SATU

1170 Words
"Mami, siapa jemput Cempaka?" tanya Jovan kepada istrinya. Alma yang sedang menata makan siang suaminya di showroom mereka menghentikan kegiatannya dan menatap suaminya itu. "Mau balik sendiri katanya dia nggak mau dijemput," jawab Alma. Jovan mendengus kemudian berjalan ke arah wastafel dan mencuci tangannya. "Tadi juga waktu dia telepon, Papi juga udah tawarkan mau jemput dia nggak mau," ujar Jovan lagi. "Dia katanya mau singgah ke suatu tempat untuk mengurus sesuatu," ujar Alma. "Aku khawatir dia nggak akan mau di Indonesia lagi lho, perasaanku begitu. Terlalu lama tinggal di luar negeri membuat anak itu keasikan dan lupa tanah air," keluh Jovan seraya duduk di depan istrinya dengan cemberut. "Iish Papi ih ... jangan bilang begitu, anak kita nggak mungkin begitu ah!" Abimanyu yang sedari tadi ada di ruangan yang sama dengan mereka, dan sedang menyelesaikan laporan bulanan menyimak setiap perkataan pasangan paruh baya tersebut. Ia jelas tahu siapa yang mereka bicarakan. Gadis manja usil yang selalu merecoki dirinya dan tak tahu malu sering kali menyatakan suka padanya, akhirnya kembali lagi. Abimanyu sebenarnya juga penasaran bagaimana penampakan Cempaka sekarang sudah lama sekali rasanya ia tak melihat gadis itu. Terakhir kali pertemuan mereka jelas sekali jika gadis itu selalu berusaha menghindarinya, tentu saja ia tahu sebabnya. Mungkin gadis itu, saat ini sudah sadar sekarang bahwa mereka tidak sederajat. Apalagi Cempaka sudah sukses, pastinya di negeri Paman Sam sehingga ia jarang sekali pulang jika tidak ibunya yang memaksa. Ponsel Alma berdering wanita itu segera beranjak mengangkatnya. "Halo Nak." "Mami, Cempaka masih sibuk nanti malam saja ya ke rumah?" ujar Cempaka yang tampaknya sedang sibuk, di belakangnya tampak terdengar bising suara kendaraan sepertinya anak itu sedang berada di pinggir jalan. "Kamu menginap di rumah kan?" tanya Alma. Terasa ada jeda sebelum Cempaka menjawab, "Nggak Mami, Cempaka nanti di apartemen saja. Cempaka masih harus meeting dengan Om Marco Wijaya." Suara Cempaka dengan rasa bersalah, ia tahu orang tuanya pasti sudah rindu berat padanya. Namun ia memang harus bertemu dengan Marco sekarang sebelum pria itu ke Bandung. Alma menghela napas, ia kecewa tetapi apa daya demi masa depan putrinya juga. Anak itu tidak mau membebani orang tuanya ia ingin mandiri tanpa memanfaatkan nama besar keluarganya. "Harus ya ketemu Marco sekarang?" tanya Alma lagi. "Iya Mami, maaf ya cantik. Emmuuach," rayu Cempaka. "Ya sudah kalau begitu, tapi kamu tetap harus singgah di rumah ya Nak. Semalam apapun kamu datang kami akan tunggu," pinta Alma, kemudian menutup telepon setelah mendapatkan jawaban dari Cempaka. Abimanyu mengerutkan dahinya penasaran saat mendengar nama Marco disebut. Pastinya tidak lain adalah Marco Wijaya, Ada hubungan apa antara Cempaka dengan Marco? Ώ Setelah bertemu dengan Marco, Cempaka langsung ke showroom karena ternyata pertemuan dengan Marco tidak membutuhkan waktu yang lama. Ia melirik jam tangannya yang masih menunjukkan jam empat sore pastinya ia masih sempat untuk singgah. Akhirnya setelah dua tahun berlalu hari ini ia kembali bertemu dengan keluarga intinya. Cempaka lalu turun dari taxi online dan dengan menyeret kopernya membawanya menuju kantor ayahnya. Sepanjang jalannya ia tak lupa untuk menyapa para pegawai ayahnya. Jantungnya berdetak kencang, ada satu orang yang sangat ia rindu sekaligus juga paling ia enggan temui. Namun apa daya saat ia menyandarkan kopernya di sebelah sofa dalam ruang tunggu dan membalikkan badan, ternyata orang tersebut telah berada di anak tangga paling bawah menatap ke arahnya dengan bersandar pada pegangan tangga seraya membawa cangkir kopi. Cempaka terkejut kemudian memalingkan wajahnya menuju pantry karyawan. Ia tidak Sudi melewati orang tersebut, bertemu kembali membuat hatinya jengah bukan main. Cempaka mengacuhkan orang itu dan menyibukkan diri sesampainya di pantry. Cempaka melihat banyak makanan tersaji di sana dan memutuskan untuk membuat teh hangat untuk dirinya, seleranya bangkit melihat aneka jajanan khas nusantara. Ia mengalihkan perhatiannya dari suara langkah kaki di belakangnya yang kemudian disusul suara kaca beradu dengan wastafel. Rupanya pria itu kesal ia acuhkan, biar saja toh pertemuan terakhir mereka juga sungguh tidak enak diingat dan membuatnya memutuskan untuk kembali ke Amerika lagi dahulu, tetapi ingatannya akan saat itu tak jua menghilang. Pikiran Cempaka melayang kembali mengingat kejadian pada saat hampir dua tahun yang lalu. Awal mula kejadian di mana ia segera membuat keputusan untuk kembali ke Amerika. Ώ Cempaka Akshita Atmaja tiba di bengkel besar Stromderdil milik ayahnya Jovan Adhi Atmaja. Tadi ayahnya menyuruhnya singgah ke bengkel guna mengambil vitamin ayahnya yang tertinggal di kantor, sedangkan bengkel yang sudah pasti tutup jam delapan seperti saat ini, karena bengkel sudah tutup sejak jam lima sore. Cempaka memarkirkan mobilnya persis di sebelah mobil city car berwarna merah. Kemudian melangkah membuka pintu samping menggunakan kunci cadangan miliknya. Baru beberapa langkah memasuki lantai dua, ia mendengar suara desahan dua anak manusia sedang memadu kasih. Suara sang pria ia tahu pasti siapa gerangan, suara itu sampai membuat bulu kuduknya meremang. Cempaka menggelengkan kepalanya yang tertutup oleh rambut berwarna coklat dan tergerai indah. Mencoba mengindahkan firasat buruk yang tiba-tiba bercokol di hatinya. Tidak mungkin pria itu berbuat seperti ini. Dengan langkah berat Cempaka memberanikan diri mendekati asal suara itu. Seketika matanya membelalak menatap adegan syur yang berada di depan matanya. Pria itu memeluk erat seorang wanita yang sudah tela*jang bulat bersandar pada tepi meja dengan salah satu kakinya berada dalam rengkuhan tangan kiri sang pria, dan sedangkan sebelah tangannya yang lain memeluk erat pinggang sang wanita merapatkan tubuh pol*s mereka. Mulut mereka saling melumat, lalu milik sang pria memo*pa, menghujam dalam-dalam sang wanita hingga lenguh kenikmatan terlepas bebas dari mulut keduanya. Cempaka terpaku tak dapat bergerak, airmatanya sudah jatuh bercucuran tak terbendung lagi sedangkan bahunya bersandar pada sudut tembok. Matanya tak bisa teralihkan dari pemandangan di depannya. Disaat yang bersamaan ulu hatinya terasa seperti tertekan oleh bongkahan batu dan pecah berkeping-keping. Cukup sudah! Saat itu juga sang pria menyadari jika mereka berdua tidak sendirian. Ia melirik ke arah Cempaka dengan tatapan tajam mengejek. Ia bukannya menghentikan aktivitasnya, tetapi malah semakin gencar menghujamkan miliknya menusuk inti sang wanita sedangkan sang wanita hanya bisa menjerit dan mengalungkan kedua tangannya di leher sang pria. Wajah Cempaka memucat dan rasa sesak di dadanya semakin menjadi. Cepat-cepat ia berbalik badan, dengan langkah kaki yang lemah dan terseok-seok segera mengambil vitamin sang ayah dan memaksakan dirinya untuk kembali ke arah mobilnya. Ia lupa jika tadi meninggalkan inhaler miliknya di dasbor mobil. Sesampainya di mobilnya ia segera menunduk di atas kemudi. Kemudian merendahkan tempat duduknya setengah berbaring dan menghirup inhaler-nya beberapa kali. Ia tak menyangka penyakit sesak nafasnya kambuh di saat begini. Jika ia harus melihat kejadian seperti itu, sebaiknya mungkin ia takkan kembali saja dan menemani si kembar adik sepupunya di Utah Amerika saja. Keputusannya kembali ke tanah air untuk menggapai cintanya sepertinya sia-sia saja. Apa yang harus aku lakukan? Merelakan cinta yang selama ini ku jaga. Lalu aku pergi dan membuka hati untuk cinta yang baru? Ataukah berusaha lagi memperjuangkan cinta ini? "Halo Tante Bunga." "Iya Nak ?" "Mbak jadi menerima pekerjaan di Dallas tante." "Bagus kalau begitu segera kemari ya. Tetapi kamu harus pergi ke San Antonio terlebih dahulu." "Siap Tante." "Oh ya Nak, Tante tak ingin melihat wajah kesedihanmu di sini, ok? Tante rindu wajah ceria Cempaka ku," ujar Bunga dikala waktu itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD