrrr.
Kakiku menyentuh dasar kolam, tetapi sedetik kemudian seperti tertarik naik. Aku pun mencoba sekuat tenaga agar kakiku tetap menyentuh lantai. Ketinggian kolam yang setinggi telingaku membuatku kesulitan mengontrol tubuhku. Aku mulai panik ketika kepalaku makin nyemplung ke dalam air. Entah kenapa badanku mulai sedeng. Kakiku mulai naik ke permukaan berbanding terbalik dengan kepalaku yang tertarik ke bawah. Sepertinya gaya gravitasi bagian kepalaku lebih besar dibandingkan tubuh bagian bawahku jika di air. Alhasil, aku pengap-pengap kayak ikan yang terdampar di daratan gersang. I feel I’m gonna die.
Samar-samar aku mendengar suara air lalu sebuah tangan datang dan menarik pinggangku ke atas ketika kepalaku nyaris tenggelam seutuhnya.
“Huft. Huk-huk.”
Aku kembali bernapas ketika tubuhku terangkat. Aku melihat wajah yang udah nggak asing di depanku.
“Iyakan? Aku datang menyelamatkanmu,” ujar Alfa dengan senyum tanpa dosa.
Aku nggak menjawab. Hanya berusaha mengumpulkan sisa-sisa kehidupanku yang nyaris sirna. Napasku terengah-engah, selama 17 tahun hidupku, baru kali ini merasa akan mati beneran.
Alfa memegang pinggangku dan membawaku ke pinggir kolam. Dengan lemah aku naik dan duduk di pinggir kolam. Aku pandangi Alfa yang berdiri di sampingku. Cowok b*****t itu senyum-senyum sambil melihatku pucat pasi karena nyaris semaput (K.O. aka the end).
“Tadi kau ke mana?” tanyaku setelah aku merasa hidup lagi.
Alfa nyengir.
“Tadi pas di atas aku lihat tinggi banget. Aku turun lagi, deh,” jawabnya santai, nggak ada rasa berdosa sedikit pun.
Aku hanya menghela napas. Kekesalanku memuncak mendengar jawabannya.
“Kamu keren, Na,” puji Alfa.
Aku mengepalkan tangan sembari bangkit dari dudukku. Dengan satu kaki aku tendang Alfa yang berdiri di depanku. Dalam satu tendangan dia langsung mendarat di air. Aku yang melihat wajah shock-nya setelah sempat nyium air hanya mencibirnya kesal.
“Ina!! Kejam amat,” protesnya.
Aku hanya manyun menanggapi protesannya.
“Rasain,” dengusku kesal lalu berlalu menuju ke ruang ganti.
Sumpah, cukup sekali aja aku liburan ke wisata air bareng Alfa. Bukannya have fun, aku malah nyaris is dead. Sumpah, kesel parah. b*****t banget emang dia.