BAB 9

1376 Words
Hari Jumat yang menyebalkan. Pagi-pagi aku udah harus lari jongkok keliling lapangan karena kena setrap oleh Pak Taufiq. Aku datang terlambat ke sekolah dan ketahuan mau lompat pagar sekolah, akhirnya kena hukuman. Ini karena aku bangun kesiangan. Soalnya semalaman aku nggak bisa tidur karena selalu kebayang kejadian kemarin yang membuatku jadi stress level tujuh. Aku bahkan udah mendekati gila karena selalu memutar kembali “adegan yang sama” sambil cengar-cengir. Si Ayah sempat curiga. untungnya ayah nggak terlalu kepo. Ayah mengira aku habis dikasih kejutan oleh Alfa makanya jadi happy gila. (Emang dikasih kejutan. Kejutan yang bikin jantung dan otak jadi abnormal banget.) Setelah melaksanakan hukuman, lari jongkok keliling lapangan, aku pun masuk ke dalam kelas. Alhamdulillahnya, kelasku lagi jamkos karena guru mapelku nggak masuk. Aku pun memutuskan untuk pergi ke kantin untuk beli minuman. Tenggorokanku udah kering dan sedikit sakit karena dehidrasi. Si Fafi yang merupakan wakil ketua kelas, ikut-ikutan pergi ke kantin. Sahabatku itu membeli makanan dan minuman seabrek untuk bekal di kelas. Sungguh wakil ketua kelas yang nggak patut ditiru. (Eh, emang udah biasa, sih. Ketua kelasku si Ridwan aja ngilang nggak tahu ke mana.) Selesai membeli yang diinginkan, aku dan Fafi pun buru-buru kembali ke kelas takut ketahuan oleh guru piket terutama Pak Taufiq yang suka banget berpatroli. Sepertinya beliau nggak ada kerjaan lain selain mengajar olahraga dan ngehukum murid. Aku dan Fafi kali ini hanya membeli minuman dan snack. Karena hari ini adalah hari Jumat nggak ada istirahatan, penjual makanan berat, seperti bakso, siomay, batagor, mi ayam, dan lain-lain tutup. Aku dan Fafi udah duduk di kelas. Aku pun langsung membuka minuman yang aku beli dan meneguknya habis. “Aaah,” ujarku sambil tersenyum lebar. Tenggorokanku terasa segar kembali. “Heleh, Na, kok minum gitu sih. Awas kelihatan Alfa, dia jadi ilfeel lho,” cibir Fafi setengah memperingatkan. Aku hanya diam, cuek bebek. Fafi cuma geleng-geleng kepala menanggapi kecuekanku. Sahabatku itu membuka permen lollipop dan mulai m******t-jilatnya. Cewek kurus itu bahkan mengulum permen itu keluar-masuk mulutnya sehingga membuatku jadi salvok ke bibir tebalnya. Entah kenapa jadi keinget peristiwa kemarin. Aku mukul pelan lollipop Fafi hingga permen itu terbang rendah dan berakhir di lantai. “Waduh, Na, hati-hati, jatuh tuh permenku!” Fafi kesal. “Biarin. Suruh siapa kau monyong-monyongin bibir. Melet-melet lagi,” sanggahku membuatnya makin kesal. “Astaga, kau kenapa, sih? Makan permen lollipop ya emang gitu, Na. Nggak mungkin aku gigitin trus aku telen,” bantahnya protes. Aku hanya nyengir. “Bodo amat. Dilarang makan permen lollipop,” ujarku tegas. Fafi manyun. Sahabatku itu tidak mencoba untuk melawanku lagi. Sepertinya dia udah malas berdebat denganku. Dia kemudian beralih ke snack berikutnya. Sebuah snack berupa kentang goreng dengan saos tomat di dalamnya. Fafi mulai membuka saos tomat yang memang sudah disediakan di dalam snack itu. Dia mengambil sepotong kentang goreng, mencelupkannya ke dalam saos lalu mulai memasukkannya ke mulutnya. Dia mengusap bibirnya yang terkena saos membuatku lagi-lagi keinget soal kejadian kemarin. Aku mengambil snack Fafi yang ada di mejanya, mengambil isinya segenggam kentang goreng penuh lalu memasukkannya ke mulutku sekaligus. Aku mengunyah mereka semua sekaligus dengan brutal. Fafi menganga melihatku tingkah lakuku. Dia bengong dengan memegang saos snack di tangannya. Tenggorokanku terasa padat merayap, aku melirik air mineral Fafi. Dengan cepat-tanpa basa-basi dan permisi, aku mengambil air mineralnya lalu meminumnya untuk membantuku menelan kentang goreng yang masih dalam bentuk kunyahan kasar di mulutku. Aku menarik napas lega ketika kentang goreng itu terdorong dan amblas di perutku. “Na, itu snack aku. Kalau mau minta, ambil satu-satu dong. Jangan semuanya gitu,” katanya protes. Sahabatku itu mulai mengeluarkan tanduk dan taring, kesal kuadrat. “Udah, nggak usah makan snack yang ada saosnya. Buang tuh saos!” ujarku sembari mengambil saos di tangan Fafi lalu melemparkannya ke jendela yang terbuka yang ada di sampingku. Fafi menghela napas, mencoba meredakan kekesalannya. “Kau kok jadi nyebelin gini, sih? Kau diapain Alfa kok bisa kayak gini?” tanyanya kesal. Aku membuang muka, pura-pura budeg. “Kalau kau lagi kesel ke Alfa, jangan dilampiaskan ke aku, dong!” Fafi ngomel. “Mau aku cariin orangnya? Lagian ke mana dia, kok, ngilang kayak curut,” gerutunya BT. Aku tertegun mendengar pernyataan Fafi. (Aku bukannya marah ke dia, Fi. Aku malah nggak tahu harus gimana kalau ketemu dia. Kejadian kemarin membuatku jadi aneh. Sepertinya aku benar-benar akan jadi gila. Andai aja aku bisa cerita, tetapi aku malu.) Beruntung, Alfa dispen sejak tadi. Pacarku yang sok sibuk itu nggak tahu pergi ke mana. “Oh ya, Na. Kemarin aku kencan dengan Sauki,” cerita Fafi mencoba mengubah topik agar kami nggak berantem. Aku menoleh ke arahnya, mencoba untuk menenangkan diriku dengan mulai memfokuskan otakku ke ceritanya. “Kau tahu, kemarin dia nyium aku!!” ujar Fafi heboh. Wajahnya berbinar-binar sehingga membuatku begitu silau dengan kebahagiaan yang dipancarkan. “Hah? Nyium apa maksudnya?” tanyaku lagi, memastikan pikiranku di jalan yang lurus. Fafi cengar-cengir. Sahabatku itu menunjuk ke bibir tebalnya yang entah sejak kapan jadi dia pasangin pelembab bibir. Pantes aja bibirnya jadi lebih cerah. “Hah?! Are you serious?” tanyaku kaget, nggak percaya sama sekali. Dia mengangguk. “Kenapa emangnya? Kecepatan?” katanya balik nanya. Aku hanya menggaruk kepalaku. “Kau nggak malu cerita itu ke aku?” tanyaku ragu-ragu. Fafi menggeleng. “Kau ‘kan sahabatku. Lagian aku jadian dengan Sauki itu juga berkatm,” jawabnya santai. “Lagipula dengan aku cerita ke kau, aku juga mau pamer kalau kami saling mencintai.” Fafi menimpali ucapannya. Aku hanya menganguk-nganggukkan kepalaku. “Kalau kau? Kapan chup-chup dengan Alfa?” Aku langsung terbatuk mendengar pertanyaan Fafi. Aku yakin wajahku sudah memerah kayak tomat baru matang di pohonnya. “Kalau udah, cerita ya. Curang, dong kalau hanya aku yang cerita,” ujar Fafi lagi. Aku hanya senyum kaku, nggak tega bilangnya kalau udah. Lagian kemarin singkat banget. Aku anggap aja belum biar nggak makin stres diriku. (Sorry ya, Fi. Ntar aku ceritain kalau udah siap jiwa dan raga.) *** Bel pulang sekolah berdering dengan indahnya. Aku keluar kelas, berniat menyusul Fafi yang udah ngacir duluan. Aku berniat mengajaknya pulang bareng karena hari ini aku nggak bawa sepeda. Tadi pagi aku naik angkot ke sekolah. Aku mempercepat lariku untuk mengejar Fafi yang larinya lebih cepat dari curut. Di depan gerbang aku berhasil menangkap kerah bajunya, tetapi aku langsung melepaskannya. Aku hanya berdiri mematung ketika aku melihat Alfa di depanku. Rupanya dia lagi bareng Alfa. “Fa, daritadi si Ina nyariin kamu, tuh” ujar Fafi ngarang. Alfa senyum lalu menoleh ke arahku, “Kangen ya?” godanya. Najis, dah. Ngapain aku kangen dia?  “Iya, aku juga kangen,” sahutnya ngawur, kemakan bualan Fafi. “Aku nggak kangen. Satu sekolah dan kelas, ngapain kangen, sih?” bantahku tegas. Alfa nyengir, “Kan pacar, masak nggak kangen seharian nggak ketemu?” “Nggak,” sahutku cepat membuat Fafi tertawa ngakak. “Dari tadi, si Ina aneh, Fa. Kamu apain dia kemarin? Sumpah, dia itu nyebelin tingkat akut hari ini,” adu Fafi. Aku hanya diam, Alfa menatapku sembari tersenyum miring, “Kurang ya?” Bangsat memang. Pertanyaan macam apa itu, a***y? Fafi menautkan alis, “Kurang apanya?” tanyanya kepo. “Kurang b*****t,” sahutku asal membuat Fafi bergidik ngeri. “Serem, Na,” katanya. Aku tidak menyahut, malu. Sejujurnya, aku nggak tahu harus gimana, rasanya pengen kabur aja. Alfa juga hanya diam membuat Fafi keki karena suasana yang mendadak canggung.  “Haduh, kalian ini. Tauk ah, kau antar pulang Ina, Fa. Dia nggak bawa sepeda,” ujar Fafo lalu pergi meninggalkanku dan Alfa yang masih saling diam dengan aura canggung. “Pacar, semalam aku nggak bisa tidur,” ujarnya dengan wajah merona. Entah kenapa, bangsatnya ilang, salah tingkah pun datang. Aku mengangguk pelan. “Aku juga nggak bisa tidur,” aku-ku lirih. Entah kenapa bibirku membentuk senyuman tanpa diminta. Hatiku berdebar-debar. “Pulang bareng, yuk! Aku bawa sepeda motor,” ajaknya masih dengan wajah merona. Bibirnya juga menyunggingkan senyum membuatku makin nggak bisa mengontrol diriku. Aku mengangguk masih dengan senyum-senyum. (Tuhan, I can’t control myself again.) Kami pun menuju parkiran. Aku menunggu Alfa di pintu gerbang sementara dia mengambil sepeda motor maticnya. Tak lama kemudian dia datang, aku pun naik ke sepeda motornya setelah memakai helm yang diberikan. Dengan tangan yang sudah membeku saking dinginnya, aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Sepeda motor pun mulai melaju pelan meninggalkan sekolah. Setelah perjalanan yang singkat, entah kenapa kali ini berasa bentar banget, aku udah sampai di rumah. Aku turun dari sepeda motornya dan berlari ke rumah. “Oi, Na!” panggil Alfa setengah berteriak. Aku menghentikan lariku dan berbalik menghampirinya kembali. “Ada apa?” tanyaku malu-malu. Alfa senyum. “Helmnya balikin,” jawabnya sambil menunjuk helm di kepalaku. Aku hanya nyengir, malu banget sumpah. Aku melepas helm di kepalaku dan memberikannya ke Alfa. “Makasih,” ujarku. Dia mengangguk. Pacarku itu sedang berusaha menahan tawa agar tidak membuatku makin coni. “Aku pulang, Na,” pamitnya lalu go home. Aku melambaikan tangan pada Alfa lalu masuk ke rumahku dengan wajah merah. Oh my god, malu-maluin banget sumpah. Kok aku jadi oon gini sih? Apa semua couple kayak gini ya setelah first kiss mereka? Ah, entahlah. Aku harap bisa fokus lagi, karena beberapa hari lagi aku ada pertandingan taekwondo. Bagaimanapun aku harus menang. Semangat, Ina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD