BAB 10

1242 Words
Hari ini sekolah pulang lebih cepat. Kesempatan ini dimanfaatkan kak Bian untuk mengadakan latihan taekwondo. Aku dan semua angggota tim taekwondo yang lain pun menyambut senang keputusan Kak Bian untuk mengadakan latihan langsung. Sejujurnya, kejuaraan udah makin dekat sehingga harus giat latihan untuk mempersiapkan diri. Cicil dan Ida yang merupakan sainganku di taekwondo juga udah “rajin banget” mengingatkanku dengan mengirim sindiran-sindiran di w******p. Mereka bahkan mengirimiku foto-foto saat mereka latihan. Yang lebih horor, mereka berdua kompak mengatakan akan mengalahkanku dengan memperolah kemenangan by knock out alias meng-K.O diriku. Meski aku tidak terlalu menganggap ancaman itu, hal yang membuatku makin shock adalah mereka minta nomor dan semua sosmednya Adam jika berhasil mengalahkanku. Aku bukannya nggak mau ngasih, kasihan Adam aja jika harus berurusan dengan dua orang cewek keras kepala dan suka keras kepala kayak Cicil dan Ida. Setelah dua jam, latihan taekwondo berakhir. Aku dan Fafi keluar aula. Awalnya aku berniat untuk pulang dengannya. Soalnya hari ini aku nggak bawa sepeda. Akan tetapi sahabatku yang lagi dimabuk asmara sejak dua tahun lalu itu langsung berlari dan berakhir di pelukan Sauki yang sudah menunggu kedatangan pacar tercintanya, Fafi. Mereka berdua udah kayak lagi melakukan adegan sinetron. Alay banget sumpah. Aku pun mengurungkan niatku untuk nebeng ke dia. Nggak tega ganggu hot couple yang sudah lama jadian, tetapi kasmaran melulu. Panutan pokoknya. “Fi, aku duluan ya,” pamitku sambil melambaikan tangan. Ffai hanya menoleh bentar lalu fokus lagi ke pacarnya. (Hm, entah kenapa aku jadi berharapdia jones selamanya. Dia jadi cuekin aku mulu sejak jadian sama Sauki.) Aku berjalan melewati dua orang yang masih “asyik” pelukan. Aku berjalan menuju pintu gerbang sekolah dan berniat untuk mencegat angkot. Aku menghentikan langkahku ketika aku melihat seornag cewek cantik lagi nangkring di sepeda motor matic di dekat gerbang sekolahku. Aku mendekatinya dan cewek itu langsung happy ketika melihatku. “Yo,” sapanya. Cewek ini namanya Rini, adiknya Alfa. dia memang sudah tahu kalau aku jadian sama kakaknya. Cuma, dia ini menyebalkannya nggak kalah sama kakaknya. Mereka itu benar-benar bersaudara kandung, sampai kelakuan nggak jauh beda. Rini ini suka memerintah, mungkin di kehidupan sebelumnya, kalau memang ada, dia itu Ratu atau keturunannya. Aku hanya tersenyum untuk membalas sapaannya. “Mau jemput Alfa? Bukannya dia pulang duluan, nggak nemenin aku latihan. Belum pulang emang?” tanyaku heran, bingung melihat si ratu berada di sekolahku. Rini menggelengkan kepala. “Aku mau ketemu kamu, kok,” bantahnya. Aku mengernyitkan kening. “Ketemu aku? Ngapain?” tanyaku lagi. “Aku butuh bantuanmu,” jawabnya sambil nyengir. Aku terdiam, entah kenapa perasaanku jadi nggak enak melihatnya nyengir. “Udah, jangan bawel. Naik!” ujarnya sambil menunjuk ke belakang sepeda motornya. Aku mengangguk pelan lalu naik ke sepeda motornya. Sepeda motor pun melaju. Rini terus melaju kemudian berhenti di sebuah pasar tradisional. Dia memarkirkan sepeda motornya. Aku pun turun dari sepeda motor. “Lah? Ngapain ke pasar?” tanyaku makin bingung. Rini tidak menyahut, hanya mengeluarkan secarik kertas dan sejumlah uang dari saku bajunya. Setelah itu dia memberikan kertas dan uang itu padaku. Meski ragu-ragu, aku menerima kertas dan uang yang disodorkan. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Daftar belanjaan dan uang belanjaanya,” jawabnya santai. “Hah? Maksudnya apa?” tanyaku lagi, masih belum paham. “Ibuk nyuruh kak Alfa belanja, tapi malas, dia nyuruh aku buat nyamperin kau. Kak Alfa bilang kalau kau nggak mungkin nolak,” jawabnya menjelaskan. Aku menghela napas, entah kenapa jadi kesal. “Kok, bukan dia yang datang sendiri? Malah nyuruh kau?” tanyaku penasaran. “Oh, Kak Alfa lagi sibuk belajar. Jadi aku yang disuruh,” jelasnya. “Kok, kamu mau dia suruh-suruh?” tanyaku lagi, entah kenapa aku jadi bawel. “Soalnya dia ngasih aku buku matematikanya gratis. Karena udah dikasih, aku bisa menghemat uang sakuku bulan ini. Aku bisa beli baju baru. Nggak usah beli buku,” jawab Rini sambil senyum happy banget. “Kalian harus beli buku tiap bulan ya?” Dia mengangguk. Aku jadi bersyukur nggak satu keluarga dengan Alfa. Kalau tiap bulan aku harus beli buku, bisa-bisa aku puasa tiap jam istirahat. “Kok bengong sih? Sana belanja!” Rini menyadarkanku dari lamunan. “Eh? Kau nggak ikut?” tanyaku agak kaget. Dia menggeleng. “Malas. Lagian tugas dari kak Alda hanya mengantar-jemputmu. Bukan nemenin belanja,” tolaknya tegas. “Aku ada di sana, tuh. Kalau udah selesai ke sana aja. Oke?” ujar Rini lagi sambil menunjuk warung penjual es kacang hijau. Aku menghela napas sekali lagi. (Kumat lagi deh aku jadi babunya. Nasib oh nasib, malangnya dirimu, Na.) Mau tak mau mengiyakan saja keinginannya. Aku pun berjalan masuk ke pasar. Setelah sampai di dalam, aku membaca daftar belanjaan yang tertulis di kertas yang tadi diberikan Rini. “Daging sapi 2 kg, daging ayam, sayur bayam, wortel, kubis, kacang panjang, buah apel 1 kg, gula 1 kg, tomat ½ kg, kentang 1 kg…” Aku menganga. Nggak sanggup membaca daftar belanjaan yang panjangnya masyaallah banget itu. (Busyet banyak amat belanjaannya. Ini mau ngadain hajatan apa mgasih makan orang sekampung?) Aku hanya membaca basmalah dan langsung capcus untuk membeli semua yang tertera di daftar belanjaan itu. Setelah berkeliling pasar selama 45 menit, aku pun keluar dengan membawa tiga kantong belanjaan, aku menemui Rini yang lagi PW (Posisi Wuenak). Cewek itu lagi asyik makan es kacang hijau dengan potongan roti di atasnya. Wajahnya cerah dan masih cantik, sedangkan aku udah kayak emak-emak dasteran yang nggak sempat dandan karena stress menanggung beban rumah tangga yang berat. Kucel parah. “Rin!” Panggilku. Rini menoleh lalu cewek cantik itu berdiri. Dia membayar es kacang hijaunya lalu menghampiriku. “Udah?” tanyanya. Aku mengangguk dan menyodorkan satu kantong plastik padanya. “Berat nih!” ujarku mengode, meminta bantuan. Rini hanya menatap sebentar ke tanganku yang menyodorkan kantong belanjaan padanya. “Yaudah pulang, yuk!” ajaknya lalu berbalik badan. Aku menghela napas. Aku pun berjalan mengikuti Rini dengan tetap membawa tiga kantong belanjaan Aku naik ke sepeda motor maticnya, dengan tangan yang mulai pegal karena memegang kantong belanjaan sejak tadi. Setelah dua puluh menit perjalanan, kami tiba di rumah Rini. Dia memarkirkan sepeda motornya, aku turun dan menghela napas sekali lagi ketika adik Alfa itu langsung masuk ke rumahnya. (Dia itu keturunan raja Fir’aun? Nggak lihat kalau aku adalah kaum duafa yang butuh bantuan? Tuhan, lapangkanlah dadaku yang nyesek ini.) Aku masuk ke dalam rumah Alfa dan menggelengkan kepalaku ketika melihat Alfa ternyata lagi tiduran di ruang tamu. Aku menggoyang-goyangkan kantong belanjaan yang aku bawa. Berharap dia akan jadi superhero dan menolongku. “Oh, udah datang? Dapurnya nggak pindah, kok. Lurus aja terus belok kiri,” katanya santai masih mentok di sofa, tiduran. Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan rasa kesal yang meninggi. Aku melanjutkan langkahku menuju dapur. “Kak Na.” Rini nongol ketika aku baru tiba di dapur. “Ada apa?” tanyaku. “Uang sisa belanjaannya ambil aja kata ibuk. Tapi, tolong masukin semua belanjaan ke dalam kulkas ya. Dah,” jawabnya lalu berjalan dan masuk ke kamarnya. Aku menghela napas panjang dan berat. (Uang kembalian apaan. Sisa uangnya hanya tinggal dua ribu, itu pun tadi dibuat membayar parkiran sepeda motor. Ya, habis. Aku dapet zonk alias nggak dapet apa-apa.) Dengan ogah, aku mengeluarkan belanjaan dan memasukkannya ke dalam kulkas. Setelah itu aku keluar dari dapur dan berjalan menuju ruang tamu. Ketika sampai di ruang tamu, Alfa udah ngilang. Aku sedikit kecewa dengan kenyataan itu. Aku melanjutkan langkahku, hendak membuka pintu rumah, mau go home. Pintu yang setengah dibuka tertutup lagi. Sebuah tangan melingkar dipinggangku, Alfa memelukku dari belakang dan menyandarkan kepalanya di bahuku. “Thanks ya,” kata Alfa dengan lembut. Wajahnya begitu dekat dengan telingaku sehingga aku bisa merasakan hembusan napasnya. Entah kenapa jadi salting. Kekesalanku yang menumpuk sirna seketika. “Fa, lepas! Kalau dilihat adikmu nggak enak,” ujarku agak gugup. “Biarin! Aku mau charger,” sanggahnya membuatku hanya berdiri mematung. “Ina, kau milikku,” ujarnya sambil mengecup pipiku membuatku langsung kena serangan jantung. Dikit lagi, kepalaku beneran berasap. Agak lama Alfa mengecup pipiku, kemudian melepas ciuman dan pelukannya. Dia membalikkan tubuhku sehingga kami berhadapan. “Aku antar pulang ya, cantik,” katanya sambil mencolek mesra hidungku. Aku mengangguk pelan. Ia pun menggandeng tanganku dan mengantarku pulang. Nggak apa-apa, deh aku dikerjain Rini tiap hari kalau endingnya se so sweet ini. Pacar, I love U.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD