"Papa juga mau minta maaf sama kamu, Sayang. Papa belum bisa jagain kamu dengan baik. Papa janji, akan nemenin kamu selama beberapa hari tapi enggak bisa lama ya, Sayang, karena papa juga harus kerja. Enggak apa-apa kan?"
Anindya mengangguk. Bayu mengurai pelukannya dia memegang pipi anak kesayangannya dan menatapnya penuh kasih sayang. Anindya balas menatap papanya dengan perasaan yang sama.
"Mulai sekarang jangan males makan lagi, kamu harus makan yang banyak."
"Iya, Pa. Aku juga enggak akan ngambek lagi sampai bikin Papa sedih. Pokoknya aku janji jadi anak yang nurut lagi sama Papa."
Sebenarnya Bayu merasa agak aneh dengan perubahan Anindya yang tiba-tiba. Namun, dia tidak mau ambil pusing. Yang penting baginya sekarang Anindya sudah tidak ngambek lagi.
Bagas tiba-tiba nyeletuk. "Mas, Anin kayaknya udah makan tuh, habis pula. Hebat ya, Anin."
"Iya dong, anak papa pasti hebat karena makannya banyak, kalau makannya banyak nanti bisa cepet pulang. Tadi makan sama siapa, Sayang?"
"Sama saya, Tuan. Non Anin semangat banget makannya." Santi sengaja menjawab agar Anindya tidak keceplosan menyebut nama Hanna.
Anindya tersenyum lebar. Seperti janjinya pada Hanna, dia tidak menceritakan pada papanya jika tadi Hanna sempat datang dan menyuapinya.
"Papa jadi tambah semangat buat main sama kamu di rumah nanti, ya."
"Om juga diajak main ya, Nin. Masa mainnya cuma sama papa aja?" Bagas mulai protes pada Anindya.
"Papa sama Om antre dulu ya buat main sama aku karena tadi Papa minta duluan, jadi Om main sama aku kalau aku udah selesai main sama papa. Ok Om?"
"Ok lah. Asal bisa tetap bisa main sama keponakan om yang cantik ini."
"Makanya nikah biar bisa punya anak. Jadi, kamu enggak rebutan sama mas main sama Anin."
"Iya deh iya. Tapi, nikah itu bukan perkara mudah. Aku janji akan nikah tepat pada waktunya."
"Pa, aku boleh minta sesuatu enggak?"
Gadis kecil itu bertanya dengan hati-hati. Dia masih takut papanya akan marah karenanya.
"Mau minta apa, Sayang? Papa aku kabulkan permintaan kamu."
Mendengar itu rasa takut dan khawatir yang dirasakan Anindya lenyap. "Kak Hanna boleh kerja lagi di rumah?"
"Boleh, Sayang."
Anindya senang karena Bayu setuju. Dia akan menunggu Hanna datang besok dengan sabar.
Santi sesekali tersenyum mendengar obrolan majikan dan adiknya itu. Anindya pun merasa senang karena disayangi oleh papa dan omnya. Sementara Bagas merasa sedih dengan keputusan Bayu.
***
Malam hari di rumah Bagas. Dia sedang makan malam di rumah dengan Hanna. Pria itu menunggu cerita dari Hanna ketika perempuan itu berada di rumah sakit.
Hanna terlihat ceria dan banyak senyum sejak pulang dari menjenguk Anindya.
"Kamu kok senyum-senyum terus dari tadi? Habis ketemu cowok cakep ya tadi di rumah sakit?" Akhirnya Bagas bertanya karena sudah tidak sabar menunggu cerita dari Hanna.
"Hah? Cowok cakep, enggak ada deh Mas. Mas Bagas ada-ada aja deh. Tadi saya kan ketemu non Anin." Hanna malah bingung dengan ucapan Bagas.
"Eh iya, gimana tadi pas ketemu Anin? Cerita apa aja sama Anin?"
"Mas Bagas penasaran ya?"
"Rasa penasaranku udah sampe ubun-ubun tau."
"Ya udah aku cerita dulu nanti lanjut makan, tadinya mau cerita pas udah selesai makan. Tapi Mas Bagas udah penasaran banget. Tadi pas sampe di kamar non Anin, dianya belum bangun, terus enggak lama non Anin bangun."
Hanna melanjutkan makannya. Dia memang sengaja menjeda ceritanya agar Bagas semakin penasaran.
"Lanjut dong, kok sampe situ aja ceritanya?"
"Iya, Mas, iya. Terus non Anin bangun, dia cerita enggak mau sekolah dan makan, kayaknya dia marah sama tuan Bayu. Habis itu non Anin makan siang sampe abis. Mas Bagas kirim SMS itu pas banget non Anin selesai makan."
"Pantes aja makan siang Anin ludes semua, makannya sama kamu. Dia pasti semangat. Mudah-mudahan Anin segera baikan. Makasih ya Hanna udah mau jenguk Anin."
"Sama-sama, Mas. Makasih juga udah ngasih kesempatan aku ketemu Anin lagi. Besok aku ke rumah sakit bawa tas besar itu apa enggak usah?"
Perasaan Bagas yang tadinya seneng berubah sedih. Dia tiba-tiba merasa tidak ingin Hanna kembali ke rumah itu. Sejak kedatangan Hanna ke rumahnya dia tidak merasa kesepian lagi karena ada teman makan dan teman ngobrol.
"Bawa baju secukupnya aja. Kalau nanti kamu diusir lagi, kamu bisa tinggal di sini. Tapi saya sih enggak akan biarin kamu diusir lagi oleh Mas Bayu."
Bagas tidak berhak melarang Hanna untuk kembali bekerja di rumah Bayu apabila kakaknya itu meminta Hanna bekerja lagi di sana.
"Mudah-mudahan besok mood Mas Bayu lagi bagus, supaya kamu bisa kerja lagi di sana."
Bibir Bagas dan hatinya seorang tidak singkron. Saat dia mendoakan Hanna kembali bekerja di rumah Bayu, saat itu juga hatinya tidak rela Hanna bekerja di rumah itu lagi.
"Habis makan kamu langsung istirahat aja biar bisa bangun pagi-pagi. Besok aku anter ke rumah sakit tapi aku enggak turun, ya. Biar mas Bayu enggak curiga."
"Ok, Mas. Makasih ya Mas Bagas udah baik banget sama saya. Maaf belum bisa bales semua semua kebaikan, Mas. Nitip tas saya di sini, ya. Jangan dibuang walaupun isinya pakaian jelek."
Hanna tersenyum lebar membuat Bagas semakin tidak rela melepaskan Hanna.
"Enggak bakalan saya buang. Kan saya yang suruh kamu simpen di sini."
"Alhamdulillah. Sini piringnya Mas, biar saya cuci piring dulu sebelum tidur."
Mulai besok Bagas akan tinggal sendirian lagi. Dia akan merasa kesepian lagi tinggal sendirian di rumah.
***
Hanna berada di depan kamar perawatan Anindya. Sebelum masuk dia mengetuk pintu baru kemudian membuka pintu dan masuk.
Anindya yang melihat kedatangan Hanna berteriak karena senang melihat kedatangan Hanna. "Hore Kak Hanna dateng."
Berbeda dengan Bayu. Pria itu tetap dingin melihat kedatangan Hanna. "Saya mau ketemu dokter dulu. Titip anak saya. Oh ya, nanti setelah dari dokter saya mau bicara sebentar dengan kamu, bisa?"
Hanna mengangguk. "Iya, bisa, Tuan."
Bayu meninggalkan kamar perawatan Anindya. Baru kemudian Hanna berani mendekati tempat tidur Anindya.
"Hanna, kamu hari ini bakalan jadi pengasuh non Anin lagi, kan?" tanya Santi yang baru keluar dari kamar mandi.
"Wah, kalau itu aku enggak tahu, Mbak. Mudah-mudahan aja tuan Bayu minta aku kerja lagi jadi pengasuh non Anindya."
"Kemarin aku udah bilang sama papa. Terus papa setuju."
Hanna tersenyum. Dia tidak ingin merasa senang dulu, karena bisa saja Bayu berubah pikiran.
"Sarapan dulu ya, Non."
Pagi itu Hanna menyuapi Anindya lagi. Gadis kecil itu menghabiskan semua makanan paginya dengan semangat. Selesai sarapan, Bayu kembali ke kamar. Dia mengajak Hanan bicara di luar.
Pria itu mengajak Hanna duduk di kursi taman. Mereka duduk bersebelahan dengan jarak yang agak jauh.
"Saya enggak akan basa basi lagi. Mulai hari ini saya minta kamu jadi pengasuh Anin lagi. Kamu mau, kan?"