Ada Yang Kangen

1692 Words
Pukul empat sore waktu Singapura, seluruh kru yang dipimpin Capt. Rivan sudah menyelesaikan proses check-in di hotel bintang empat tempat mereka biasa menginap setiap kali mendapat jadwal terbang ke kota ini. Lobi hotel yang elegan dengan aroma bunga segar langsung menyambut kehadiran mereka. Setelah menerima kunci kamar dan membagi room mate masing - masing, semua ingin segera ke kamar mereka. Hanya Capt. Rivan dan Bian yang mendapat kamar sendiri, sesuai kebijakan khusus untuk Captain dan first officer. "Jam lima kita ketemu di lobi ya," ujar Capt. Rivan tegas ketika mereka sudah menuju lift, "jangan ada yang telat, biar kita nggak kemalaman." "Siap, Capt," jawab Mita cepat, diikuti anggukan beberapa kru lain. Biasanya, kamar untuk cabin crew dan cockpit crew berada di satu lantai agar lebih mudah berkoordinasi. Namun, karena keterbatasan ketersediaan, kali ini kamar mereka terpencar. Itulah sebabnya Capt. Rivan mengingatkan jadwal pertemuan lebih awal. Sesaat setelah rombongan berpisah di depan lift, Capt. Rivan melangkah keluar lebih dulu bersama Bian. Crew lainnya masih harus naik dua lantai lagi. Di lorong yang tenang, lampu dinding berwarna keemasan memantulkan bayangan mereka. Capt Rivan dan Bian berjalan menuju kamar masing - masing. "Bi … kalau sudah mau turun, ketok kamar saya ya," ucap Capt. Rivan sambil berjalan menuju kamarnya yang letaknya tepat di dekat lift. "Ya, Capt," jawab Bian singkat namun sopan. Ia sudah terbiasa dengan instruksi seperti itu. Pintu kamar otomatis terbuka begitu Capt. Rivan menempelkan kartu akses. Ia melirik sebentar ke arah Bian sebelum akhirnya masuk. Lorong kembali sepi, hanya suara langkah kaki Bian yang menjauh. Sesampainya di kamarnya sendiri, Bian melakukan hal yang sama. Begitu kartu akses dimasukkan ke slot, seluruh lampu menyala lembut, menciptakan suasana nyaman. Ia menaruh kopernya di dekat meja, lalu merenggangkan bahu dan melepaskan napas panjang. Dengan gerakan perlahan, ia melonggarkan dasi yang sejak pagi terasa mengekang leher. Setelah menaruhnya di atas meja, Bian melepas semua atribut, mulai bar di bahu, wing di d**a hingga ikat pinggangnya karena pakaian akan di laundry. Ia lalu mendekat ke jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Singapura sore itu, gedung - gedung tinggi berkilauan diterpa sinar matahari yang mulai merendah. Rasanya sejenak semua kepenatan penerbangan tadi menguap, digantikan rasa tenang. Namun ia tahu, waktu istirahatnya tak akan lama. empat puluh menit lagi sudah pukul lima. Ia harus segera bersiap, mengingat janji untuk turun tepat waktu. Bian meraih ponselnya, menekan nama yang sudah begitu akrab, Clarissa. Panggilan teleponnya masuk, namun, panggilan itu tidak diangkat. Bian tersenyum tipis, tidak heran. Ia tahu Clarissa sedang sibuk gladi resik sekaligus fitting baju untuk acara fashion show besok. Ia mengetik pesan singkat. Bian Sayang, aku sudah sampai di Singapura. Sebentar lagi mau ke Orchard, beli pesanan kamu. Kalau ada tambahan, kabari aku sebelum pulang dari mal, ya. Pesan itu terkirim dengan cepat, namun layar ponselnya tetap sunyi. Bian menaruh ponsel di meja, lalu bergerak mengambil baju dan celana ganti untuk pergi dari dalam kopernya. Bian tidak membawa apa - apa lagi, hanya dompet dan ponselnya. Tapi sebelum ia turun, ponselnya bergetar, ternyata ada balasan dari Clarissa. My love Oke, sayang. Maaf ya aku baru lihat HP karena tadi lagi briefing. Hati - hati ya. Kalau sempat, cariin juga lipstik shade baru yang aku bilang kemarin. Love you. Senyum Bian mengembang. Ia membalas cepat. Bian Siap, love you too. -- Pukul lima kurang sedikit, Bian sudah berdiri di lobi hotel dengan pakaian santai bersama Capt. Rivan. Mereka masih menunggu dua orang pramugara yang belum berkumpul. "Mau cari apa, Capt?" tanya Bian. "Nggak tahu juga. Lihat - lihat aja. Siapa tahu ada yang cocok buat istri saya," jawabnya sambil tersenyum. "Bareng saya aja, saya mau beli pesanan juga nih." "Tunangan kamu?" "Iya." "Wah cocok." Tak lama kemudian mereka sudah berkumpul dan langsung menuju Orchard Road. Jalanan yang ramai dengan lampu toko berkilau membuat suasana sore itu terasa hidup. Bian melangkah mantap ke arah butik kosmetik yang sudah jadi langganannya setiap kali ke Singapura. Ia tahu benar apa yang dipesan Clarissa, kurang lebih dengan pesanan mamanya atau Lily, adiknya. Mereka berdua terpisah dengan crew yang lain saat di mal, tapi sudah janjian di tempat tertentu jam delapan malam nanti. Bian mengajak Capt. Rivan masuk ke dalam toko kosmetik. "Jadi, kamu beliin apa buat tunanganmu?" tanya Capt. Rivan sambil melirik rak penuh lipstik warna - warni. "Ini, Capt. Clarissa minta shade baru yang lagi keluar, " jelas Bian seperti seorang ahli sambil menunjukkan kotak kecil berdesain elegan. Capt. Rivan mengamati dengan serius, lalu mengangguk. "Kamu ini pintar ya. Tahu persis apa yang dicari perempuan. Saya aja kalau beliin istri, seringnya salah warna." Bian terkekeh kecil. "Saya sudah terbiasa, Capt. Dulu sering beliin macam - macam buat Mama dan adik saya. Jadi lama - lama hafal kalau perempuan itu detail soal warna." "Hm," Capt. Rivan mengangguk sambil mengambil shade serupa. "Kalau begitu saya beli juga. Kasih ke istri, biar dia senang. Mungkin nanti dia pikir saya juga perhatian, padahal nyontek kamu." Bian tertawa, tapi tetap sopan. "Nggak apa - apa, Capt. Yang penting istri senang." Setelah itu mereka berpindah ke toko lain, mencari pesanan tambahan parfum dengan kemasan edisi terbatas. Bian bergerak luwes, langsung menunjukkan varian yang tepat. Capt. Rivan kembali terkesan. "Saya akui, Bi, kamu memang jago soal beginian. Kalau saya, pasti bingung setengah mati," puji Capt. Rivan sambil membayar belanjaannya. Bian hanya tersenyum sambil merapikan kantong belanjaannya. "Ya, Capt. Kalau sering diminta tolong, lama - lama terbiasa juga." Mereka pun keluar dari toko dengan tangan penuh belanjaan. Sore Orchard terasa lebih ringan, seakan belanja bersama itu jadi momen kecil yang menyenangkan bagi keduanya. Setelah selesai berbelanja dan masih ada waktu, sambil menunggu yang lain, mereka mampir disebuah toko yang menjual minuman. Capt. Rivan dan Bian memesan teh untuk malam ini, tidak mau yang terlalu berat karena setelah ini mereka akan malam. "Istri kerja, Capt?" nanya Bian membuka pembicaraan. "Nggak, dulu pramugari juga, tapi juniornya mama kamu." "Owh. Anak berapa orang, Capt?" "Anak saya cuma satu, laki - laki, dan masih kuliah." "Nggak mau jadi pilot?" "Nggak mau katanya." "Sama kayak adik saya yang cowok, nggak mau jadi pilot, maunya jadi pengusaha aja." "Nggak bisa dipaksa kalo nggak cita - citanya." "Iya, bener Capt." Capt. Rivan menyesap teh hangatnya. "Tunangan kamu kerja apa?" "Model, Capt." "Wah..cakep dong." Bian tersenyum, bingung menjawabnya, kalau ia jawab 'iya', kok kesannya sombong? "Mana coba lihat fotonya." Bian mengambil ponselnya, lalu memperlihatkan fotonya dan Clarissa saat pesta pertunangan mereka minggu lalu. "Cantik, pantas kamu ngebet mau tunangan, jangan sampe lepas kalo begini." "Iya, Capt," jawab Bian senang, setidaknya ada pedukungnya kali ini. Capt. Rivan mengembalikan HP Bian. "Kapan nikahnya?" "Belum tahu, Capt...mungkin tiga tahun lagi deh." "Ah saya nggak yakin, paling tahun depan kamu sudah nggak tahan." Bian tergelak. "Setidaknya itu cita - citanya. Saya mau karir stabil dulu, Capt." Capt. Rivan yang duduk di hadapan Bian terkekeh. "Saya nikah setelah enam bulan pacaran, masih bar dua kayak kamu gini." "Saya belum mau, Capt ... dia juga lagi merintis karir. Sama - sama istilahnya. Kami bertunangan hanya sebagai pengikat lebih erat tapi saya belum bertanggung jawab penuh aja, belum siap." "Jangan ikat kelewat erat, ntar malah pengen bebas," ucap Capt. Rivan mengingatkan, tapi wajahnya tidak serius, malah sambil tersenyum. "InsyaAllah aman, Capt." "Awas aja kalo ada yang ngetok pintu kamar kamu malam - malam terus kamu bukain...hahaaa..." Capt. Irvan tidak bisa menahan tawanya ketika nmenggoda Bian, dan Bian pun ikut tertawa. --- Malam itu pun berlangsung santai, penuh cerita dan candaan waktu mereka semua makan malam bersama - sama dengan crew komplit. Selesai makan malam bersama, Bian kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Perutnya kenyang, hatinya hangat karena obrolan tadi cukup seru, meski ia sempat jadi bahan goodaan Capt. Rivan soal pertunangan, tapi untungnya bukan di depan crew yang lain. Begitu masuk kamar, ia langsung menaruh kantong belanjaan di atas meja, lalu duduk sebentar di kursi dekat jendela. Matanya tertuju pada ponsel yang sejak tadi bergetar sekali - dua kali. Ia tahu, waktu Clarissa pasti sudah lebih longgar setelah gladi resik dan fitting selesai. Dengan senyum kecil, ia menekan tombol video call. Tak lama, wajah Clarissa muncul di layar, masih dengan riasan tipis dan rambut yang ditata rapi. "Hai, sayang … akhirnya kamu nelpon," ucapnya sambil melambaikan tangan kecil ke arah kamera. Bian terkekeh. "Aku baru pulang belanja dan makan malam sama yang lain. Ini aku bawain titipanmu, mau liat?" Ia menggeser kamera ke arah kantong belanjaan. Satu per satu ditunjukkannya, lipstik shade baru, parfum edisi terbatas, pouch kecil ari satu merk terkenal dan beberapa item kecil lain yang sempat ia ambil. "Wah, lengkap semua! Kamu tuh selalu bisa diandalkan," kata Clarissa sambil tersenyum puas. "Kalau aku sendiri yang beli, pasti nggak dapat semuanya." "Ya iyalah. Kan udah biasa disuruh Mama belanja beginian dulu," jawab Bian santai, meski hatinya senang melihat wajah tunangannya berbinar. Mereka lalu berbincang ringan, menceritakan hari masing - masing. Clarissa cerita soal betapa melelahkannya fitting baju, sementara Bian menuturkan singkat perjalanannya ke Orchard, tentu saja ia tidak lupa menyebut bahwa Capt. Rivan sempat ikut dan bahkan membeli barang yang sama untuk istrinya. "Aduh, ternyata Captain kamu belajar belanja dari kamu, ya?" Clarissa terkekeh. "Aku yakin istrinya nanti seneng." Bian tersenyum. "Kalau aku sih nggak perlu diajarin. Apa aja yang aku beliin, pasti kamu cocok." Obrolan mereka mengalir hangat, penuh canda kecil khas pasangan yang sudah tak malu lagi saling menggoda. Sesekali Clarissa merapikan rambutnya di depan kamera, membuat Bian hanya bisa menatap layar ponsel dengan senyum bodoh. "Nanti kalo kamu sudah balik, kita dinner acara ulang tahun papa, ya," ucap Clarissa lembut sebelum menutup percakapan. "Kapan?" "Lusa. Mama baru bilang sama aku tadi. Papa sama mama kamu juga diundang." "Uhm ...aku nggak tahu schedule Papa." "Mama yang bakal nelpon tante Jani, kamu tenang aja." "Aku bagian dampingin kamu aja," jawab Bian mantap. "Nah bener itu." "Undangannya rame?" "Nggak ...kita doang, paling sama Opa dan juga Oma." "Hmm." "A' ..." "Ya.." "Aku kangen..." "Aku juga. Besok nggak bisa ketemu? Aku jemput abis acara ya.." Clarissa menahan senyumnya sambil mengangguk. "Besok aku share loc tempat acaranya." "Oke." "I love you .. a'." "I love you too .. sayang" Video call berakhir, meninggalkan senyum yang masih menempel di wajah Bian. Malam Singapura terasa jauh lebih indah dengan kehadiran Clarissa, meski hanya lewat layar kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD