BAB 4

1110 Words
Hari minggu yang menyebalkan. Di hari yang harusnya waktunya untuk bersantai atau menikmati kebebasan dengan tidur seharian, aku malah harus menemani Ida. Ida adalah teman akrabku dan Fafi, tetapi berbeda sekolah. Kami sudah bersahabat sejak SD. Ida berasal dari keluarga kaya. Sejak kecil, dia selalu dimanja dan semua keinginannya terwujudkan. Walau begitu, dia tidak pernah sombong. Mungkin, karena itu kami bisa menjadi sahabat seperti sekarang. Walau bersekolah di SMA yang berbeda, komunikasi di antara kami tidak terputus. Ida juga sudah memiliki teman baru bernama Nadia. Walau begitu, kami masih berteman dengan baik. Dengan Nadia pun juga. Dia orang baru di antara kami, tetapi tidak pernah ada rasa iri atau semacamnya. Pembawaannya yang dewasa membuat kami merasa nyaman satu sama lain. Kami memang sering bertemu minimal sebulan sekali, tetapi hari ini dia mengajak mendadak. Sebab, tanpa aku ketahui, dia ternyata sudah punya pacar. Ini sungguh diluar dugaan, pasalnya dia nggak pernah cerita sehingga aku nggak tahu dengan jelas gimna awalnya. Anehnya, meski udah punya pacar, Ida belum pernah ketemuan dengan pacaran. Aku pikir hanya aku saja yang gaya pacarannya aneh karena pacaran tanpa PDKT, ternyata ada yang lebih aneh lagi. Pacaran tapi nggak pernah ketemuan dan hanya chat-an di dunia maya ternyata benar-benar ada. Apakah iya kalau cinta itu bikin gila? Entahlah. Benar-benar udah zaman edan. Sebenarnya aku ogah nemenin, terlebih buat ketemuan dengan pacarnya yang nggak jelas penampakannya gimana. Di foto yang ditunjukin sih ganteng, tetapi nggak tahu aslinya gimana. Aku udah nolak mentah-mentah ajakannya dan lebih menyarankannya untuk mengajak Fafi saja. Akan tetapi dia bilang Fafi ada urusan. Aku jadi ingat kalau hari ini Alfa lomba. Semoga aja dia menang dan dapet uang. Meski dia sering kere, traktir aku karena menang lomba sekali-kali bisa dong. Ngarepnya gitu. Meski tak menjamin bisa terwujud. Sekitar jam delapan, Ida datang ke rumahku. Dengan dandanan tebal, yang cenderung menor menurutku, dia datang dengan emakai gaun yang cantik dengan rambut panjang digerai. Cewek berusia 18 tahun itu bahkan datang dengan mobil honda jazz-nya. Benar-benar cewek tajir yang suka pamer. Entah kenapa aku jadi ngarep dia ditilang. Oke, lupakan. Doa yang buruk nggak akan dikabulin kecuali doa buruk dari orang yang teraniaya. Mungkin. Setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Ida membawaku ke sebuah tempat wisata pantai yang cukup terkenal di kotaku. Setelah memarkirkan mobil, kami berjalan menuju tempat duduk yang disediakan. “Janjian di sini, Da?” tanyaku sembari duduk. Ida mengangguk pelan. Sahabatku yang suka pamer itu, pun juga duduk di kursi sambil memperbaiki rambutnya yang agak berantakan. “Pacarmu namamu siapa, sih?” tanyaku kepo. “Ed Shawn,” jawab Ida dengan nada agak songong. “Eh? Perasaan di foto yang kau kasih nggak ada muka-muka bule, deh?” tanyaku lagi, sedikit bingung dengan nama pacar Ida yang nggak singkron dengan wajahnya. “Edi Shalahuddin Wardani Nur,” katanya mempertegas. Aku ngakak, nggak tahan dengarnya. “Itu nama asli apa nama yang mengada-ngada?” tanyaku nggak percaya. “Hah? Asli kok, di kartu mahasiswanya, gitu,” jawab Ida manyun, agak ngambek. “Mahasiswa? Udah tua dong,” ujarku keceplosan. “Tua? Dia masih 21 tahun, kok. Beda 3 tahun doang,” protes Hilda. Aku hanya menghela napas. “Terserah kau, dah. Menurutku itu tetep aja tua.” Aku tetap bersikukuh dengan pendirianku. Ida tak acuh malah mulai sibuk dengan handphonenya. Sepertinya dia sedang berkomunikasi dengan “pacar” yang begitu dibanggakannya. Tak lama kemudian dia meletakkan handphone-nya dan mulai menoleh ke kiri dan ke kanan seperti sedang mencari seseorang. “Nyari siapa, Da?” tanyaku kepo. “Shawn katanya udah nyampek,” jawabnya sembari masih asyik toleh kiri-kanan nyari pacarnya. Aku hanya diam aja. Males ikutan mindai cowok bernama Shawn, ntar kalau nyampek nyamperin si Ida juga. “Hai, Ida.” Seorang cowok menyapa Ida. Aku menoleh dan langsung batuk melihat penampilan cowok itu. “Kau siapa?” tanya Ida bingung. “Aku Shawn, honey,” jawab cowok itu sambil senyum. Ida langsung berdiri, saking nggak percayanya dengan apa penampakan di depan mata. “Shawn siapa? Kok gini penampilannya?” tanya Ida dengan nada yang lebih menunjukkan rasa ngeri dibanding rasa bingung. “Shawn kok. Coba bandingin,” jawab cowok itu sambil mensejajarkan foto di handphone miliknya dengan dirinya. “Kok gendut dan buncit gini?” tanya Ida lagi. Dia shock berat dengan apa yang dilihatnya sekarang. “Itu foto 3 tahun lalu saat baru masuk kuliah,” jawab Shawn menjelaskan sambil senyum. “Haha.” Tawaku pecah, nggak tahan lagi. Ida yang melihatku ngakak hanya memasang wajah pengen nangis. Sahabarku itu sedang merasa ngeri, tampaknya dia benar-benar kecewa berat. “Da, akhirnya kita ketemu, ya.” Shawn terlihat happy. Ida nggak tahan lagi. Dia langsung mengambil kunci mobilnya dengan greget. “Shawn, kita putus,” ujar Ida tegas. “Na, aku duluan. Bye,” pamitnya lalu langsung ngacir. “Lho? Lho? Da! Ida!!” teriakku manggilin Ida yang udah nggak peduli lagi. Saat ini dia sudah berlari dengan kekuatan penuh. Aku langsung berlari mengejar ida sebelum dia benar-benar pergi dan meninggalkan aku sendirian di sini. “Tunggu, Anjir!” Aku berhasil mengejar saat kami sudah di tempat parkir. Ida langsung membuka pintu mobilnya. “Masuk, Na cepetan!” suruh Ida. Aku langsung masuk ke mobil dan menutup kembali pintu mobil. Setelahnya, Ida langsung mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. “Waduh sumpah, itu namanya ketidaksingkronan antara wajah dan nama,” kata Ida ngedumel. Aku hanya ngakak menanggapi dumelannya. “Di foto keren, ganteng, putih, kurus, bahkan nih badannya kotak-kotak di foto yang dia send. Eh pas ketemu bentukannya kayak pisang molen gitu. Udah bulet, hitam, jelek sumpah,” lanjutnya. Aku hanya ketawa aja, nggak tahu mau komen apaan. “Kau, sih, kenalan itu sama yang udah pasti wujudnya, dong,” ujarku, akhirnya mulai menanggapi keluhan Ida. “Sumpah, baru seumur hidup aku ketipu gini,” katanya mengeluh lagi. Aku hanya mengalihkan pandanganku ke luar jendela, menikmati pemandangan gratis dari alam Indonesia. “Jadi iri banget aku sama kau,” ujar Ida sambil manyun. “Hah? Iri kenapa?” tanyaku heran. “Kau tuh kan cewek rata-rata, ya. Wajah biasa aja, kekayaan ngepas dan otak juga standart. Tapi kok bisa kau dapet pacar tajir, ganteng dan smart kayak Alfa,” jawab Ida sambil menghela napas, kayaknya iri parah. “Ya, rejeki udah ada yang ngatur, Da. Mungkin aja si molen jodohmu. Haha,” ledekku padanya membuat Ida makin monyong. “Terserah lu, dah. k*****t emang kamu!” Ida kesel. Ida mengerem mendadak ketika mendengar suara dari pengeras suara dan ada yang menghentikan kami. Mobil polisi. Mobil itu berhenti tepat di depan kami lalu seorang polisi menghampiri kami. Ida langsung panas-dingin. Polisi itu mengetuk kaca mobil, Ida pun hanya nyengir kecut ketika polisi itu mulai menanyakan surat-surat kendaraan mobilnya. “STNK-nya ada. SIM-nya mana, Dek?” tanya polisi itu. Ida meraih dompetnya dan terbeliak. Sepertinya, dia lupa membawa SIM-nya. “Lu-lupa, Pak. Ketinggalan,” jawab Ida dengan bibir bergetar, takut dan gugup. Polisi itu mulai memberikan pertanyaan dan pada akhirnya Ida kena tilang. Ida menghela napas berat karena STNK-nya ditahan. Monster itu mengantarku pulang dengan wajah sedih. “s**l amat hari ini,” keluhnya. Aku hanya nyengir. Aku turun dari mobil Hilda dan melambaikan tangan. Sepertinya aku termasuk golongan orang yang teraniaya. Buktinya tadi doa semoga Ida ditilang, malah jadi kenyataan. Sepertinya aku harus berhati-hati kalau berdoa sekarang. Sorry ya, Da. Lain kali aku doain kau dapet pacar, deh. Semoga aja, bentukannya beneran kayak roti sobek, bukan kue bolu. Hehe   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD