Bab 13. Membujuk Hanna

1262 Words
Bayu sudah membawa Anindya ke rumah sakit. Dokter di ruang UGD juga sudah memeriksa keadaannya. Gadis kecil itu pingsan karena tidak mau makan dan minum. Dia juga mengalami dehidrasi. Dokter sempat heran pada Bayu, apa yang dia lakukan sampai Anindya tidak makan dan minum selama tiga hari. Bahkan dokter menjelaskan bahaya yang akan terjadi pada gadis kecil itu jika dia terus-terusan tidak mau makan. Hari ini Bayu tidak datang ke kantor, dia memberitahu sekretarisnya untuk membatalkan semua rapat hari ini. Pikirannya tidak tenang jika bekerja saat Anindya berada di rumah sakit. Bayu juga membawa Santi ke rumah sakit untuk membantunya menjaga Anin. Pada jam makan Bagas datang ke rumah sakit untuk menjenguk keponakannya. Dia berdiri di dekat brankar menatap gadis kecil yang terbaring lemah. "Kenapa bisa sampe begini, Mas?" Bayu menjawab pertanyaan Bagas dari tempat duduknya di sofa. "Keras kepala banget anak itu. Dia enggak mau makan selama tiga hari, dipaksa pun dia marah. Semakin dipaksa dia lempar piring makannya ke lantai. Mas enggak tahu harus membujuk Anin gimana lagi." Pria itu tertunduk pasrah, semua cara dia lakukan untuk Anindya tetapi tidak ada cara yang membuat anaknya mau makan. "Anin mogok makan karena pengen Hanna kembali ke rumah?" "Begitulah. Mas bujuk dengan es krim pun dia enggak mau sama sekali." Bayu menghela napas dengan kasar. "Tapi kalau dibiarkan kayak begini terus, bisa bahaya buat Anin, Mas. Mau enggak mau dia harus makan. Enggak mungkin kan dia terus-terusan dipasang selang infus begini?" Bayu hanya diam. Dia tahu betul bagaimana sifat anak kesayangannya itu, tetapi kali ini Anindya menjadi tidak seperti biasanya. "Padahal Hanna baru bekerja sebentar, tapi efeknya luar biasa pada Anin. Mas sebagai papanya aja sudah enggak dianggap sama sekali. Terus mas harus ngapain?" "Kenapa enggak coba ajak Hanna ke rumah sakit, terus lihat apa ada perubahan pada Anin. Kalau enggak ada perubahan sama sekali, Mas enggak usah mempekerjakan Hanna lagi." "Tapi, misalnya Anin mau makan lagi, Hanna harus jadi pengasuh Anin lagi?" "Kita lihat dulu ada perubahan atau enggak, baru nanti mas buat keputusan." "Ok. Tolong kamu hubungi Hanna, suruh datang ke rumah sakit." Kali ini Bagas tidak mau membantu Bayu. "Mas kan punya nomor HP Hanna, kenapa enggak telepon sendiri? Ceritakan semuanya pada Hanna, minta dia ke sini dengan baik. Inget jangan marah-marah." Pria itu menolak menghubungi Hanna karena dia ingin Bayu sendiri yang meminta maaf pada perempuan itu secara langsung. "Titip Anin, mas mau keluar sebentar." Bagas mengangguk. Pria itu bisa menebak jika kali ini kakaknya akan menelepon Hanna. Bayu keluar dari kamar perawatan, bergerak menjauhi kamar. Dia mencari taman di rumah sakit itu. Ada kursi di taman, dia duduk di sana. Pria itu masih menimbang-nimbang apalah dia harus menelepon Hanna atau mencari pengasuh lain. Namun, setelah dia berpikir lagi tentang kesehatan Anindya, dia putuskan untuk menelepon Hanna dan meminta perempuan itu datang ke rumah sakit. "Siang, Hanna, kamu ada di mana?" Tanpa basa-basi Bayu menanyakan keberadaan Hanna. Jika perempuan itu menjawab dia ada di kampung, Bayu akan memintanya datang ke Jakarta dan mengganti ongkosnya karena memang dia tidak tahu Hanna ada di mana saat ini. "Tuan Bayu? Saya ada di kampung. Ada apa, ya?" Hanna sengaja berbohong pada Bayu. "Begini, Anin sekarang ada di rumah sakit. Sejak kamu saya pecat, dia enggak mau makan dan minum. Dia cuma mau ketemu sama kamu. Kamu bisa enggak ke rumah sakit tempat Anin dirawat, alamatnya nanti saya SMS terus ongkos kamu dari kampung ke sini saya ganti. Saya minta tolong banget, semua demi kebaikan Anin. Kamu mau bantu saya, kan?" Tidak ada jawaban dari Hanna. Membuat Bayu menjadi frustrasi karenanya. "Kamu dengar suara saya kan, Hanna?" tanya pria itu untuk memastikan jika Hanna belum menuruti panggilan telepon. "Eh, iya, Tuan. Ke rumah sakit, ya? Saya kayaknya harus izin sama orang tua saya dulu. Mereka enggak mau saya pergi ke kota lagi." Bayu menjadi cemas karena ucapan Hanna. Dia berpikir apa yang bisa dia lakukan untuk membawa Hanna ke rumah sakit. "Apa perlu saya ngomong sama orang tua kamu, supaya mereka ngasih izin kamu jenguk Anin di rumah sakit? Atau kalau mereka enggak ngasih izin saya bisa jemput kamu ke kampung untuk ngomong langsung sama orang tua kamu, gimana?" Kali ini Bayu benar-benar mengharapkan Hanna mau membantunya dan dia rela merendah untuk melakukan apa saja demi Anindya. "Enggak perlu, Tuan. Biar saya yang ngomong sama orang tua saya. Kalau Tuan yang ngomong nanti mereka bingung." "Mudah-mudahan kamu dapet izin dari orang tua kamu. Saya tunggu di rumah sakit. Bentar lagi saya kirim alamatnya. Terima kasih banyak sudah mau membantu saya. Selamat Siang, Hanna." Bayu mengakhiri panggilan telepon. Dia sangat berharap Hanna mau datang. Mengingat selama ini Bayu tidak pernah bersikap baik padanya. *** Di kamar perawatan Anindya, Bagas mendapat telepon dari Hanna. Dia menerima panggilan itu di dalam kamar. "Iya, Hanna. Ada apa?" "Mas, barusan tuan Bayu telepon, minta saya datang ke rumah sakit." "Terus kamu bilang apa?" Hanna menceritakan semua pada Bagas jika dia sudah berbohong pada Bayu. Bagas tersenyum senang. "Enggak apa-apa, sekali-kali memang mas Bayu harus diberikan shock therapy kayak gitu. Terus kamu mau gimana?" "Pengennya mau langsung ke rumah sakit, kangen sama non Anin, pasti dia tambah kurus, ya?" "Iya, begitulah. Kamu siap-siap dulu, ganti baju, aku pesenin ojek online buat kamu datang ke rumah sakit." "Nanti tuan Bayu heran lihat aku datang ke sana sekarang." "Tenang aja nanti aku ajak Mas Bayu keluar. Kamu bisa jenguk Anin. Suruh dia makan yang banyak. Terus kamu pamit sama Anin bilang besok mau datang lagi. Besok kamu datang ke rumah sakit lagi, supaya dikira Mas Bayu kamu memang baru datang dari kampung. Paham, kan?" "Iya Mas Bagas. Kalau gitu saya ganti baju dulu. Nanti saya kirim SMS kalau udah siap." *** Ponsel Bagas bergetar , ada pesan dari Hanna, yang memberitahu jika dia akan segera tiba di rumah sakit. Bagas segera mencari akal untuk mengajak Bayu pergi dari rumah sakit. "Gawat, Mas." Bagas tiba-tiba mengagetkan Bayu. "Gawat kenapa?" Bayu menjadi penasaran karena ucapan Bagas. "Aku kan udah bilang sama klien, aku hari ini enggak bisa ketemu. Tahu enggak sekarang mereka ada di kafe deket rumah sakit ini. Temenin aku ketemu sama mereka." "Ya kamu temui sendiri lah, kenapa harus ngajak mas sih?" "Mereka juga pengen ketemu sama Mas Bayu. Mau ngajak kerja sama juga." "Mas enggak bisa, Gas. Siapa yang nungguin Anin kalau mas pergi?" "Ada Santi yang nunggu. Ayo jalan sekarang. Ini penting banget loh, Mas." Bayu tidak menjawab. Dia menarik lengan kakaknya dengan keras. Pria itu terpaksa berdiri dan mengikuti Bagas dan menitipkan Anindya pada Santi. Beberapa menit setelah kepergian Bagas dan Bayu, Hanna masuk kamar perawatan Anindya. "Mbak Santi!" Dia menyapa dan memeluk Santi. "Kangen." Dia mengurai pelukan itu. "Kamu tinggal di mana?" "Di rumah Mas Bagas." Hanna menoleh ke arah brankar menatap Anindya yang terbaring di sana. Perlahan dia melangkah mendekati brankar. Hatinya sakit melihat Anindya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Hanna menarik kursi mendekati brankar dia duduk di sana. Memegang tangan Anindya yang agak dingin. "Gimana ceritanya kamu bisa tinggal di rumah mas Bagas?" "Nanti aku ceritain ya, Mbak. Non Anin ada bangun enggak satu selama di rumah sakit?" "Belum, tapi kata dokter non Anin tidur udah enggak pingsan lagi." "Oh, mukanya pucet banget. Non Anin kenapa enggak makan sih?" Hanna cemas dengan kondisi kesehatan Anindya. Seperti yang dikatakan Bagas tadi dia harus membuat Anindya makan saat gadis kecil itu bangun. Saat Hanna sedang memijat tangan Anindya, gadis kecil itu membuka matanya. Dia masih menyesuaikan penglihatannya. Baru menoleh ke arah Hanna. Hanna senang melihat Anindya membuka mata. "Non Anin?" "Kak Hanna." Mata gadis kecil itu berbinar menatap Hanna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD