7

1132 Words
Mellia mengikuti langkah Ferdinand. Di depannya ayah dari Ray, mantan sahabatnya itu berjalan tegak, meninggalkan langkah kakinya yang kecil. "Duduklah!" perintah Ferdinand pada Mellia dingin. Mellia mendudukkan dirinya di kursi plastik kantin rumah sakit. "Langsung saja Om. Putra saya sendirian di kamarnya. Saya tidak ingin ia menangis karena ketidakberadaan saya." pinta Mellia halus. Bagaimanapun juga Ferdinand tetaplah lebih tua darinya. Terlebih lelaki itu adalah kakek dari Vero. "Cucu say.." "Maaf putra saya bukan cucu anda." kali ini Mellia berkata dengan dingin membuat Ferdinand terbahak. "Benarkah Mellia? Atau saya harus tes DNA untuk mengetahui bahwa anak itu bukan darah daging Ray?" tanya Ferdinand sakartis. "Keluarga Jingga, tentu kamu tahu bukan? Mereka bekerja sama dengan perusahaan saya." "Hidup lah dengan Ray. Rawat anak kalian." "Om." bentak Mellia berdiri. "Atau mereka akan kehilangan sebagian besar saham mereka Mellia. Tentu kamu tahu apa yang akan terjadi, mengingat saya cukup punya dendam dengan Kakakmu Ditto." "Ferdinand Husodo, apa yang tengah kamu diskusikan dengan putriku?" tanya Haryo pada rekan bisnisnya. Haryo hanya tersenyum melihat Ferdinand yang tenang. "Hanya membahas sedikit masalah Haryo. Mengenai cucu kita." ucap Ferdinand. "Cucu kita? Vero hanyalah cucuku Fer." "Bukankah dulu kau juga melihatku di rumah sakit Har?! disaat cucu kita dilahirkan?!" Ferdinand menggelengkan kepalanya. Bukan ini kesepakatan yang dulu Haryo tawarkan padanya. Bukan menjauhkan cucunya dengan dirinya. "Harusnya, suruhanmu sudah melapor Ferdinand. Bagaimana kasarnya putramu memperlakukan putriku di rumah sakit tempo hari." "Putriku tidak akan masuk ke hidup putramu lagi Fer, tidak dengan kebejatannya." "Hahaha... Benarkah? Mari kita tanyakan pada putrimu nanti Har. Apakah dia yang masuk ke dalam kehidupan Ray, atau dia mengembalikkan calon menantuku yang dicuri oleh anak laki-lakimu pada Ray putraku." *** Mellia berjalan, menyusuri lorong demi sampai pada ruang rawat inap Vero. Papanya berpamitan karena tiba-tiba saja ada klien yang datang dari Jepara. Sedangkan Ditto yang tadinya akan datang membawakan baju ganti untuk dirinya, harus menunda karena adanya meeting mendadak. Membuka pintu, Mellia terhenyak menatap pemandangan di depannya. Laki-laki itu tengah tertidur dengan jemari yang menggenggam tangan Vero. Disampingnya ada tiang penyangga selang infus yang tertancap dilengan kirinya yang bergelantung. Bagaimana dua orang itu bisa sakit dalam waktu yang bersamaan?! Bagaimana Ray tahu Vero ada di ruangan ini? Terlebih kenapa Tuhan membuat ayah dan anak itu ada di rumah sakit yang sama?! Mellia tak habis pikir dengan nasibnya. "Mommy..." rintih Vero. Mellia bisa mendengarnya dibalik pintu. Tubuh Mellia bersembunyi. Ia jelas tak mau Ray melihat dirinya. "Ssstt Sayang, Daddy di sini Sayang. Vero butuh apa nak?" tanya Ray berdiri sembari membelai kening Vero. "Mommy..." "Mommy lagi keluar sebentar Vero, sama Daddy ya, Vero pengen apa?" bujuk Ray pada putranya yang terus menangis. "No, Vero mau Mommy.. Mommy." jerit Vero. "Sayang, Sssttt Daddy gendong ya. Daddy gendong ya." Mellia yang melihat itu berlari ke arah Vero. Ia mengambil tubuh Vero yang hampir digendong oleh Ray. "Jangan sentuh putraku, ku mohon!", membuat Ray berjalan mundur. Darah yang mengalir dari jarum infusnya tidak terasa sama sekali. Yang terasa hanyalah sakit dihatinya karena penolakkan yang dilakukkan oleh Mellia baru saja. "Vero, Vero tiduran ya sebentar." Mellia yang melihat darah Ray, membaringkan tubuh Vero dan berlari ke luar kamar perawatan Vero. "Doookkkteeeeeerrr, Dokteeeeeeeer." teriak Mellia panik. "Doookteeer, tolong." Dokter yang mendengar teriakan panik Mellia segera datang dan mengikuti Mellia. Mereka kaget melihat kondisi Ray yang berdiri sembari menangis. Ditangan kirinya sudah mengalir darah. "Pak Ray." pekik Fendi. "Keluar kalian semua!" teriak Ray kencang. Ia tidak ingin siapapun menolongnya. Karena jika kematian lebih mudah, ia akan menyerahkan diri pada kegelapan dibandingkan merasakan sakit akibat penolakan Mellia. "KELUAR!" Vero yang mendengar teriakkan Ray menangis sesenggukkan. Mellia yang melihat itu lantas berjalan mendekati Ray. PLAAAKKK!!!! "JANGAN MATI DI DEPAN ANAKKU RAY HUSODO." bentak Mellia marah. "Bu..." bentak Fendi keras, menahan lengan Mellia yang hampir melayangkan tamparan ke dua kali dipipi Ray. "Biarkan! Biar Vero melihat Daddynya beneran meninggal Mell. Dari pada aku hidup tapi putraku menganggap ku sudah mati." ucapnya menunduk. "Tangani dia dokter." Mellia membalikkan tubuhnya. Persetan dengan drama yang Ray hadirkan. "Daddy..." Ray mengadahkan wajah ketika suara putranya memanggilnya daddy. "Daddy, Daddy Vero." Ray mengangguk. Ia berjalan ke arah ranjang putranya. "Di sana,di samping putraku." ujarnya pada sang dokter. "Daddy." Ray memeluk tubuh kecil Vero dengan tangannya. Kepalanya terus mengangguk seakan mengatakan. 'Ya, Daddy di sini.' "Daddy...." isak Vero memeluk sang ayah. ** Mellia menatap Ray dan Vero yang tidur berpelukan di atas ranjang milik Vero. Ray bahkan menolak untuk diinfus kembali hanya demi bisa memeluk sang putra. Mellia mengingat kembali ancaman Ferdinand. Haruskah ia menyetujui semua itu. Tapi Ray tidak pernah mencintainya. Semuanya hanyalah kesalahan, meski Vero bukanlah suatu kesalahan di dalam hidupnya. "Apa yang kau pikirkan? Kenapa tidak tidur?" tanya Ray menatap Mellia yang duduk di atas sofa. Sofa tersebut terletak di sebelah kanan ranjang perawatan. "Ray, aku tidak bisa." kata Mellia sembari menghembuskan nafas, pelan. "Apa maksudmu Mell?!" tanya Ray bingung. "Aku nggak bisa masuk ke dalam hidupmu lagi Ray. Tolong mengerti. Kita tidak dalam hubungan yang bisa bersatu. Tolong bilang pada Papimu untuk tidak menggangu rumah tangga Abangku." desak Mellia. "Apa maksudmu? Papiku menemuimu?" Mellia mengangguk. Ray menghembuskan nafasnya berat. "Suruh Fendi mengambilkan ponselku. Biar aku yang bicara sama Papi." Mellia mengangguk. Wanita itu bangkit dari duduknya mencari asisten Ray. "Apa yang Papi lakukan." geram Ray. ****** "Tidak Ray, Papi tidak ingin menantu lain selain Mellia. Dia adalah ibu dari Vero, tidak ada Mama lain yang akan menjadi Mama Vero." ucap Ferdinand dari seberang sana membuat Ray menjambak rambutnya frustasi. "Pi.." "Mellia atau kamu harus melepas warisan kamu untuk Vero. Bertanggung jawablah pada hidupnya yang telah kau rusak Ray. Papi tahu bagaimana kerasnya dia merawat cucu Papi, sedangkan bisa saja wanita itu datang dan meminta pertanggungjawabanmu dulu. Mellia atau pergilah dari Husodo." ancam Ferdinand sebelum mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. "Maaf, aku tidak bisa merubah keputusan Papiku Mell." desah Ray merasa bersalah pada Mellia. "Ray, please. Aku sudah punya pacar Ray." dusta Mellia menggenggam jemari Vero. Sungguh ia takut kebohongannya terbongkar. "Ap..pa... Pac..car?" gagap Ray bertanya. Apa-apaan ini pikirnya. "Ya, kami akan bertunangan Ray." Mell tutup mulutmu Mell, batinnya sendiri karena terlalu lugas dalam mendendangkan dusta. "Mell." desis Ray tajam. "Nggak ada yang boleh menjadi daddy Vero. Tidak ada laki-laki lain Mell? Aku daddynya!" ucap Ray marah. "Kita tidak saling mencintai Ray." "Aku tidak akan mengganggumu, aku hanya inginkan Vero. Anakku!" Mellia memalingkan wajahnya. Entah mengapa ada rasa sakit di hatinya mendengar hanya Vero yang Ray inginkan. Begitu pula dengan Ray, entah mengapa hatinya kelu mengucapkan kata-kata tersebut. "Pulanglah! Besok kemari lagi. Aku yang akan menjaga Vero di sini." "Nggak usah." tolak Mellia. "Aku nggak akan membawanya kabur Mell, pegang kata-kataku." janji Ray pada Mell. Setelah perdebatan yang cukup alot diantara mereka, akhirnya Mellia mau juga menuruti Ray untuk pulang ke rumahnya. "Fendi, siapkan semuanya. Ingat sebelum Mellia datang kemari semua harus sudah beres." ucap Ray membelai punggung Vero dalam dekapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD