Hanna membantu gadis kecil itu duduk dengan menaikkan sebagian brankar. Tubuh gadis kecil itu masih terlihat lemah karena tidak mau makan selama tiga hari.
Perempuan itu menatap Anindya dengan tatapan sedih. Dadanya terasa sesak melihat majikan kecilnya terlihat semakin kurus. Dia membelai rambut Anindya dengan lembut dan perlahan.
"Non, apa kabar?" Bibir Hanna tersenyum tetapi hatinya teriris. Walaupun baru sebentar menjadi pengasuh Anindya tetapi dia sudah menyayangi gadis kecil itu seperti adiknya sendiri.
"Aku kangen Kak Hanna. Kak Hanna kenapa pergi? Mestinya Kakak melawan papa supaya enggak dipecat. Aku sedih ditinggalin sama Kakak."
Bulir bening mengalir dari kedua mata Hanna, dia merasa sedih mendengar Anindya juga merasa sedih.
"Hmm ... siapa yang ngajarin Non buat melawan sama papa? Om Bagas, mbak Santi sama papanya Non kan enggak pernah ngajarin begitu? Dulu waktu kak Hanna masih kecil, orang tua kak Hanna bilang anak-anak itu harus nurut sama orang tuanya kalau omongannya baik, enggak melawan orang tua. Jadi, siapa yang bilang gitu ke Non Anin?"
"Aku kan bilang sama Kakak aja. Enggak ada yang ngajarin. Coba aja kalau kemarin Kak Hanna berani sama papa pasti kak Hanna enggak akan dipecat, iya kan?"
"Non Anin salah, kalau kakak berani melawan papanya Non, yang ada semakin marah papanya Non."
"Papa enggak mau dengerin aku sama sekali jadi aku ngambek deh." Gadis kecil itu tersenyum. "Karena papa jahat padahal aku cuma belain Kak Hanna aja."
"Kalau papa enggak mau dengerin Non, biar kakak aja yang dengerin. Tapi sekarang Non makan dulu ya, mulai hari ini Non harus makan yang banyak, ok?"
"Kak Hanna enggak akan pergi lagi, kan?"
Gadis kecil itu sangat berharap Hannah tidak lagi pergi meninggalkannya. Setelah kepergian Hanna dia merasa kesepian lagi di rumah.
"Hari ini kakak harus pulang dulu, tapi besok pagi kakak ke sini lagi. Tapi, Non janji harus mau makan yang banyak nanti malam. Kalau enggak sama papa sama mbak Santi aja, ya?"
Anindya mengangguk.
Hanna mengambil makan siang Anindya yang sudah disiapkan pihak rumah sakit.
"Mbak Santi, ini semua makan siang non Anin, kan?"
"Iya, itu sudah semuanya. Belum dimakan sama sekali karena tadi non Anin belum bangun."
"Ok. Makasih ya, Mbak. Aku suapin non Anin dulu."
Hanna membawa nampan makan siang Anin mendekat, menarik meja, meletakkan semua di sana.
Dia membuka satu persatu plastik penutup piring. Menu makan siang Anindya adalah bubur dengan sayur dan protein.
"Non, baca doa dulu. Nanti kalau makanannya enggak ada rasa, dimakan aja ya, karena enggak boleh bilang makanan itu enggak enak, nanti Allah marah."
"Iya, Kak Hanna." Gadis kecil itu selalu menuruti ucapan pengasuhnya. Dia berdoa sebelum makan. Makan dengan perlahan disuapi oleh Hanna.
"Non, kemarin selama enggak ada kakak ngapain aja di rumah?"
"Nangis, Kak. Kalau inget Kak Hanna nangis, pintu kamar dikunci. Tapi kalau mbak Santi mau masuk, pintunya aku buka kalau papa enggak karena aku ngambeknya sama papa aja."
"Seharian cuma nangis? Enggak sekolah, makan dan minum?"
Hanna agak heran dengan Anindya, anak sekecil itu kemauannya keras sekali. Dia tidak menyangka Anindya bisa menjadi sekeras itu.
Gadis kecil itu menggeleng. "Enggak sekolah, enggak makan, kalau minum sekali-sekali karena mbak Santi ninggalin air minum di kamar."
"Jangan diulang lagi ya, Non. Kasian papanya Non pasti sedih banget lihat Non enggak sekolah, apalagi enggak makan."
"Enggak apa-apa, Kak. Soalnya papa jahat sih."
"Pokoknya nanti kalau papa ke sini, Non harus minta maaf sama papa, ok? Kalau enggak nanti kak Hanna enggak jadi ke sini deh."
"Ok, nanti aku minta maaf sama papa."
"Anak pinter. Ayo makan lagi, dihabiskan, ya!"
Santi mendekati Hanna. "Kamu bisa bikin non Anin makan banyak rahasianya apa?" Santi juga penasaran dengan apa yang dilakukan Hanna pada Anindya karena dia tidak pernah terlihat marah pada gadis kecil itu.
"Mbak Santi kepo, ya? Jawabannya rahasia."
"Loh kok rahasia?"
"Iyalah, kalau dikasih tahu nanti Mbak Santi jadi ikutan." Hanna tertawa. "Yang penting melayaninya dengan sepenuh hati. Pake hati loh Mbak, bukan ringan tangan."
"Oh gitu. Bisa enggak cara yang sama digunakan ke orang dewasa? Misalnya ke tuan majikan?"
"Kalau itu sih jangan coba-coba Mbak, yang ada nanti langsung dipecat dan diusir saat itu juga."
Hanna dan Santi tertawa bersamaan.
"Kak Hanna ama Mbak Santi ngomongin apa sih?"
"Eh, Non Anin, gimana makan siangnya? Enak?"
"Enak kalau makan sama kak Hanna."
"Waduh, ada sihir apa di tanganmu Hanna? Lama-lama enggak cuma anaknya nih yang nurut sama kamu, besok-besok bapaknya yang kepincut sama kamu." Santi menggoda Hanna.
"Apaan sih, Mbak?"
"Tapi kayaknya sih kakaknya belum nangkep sinyal kamu, adeknya yang duluan kayaknya. Jangan-jangan mas Bagas itu ada sesuatu sama kamu?"
Santi tiba-tiba terpikir dengan semua sikap baik Bagas dan bantuannya pada Hanna.
"Kayaknya bentar lagi bakalan terjadi perang dunia nih, siap-siap aja ya, Han. Cepat atau lambat itu bakalan terjadi."
"Mbak Santi kalau ngomong jangan aneh-aneh deh. Alhamdulillah non Anin makannya habis."
Ponsel Hanna bergetar. Dia menerima pesan dari Bagas agar dia segera pulang. Bagas sudah memesan ojek untuk Hanna. Dia sudah tidak bisa menahan Bayu lebih lama lagi.
"Non, kakak pulang dulu, ya. Kakak janji besok balik lagi ke sini."
Hanna pamit pada Anindya. Sebelum pergi dia membelai rambut gadis kecil itu.
"Mbak aku pulang dulu, ya. Tuan Bayu udah mau sampe sini lagi."
"Hati-hati ya, Han. Pokoknya kamu utang cerita sama aku."
Keduanya berpelukan sebentar.
"Ok. Besok aku ke sini lagi."
***
Bayu dan Bagas sudah kembali ke rumah sakit. Mereka berjalan menuju kamar perawatan Anindya.
Sepanjang jalan Bayu terus marah-marah pada Bagas karena telah memaksanya bertemu klien, tetapi klien itu tiba-tiba membatalkan rencana pertemuan. Padahal itu semua hanya akal-akalan Bagas saja. Dia terima semua amarah Bayu dengan senyuman karena rencananya berhasil.
Keduanya masuk kamar perawatan bersamaan. Bayu masih marah pada Bagas sehingga dia tidak menyadari kalau Anindya sudah bangun dan menatapnya dengan bingung.
"Pokoknya kamu harus ganti rugi karena udah maksa ketemu klien tapi nyatanya zonk."
"Kok ganti rugi? Mas Bayu loh hari ini libur. Mestinya enggak rugi apa-apa dong. Justru kalau tadi jadi ketemu klien, malah untung, bener enggak?"
"Kamu tahu kan Mas sekarang lagi jagain Anin yang kita enggak tahu kapan dia akan bangun." Pria itu melirik ke arah Anindya. "Pokoknya Mas minta ganti rugi!"
Bayu baru menyadari sesuatu. Saat tadi dia melirik sekilas dia melihat Anindya sudah bangun. Dia ingin memastikan apa yang tadi dia lihat. Dia menoleh kembali pada Anindya. Benar gadis itu sudah bangun.
Pria itu mendekati anaknya dengan perasaan lega bisa melihat Anindya bangun dan keadaannya baik-baik saja.
"Anak kesayangan papa sudah bangun ternyata. Papa seneng banget. Kamu jangan ngambek ngambek lagi ya, Nak."
Bayu memeluk Anindya dengan erat.
"Papa, aku mau minta maaf."
Bagai mendapat siraman air hujan pada hatinya yang gersang. Bayu merasa takjub mendengar anaknya meminta maaf.