Hari ini aku ke sekolah bareng Fafi, sahabatku. Kakiku masih terasa agak sakit karena jatuh dari sepeda ontel kemarin. Awalnya mau bareng Alfa, tetapi pacarku yang super nyebelin itu lama banget jemputnya. So, karena Fafi datang duluan, aku bareng dia aja ke sekolah. Bodo amatlah meski Alfa datang menjemputku. Meski dia marah pun, aku nggak peduli. Masih kesel dengan tingkahnya kemarin.
Jam pertama hari ini adalah Biologi, presentasi makalah. Aku yang kebetulan berkelompok dengan Fafi dan dua temanku yang lain, bisa melakukan presentasi dengan baik. Meski sempat adu argumen dengan beberapa temanku, kami bisa mengatasi segala rintangan dengan baik. Setelah menutup presentasi, aku dan teman-teman pun kembali ke tempat duduk masing-masing. Kelompok kedua pun maju. Alfa nggak ada, kayaknya dia lagi bimbingan buat persiapan lomba besok, jadinya nggak masuk kelas.
“Na, kakimu kenapa?” tanya Fafi lagi karena dari tadi aku belum jawab kenapa jalanku rada pincang.
“Jatuh dari sepeda kemarin,” jawabku sekenanya.
“Kok bisa sih? Padahal udah bertahun-tahun kau naik sepeda nggak pernah jatuh?” tanya Fafi lagi, masih merasa heran karena aku terjatuh. Mungkin dia mengira aku Superman, jadinya nggak pernah jatuh, tapi melayang di udara.
“Namanya musibah, siapa yang tahu. Pembalap motor GP aja yang udah ahli bisa jatuh,” pungkasku mematahkan opininya.
Fafi manggut-manggut.
“Oh ya, kau nggak lupa kan kalau hari ini ada tugas Bahasa Indonesia?” tanyanya lagi.
Aku terdiam. Bengong. Tiba-tiba inget, belum ngerjain tugas.
“Waduh, aku lupa. Gimana, nih?” ujarku panik.
“Ya kerjain istirahat aja. Bahasa Indonesia kan masih jam terakhir,” jawab Fafi memberikan jalan keluar.
Aku nyengir.
“Ide bagus,” ujarku memujinya membuat Fafi senang.
“Btw, Na. Aku mau nanya, nih,” ujarnya kemudian dengan wajah serius.
“Apaan? Serius amat kayaknya?”
“Gimana rasanya pacaran sama Alfa? Aku denger-denger gosip, kalau dia itu kejam, iya nggak, sih?” tanya Fafi.
“Aku nggak diperlakukan kejam, kok. Dia bertingkah kayak biasa aja, sama kayak pacar-pacar yang ada di dunia ini,” jawabku sambil senyum.
“Biasa? Kau oon atau gimana sih, Na?” Fafi geleng-geleng kepala. “Berdasarkan pengamatan mata pandaku, bisa disimpulkan kalian bukan pacaran tapi kerja rodi!”
Aku mencibirnya sebagai tanda protes.
“Kerja rodi jidatmu. Kami pacaran tauk!” sanggahku, nggak terima dikata-katain. Lagian Alfa bukan orang Belanda, melainkan Indonesia asli, mustahil dia menyuruhku kerja rodi atau tanam paksa. Zaman penjajahan sudah berlalu sejak dulu kala.
“Ina, selama beberapa hari ini, kau itu hanya dijadiin pembantu dan pesuruh aja. Selama ini banyak banget masalah yang dia timbulkan buatmu. Cogan IPA itu banyak, kok. Kamu bisa pilih yang lebih baik dari Alfa.” Fafi bicara panjang lebar. Sahabatku itu mengeluarkan uneg-uneg di dalam harinya.
Aku tersenyum kecut menanggapi omongan Fafi. Semua yang dia katakan memang benar tetapi aku juga punya alasanku sendiri. Klise, tapi aku mencintai Alfa.
“Aku tahu Alfa emang nyebelin dan suka nyuruh-nyuruh kayak setan, tapi aku ikhlas, kok. Karena aku yakin, dia cowok terbaik yang bisa membahagiakan aku. Aneh ya?”
Fafi menganggukkan kepalanya cepat.
“Emang kau yakin dia juga cinta? Mendadak banget kan ngajak jadiannya?” tanyanya ragu..
“Iya, sih. Tapi hati nggak bisa bohong, kan? Cinta itu bukan dari berapa lama kita kenal seseorang, tapi lebih kepada kenyamanan hati kita bersama orang yang hatinya kita pilih, iya nggak?”
Fafi beraksi kayak orang mau muntah.
“Sok bijak,” ujarnya sewot.
Aku hanya menjulurkan lidah.
“Kalau cinta diukur dari berapa lama kita mengenal seseorang, nggak akan ada cinta pandangan pertama dong,” ujarku menambahkan.
“Iya dah, terserah kau,” sahutnya mengalah.
“Btw, kamu dan Sauki gimana?” tanyaku, niatnya mengubah topik pembicaraan.
“Baik-baik aja. Bahkan kemarin dia ke rumah, bawain aku seikat bunga dan cokelat,” jawab Fafi dengan wajah berbinar-binar
“Kamu berduka cita, kok dibawain bunga?” ledekku.
Fafi manyun.
“Bunga mawar, cuyy bukan kamboja! Dia beda sama pacarmu yang nggak pernah ngasih bunga,” katanya membalas ledekanku.
“Bang Alfa mah, nggak ngasih bunga, tapi ngasih makanan.”
“Iya, makanan yang nyaris bikin kau the end,” pungkasnya membuatku langsung nggak bisa jawab, ter-skak mat.
Fafi dan Sauki berpacaran, beda sekolah. Jika dihitung, mungkin sudah hampir dua tahun. Sejauh yang aku tahu, mereka sangat akur dan jarang bertengkar. Mungkin karena Sauki dan Fafi sama-sama memiliki pemikiran yang dewasa. Apapun itu, aku senang karena sahabatku memiliki pacar yang baik.
“Woi, kalian berdua! Asyik ngobrolnya dari tadi, iya? Lupa kalau lagi ada pelajaran?!” Bu Tiwuk ngamuk.
Aku dan Fafi langsung mingkem.
“Keluar! Lari lapangan!” Bu Tiwuk mengusir kami.
“Tapi Bu, kaki saya sakit,” kataku mencoba mengiba.
Bu Tiwuk hanya memandang sinis seolah berkata, “Bodo amat.”
“Cepet keluar! keliling lapangan. Kalau nggak bisa lari, jalan!” Bu Tiwuk beneran ngamuk.
Aku dan Fafi pun langsung berjalan keluar kelas, udah nggak tahan dengerin teriakan dari suara beliau yang super cempreng dan berkekuatan lebih dari 8 oktaf. Mungkin.
“Kau sih, ngajak ngobrol. Jadi dihukum kan, kita!” protesku.
“Lah suruh sapa kau nanggapin aku,” sanggahnya nggak terima disalahin.
Kami menuruni tangga dan berjalan pelan menuju lapangan. Aku tertegun, menatap Alfa yang lagi ikutan main basket, padahal seharusnya belajar bimbingan. Daripada main, seharusnya dia masuk kelas saja biar nggak gabut.
“Oi, Na,” sapanya dengan wajah tanpa dosa.
Dia menghampiriku dan Fafi. Melihat kedatangan Alfa, Fafi buru-buru pergi untuk lari lapangan, nggak berniat menungguku sama sekali.
“Kakinya kenapa?” tanyanya khawatir.
Entah, ini hanya sebatas konspirasi atau dia cuma pura-pura nggak peka. Padahal, kakiku sakit karena dia. Namun, aku mencoba untuk sabar. Siapa tahu, dia benar-benar nggak nyadar kalau kakiku sakit kemarin.
“Jatuh dari sepeda ontel,” jawabku berusaha senyum.
“Lah, kok nggak bilang apa-apa sih sama aku?” Alfa mendadak oon sehingga melontarkan pertanyaan konyol.
“Kau kan nggak nanya,” sindirku.
“Hah? Apa?” Dia pura-pura nggak denger.
“Nggak apa-apa. Lupain aja,” ujarku malas berdebat dengannya.
“Sekarang mau ke mana?” tanyanya lagi.
“Aku dihukum lari lapangan oleh Bu Tiwuk!” jawabku.
“Dengan kaki kayak gitu? Emang bisa?” tanyanya ragu, sedikit khawatir juga.
Aku mengangkat kedua bahuku.
“Entahlah,” jawabku cuek.
Alfa tampak berpikir sejenak. Tiba-tiba pacarku yang emang nggak pernah terduga itu berbalik badan dan sedikit menurunkan tubuhnya.
“Ayo, aku gendong!” katanya santai.
“Hah? Di sini?” tanyaku kaget, nggak percaya sama sekali dengan pernyataannya yang nggak terduga itu.
“Iya, buruan,” sahutnya tanpa ragu sedikit pun.
Aku maju perlahan lalu naik ke punggungnya. Alfa pun mulai berjalan pelan. Semua murid yang saat itu juga di sana langsung memberikan reaksi.
“Woi, Alfa, lagi syuting drama Korea ya?” celetuk salah satu murid cowoknya. Entah siapa namanya.
“Anjir, Alfa mulai gila,” Yang lain juga mulai ikutan.
Fafi yang melihat kami beradegan romantis hanya geleng-geleng kepala. Sementara murid yang lain hanya diam, menganga. Terpesona dengan apa yang dilihatnya.
Alfa terus berjalan dengan aku yang ada digendongannya. Entah semerah apa wajahku sekarang, malu banget, sumpah. Dia kemudian menurunkanku ketika kami tiba di UKS.
“Obatin gih lukanya. Kalau nanti Bu Tiwuk protes, aku yang bakal jelasin,” ujarnya sambil mengelus-elus pipiku lembut.
Aku hanya menganguk.
“Yaudah, nanti pulang bareng aku, ya. Jangan kabur sama Fafi lagi lho,” katanya sambil senyum. Aku mengangguk mengiyakan.
“Cepat sembuh,” katanya menimpali.
Pacarku yang super nyebelin itu pun berlari menuju lapangan, melanjutkan lagi main basket. Nggak peduli meski masih disoraki.
Aku duduk di kasur UKS dengan senyum-senyum sendiri tanpa henti.
Alfa memang super nyebelin, tetapi urusan bikin baper, dia nggak pernah kalah. Mungkin, ini alasan aku masih bertahan meskipun dia nggak sekeren yang aku bayangkan dulu.