Miranda merasakan sakit di dadanya. Begitu kuat hingga membuatnya sesak. Pertemuan para istri petinggi nampak tak menarik bagi ibu dua anak tersebut. "Mami kenapa Mi?" tanya Geofany pada sang Mami yang nampak gusar. Tak hanya itu, ibu dari Geofany dan Ray Husodo tersebut terlihat pucat.
"Ray, Ge dimana adikmu?" tanya Miranda. Sedari tadi Miranda tidak melihat kehadiran Ray diperusahaan milik suaminya. Firasatnya mengatakan jika sang penerus kerajaan bisnis sang suami, tak baik-baik saja.
"Ray ada urusan Mi. Hanya ada Fendi Mi di sini." jelas Geofany pada sang Mami membuat Miranda semakin cemas akan keadaan sang putra.
"Cari Fendi, suruh menghadap Mami sekarang juga." titahnya pada sang putri. Geofany melangkahkan kakinya dari ruangan pertemuan bulanan itu. Ia merogoh ponselnya, menelpon Fendi asisten kepercayaan sang adik untuk menemui lelaki itu.
*
"Fen, buka pintunya sekarang!" titah Miranda tegas pada Fendi. Fendi menatap pintu apartemen Ray. Miranda memang memaksa Fendi untuk mengatakan dimana putra semata wayangnya berada.
Miranda semakin cemas karena tidak biasanya Ray kembali menghabiskan waktunya di apartemen tempat mereka berada sekarang ini.
"Maaf Bu, bapak tadi berpesan tidak ingin diganggu Bu."
"Buka Fendi, atau saya pecat kamu!" ancam Miranda.
"Ba.. Baik Bu." ucap Fendi takut. Tangannya menekan kombinasi sandi apartemen Ray.
Ceklek.
"Ray." teriak Miranda gan Geofany bersamaan.
"Ray." mereka berteriak. Mencari keberadaan Ray.
"Bapak di kamar Bu." Fendi memberi tahu tempat terakhir ia melihat sang atasan.
"Ray."
"Mi, Ray di sini." teriak Geofany panik melihat tubuh adiknya yang terpejam dibawah guyuran air shower.
"RAY." pekik Miranda shock.
"Fendi, bawa anak saya ke rumah sakit FENDI. BAWA ANAK SAYA!"
Situasi menjadi kacau. Teriakan kepanikan menggema dari bibir kedua wanita berharga Ray.
**
"Pi, Ray Pi." isak Miranda melihat kondisi putranya. Ray harus rela dirawat di rumah sakit karena kehilangan cairan dan suhu badannya yang tinggi.
"Miranda tenang." ucap Ferdinand. Ferdinand sendiri nampak gusar melihat anaknya yang terbaring lemah di atas ranjang pesakitan.
"Vero." rintih Ray.
"Vero."
"Pi, siapa Vero Pi? Kenapa anak kita menyebut nama itu terus Pi." isak Miranda didalam pelukan Ferdinand.
"Fendi."
"Iya pak."
"Siapa Vero?" tanya Ferdinand.
"Vero adalah anak dari Tuan muda, Tuan." jawab Fendi tanpa takut.
"Berikan pada saya semua data mengenai wanita itu, Vero dan Ibunya. Saya tidak ingin ada satupun yang luput dari kamu Fen." perintahnya tegas memeluk istrinya.
"Baik tuan."
Sedangkan di rumah orang tuanya Mellia terus saja terjaga. Sedari tadi tubuh Vero terus saja meninggi suhunya. Bahkan anaknya yang tidak pernah rewel akan terbangun hanya untuk menangis. Putranya hanya akan terpejam lalu terjaga kembali.
"Sayang, kok panas kamu nggak turun-turu. Jangan bikin Mommy khawatir sayang." isak Mellia.
"Belum turun Mel?" tanya Ditto membuka pintu kamar Mellia. Mellia menggelengkan kepalanya. Air mata terus saja turun dari pelupuk matanya. Kenapa dia cengeng sekali jika itu menyangkut Vero.
"Kita bawa ke rumah sakit aja Mell. Kasihan Vero." kata JIngga menggendong Axel yang tertidur.
Mellia kembali mengangguk. Mellia mengambil tubuh Vero yang terbaring. Digendongnya tubuh sang putra erat. "Sini, biar Abang yang gendong." tawar Ditto.
"Mel aja Bang." kekeuh Mellia. Ia tak akan tenang memberikan Vero pada orang lain, meski itu Abangnya sendiri.
****
Mellia menghembuskan nafas lega. Vero, putranya dapat tertidur nyenyak meski harus diinfus di rumah sakit.
Meski begitu tak membuat Mellia bisa terpejam, meski Vero terlelap sang putra masih merintih dalam tidurnya.
Di kamar lain, Ray bisa terlelap dengan damai. Entah mengapa perasaan tenang tiba-tiba menyeruak di dalam tidur lelaki itu. Seolah merasa bahwa semua telah membaik.
******
Mellia mengernyitkan kulit kepalanya saat Papi dari Ray berada diruang inap putranya dirawat.
"Mellia, bisa om bicara sama kamu?"
"Maaf Om, ada apa ya?" tanya Mellia.
"Ini mengenai Ray, dan kamu."
"Maaf Om, tidak ada apapun antara saya dan putra Om. Boleh Mellia meminta om untuk pergi dari sini?" pinta Mellia halus.
"Papa kamu, Haryo bukan? Saya bisa saja melenyapkan bisnisnya. Namun, saya pikir bisnis Papamu bukanlah sesuatu yang penting kan. Tapi kalau, bisnis keluarga besar sahabat kamu Jingga, istri dari Abang kamu? Bagaimana?"
Mellia mengeram keras. Papah, dia butuh Papanya saat ini.
"Om mau bicara dimana?" tanya Mellia tajam.
"Di kantin rumah sakit. Sepuluh menit, saya butuh kamu sepuluh menit."
Mau tidak mau Mellia meninggalkan Vero yang masih terlelap. Semoga saja, putranya tidak terbangun dan menangis.