Hanna turun dari mobil Bayu membawa tas besarnya. Selama perjalanan ke rumah pria itu dia tertidur pulas. Mata perempuan itu membulat, terpana melihat rumah mewah dua lantai yang besar milik pria yang sebentar lagi akan jadi majikannya. Belum pernah dia melihat rumah sebesar itu di kampungnya.
"Waah, besar sekali rumahnya, Bapak. Pasti uang Bapak banyak banget, iya?"
Pria itu tidak menjawab. Dia mengajak Hanna mengikutinya masuk menuju ruang kerja tanpa berganti pakaian dulu.
"Duduk!" perintah Bayu pada Hanna menunjuk kursi yang ada di ruang kerjanya. "Saya akan membuat surat perjanjian utang yang harus kamu tanda tangani."
Hawa dingin terasa menusuk hingga ke tulang. Hanna merasakan itu sejak masuk ke rumah Bayu, tetapi bukan karena dinginnya AC, dingin yang disebabkan oleh sikap pemilik ruangan itu.
Bayu berjalan menuju meja kerjanya, menyalakan komputer lalu mengetik surat perjanjian. Dia membuat setiap poin di surat perjanjian mudah untuk dipahami oleh Hanna. Dalam pikirannya perempuan dari kampung itu pasti hanya lulusan SMA dan itu pun sudah bagus. Selesai membaca ulang surat perjanjian itu, dia mencetak sebanyak 2 lembar. Pria itu membawa surat perjanjian dan pulpen lalu duduk di kursi yang kosong.
"Kamu bisa baca?" tanya Bayu dengan tatapan meremehkan.
"Bisa, Pak."
Hanna menerima surat perjanjian itu dari Bayu. Dia membaca perlahan setiap poin yang ditulis oleh Bayu.
"Jadi, setiap bulan gaji saya dipotong setengahnya?"
Bayu mengangguk.
"Setiap saya melakukan kesalahan, gaji saya dipotong?"
Pria itu mengangguk lagi.
"Gila banget bapak ini. Aku aja belum tahu bakalan digaji berapa, tapi potongannya udah pasti begitu," kesal Hanna dalam hati.
"Jadi, dalam waktu dua tahun saya tidak boleh berhenti dengan alasan apa pun? Kalau berhenti, saya harus ganti rugi sebanyak lima puluh juta? Pak, ini enggak salah?" protes Hanna pada Bayu.
"Kenapa? Kamu enggak terima? Kalau gitu kita balik ke kantor polisi biar kamu di penjara karena enggak bisa ganti rugi kerusakan mobil saya!" Tidak hanya mengancam pria itu juga menatap Hanna dengan tajam seperti akan menelan gadis itu hidup-hidup.
Nyali Hanna menjadi ciut karena tatapan pria itu. "Jangan, Pak! Saya enggak mau di penjara. Saya tanda tangani saja surat ini."
"Dasar orang kaya, suka semena-mena dengan orang susah," batin Hanna. Hanna yang mulai menanda tangani salah satu surat perjanjian itu.
"Semua ada dua surat perjanjian, kamu tanda tangani dua-duanya!" Perempuan itu pun melakukan apa yang diperintahkan oleh Bayu. "Sudah semua, Pak. Jadi, kapan saya mulai bekerja?" Hanna menyerahkan surat perjanjian itu pada Bayu.
Bayu memeriksa semua surat perjanjian. Dia memberikan satu untuk Hanna. "Mulai besok kamu bisa bekerja di sini. Seperti yang kamu bilang sebelumnya kamu bisa ngurus anak, kan? Jadi, kamu akan jadi pengasuh anak saya. Namanya Anindya Raharja. Dia berusia 7 tahun, sekarang sekolah di international school elementary class." Pria itu tersenyum sekilas.
"Tugas saya ngapain aja, Pak?"
"Kamu harus mengurus semua keperluan anak saya mulai dari bangun tidur sampai dia tidur lagi. Kamu harus menyiapkan pakaian, sarapan hingga makan malam serta cemilannya, dan memastikan dia menghabiskan makanannya. Terus kamu harus menemani dia ke mana pun, mulai dari antar jemput sekolah dan juga les." Pria itu berdiri, berjalan menuju meja kerjanya. Dia membawa sebuah buku lalu memberikan pada Hanna. "Ini jadwal harian anak saya. Pastikan setiap malam kamu melaporkan semua aktivitas anak saya sebelum kamu tidur!"
Hanna membuka buku yang diberikan Bayu, membaca jadwal harian Anindya–anak Bayu. "Saya harus masak juga, Pak?"
"Tidak. Kamu cukup menyiapkan saja, urusan masak sudah ada pembantu lain mengurus semuanya."
"Oh, jam lima dia harus bangun pagi dan jam sembilan malam harus tidur. Itu mudah sekali," batin Hanna.
"Saya akan berusaha untuk bekerja dengan sebaik-baiknya, Pak." Hanna tersenyum lebar.
"Bagus. Oh ya, apa kamu punya HP?"
Hanna mengeluarkan ponsel keluaran tahun 2000-an dari saku. "Ini HP saya, Pak." Dia tunjukkan ponsel itu pada Bayu.
Pria itu berdecak saat melihat ponsel Hanna. "Berikan pada saya!"
Hanna menyerahkan ponselnya pada Bayu. Pria itu menyimpan nomor ponselnya di ponsel milik Hanna. "Ini nomor saya. Sudah saya simpan di HP kamu. Mulai sekarang kamu panggil saya, tuan Bayu, karena saya tidak setua itu untuk kamu panggil bapak terus-terusan."
"Baik, Tuan Bayu."
"Ya sudah, sekarang kamu istirahat. Di luar ruangan ini Santi sudah menunggu kamu. Dia yang akan menjelaskan lebih detail mengenai kerjaan kamu sebagai pengasuh Anindya. Kamu tanya saja sama dia kalau belum paham."
Setelah mendengar semua penjelasan dari Bayu, Hanna pun pamit meninggalkan ruangan kerja pria itu.
"Kita lihat berapa lama kamu akan bertahan bekerja sebagai pengasuh Anin." Pria itu tersenyum miring dengan tatapan dingin.
***
Santi dan Hanna sudah berada dalam kamar tidur pembantu di rumah Bayu. Keduanya sudah berkenalan sesaat setelah perempuan itu keluar dari ruang kerja majikan barunya.
"Di kamar ini ada dua ranjang. Ini ranjangku. Ranjang kosong itu buat kamu. Lemari juga ada dua, kamu bisa simpan baju-baju kamu di lemari yang ini." Santi menunjuk lemari yang ada di belakangnya.
"Oh iya, makasih ya, Mbak Santi." Hanna menyimpan tas besar miliknya dalam lemari pakaian, lalu duduk di tepi ranjang.
"Kamu enggak mandi dulu?"
"Kamar mandinya di mana, Mbak?"
"Di sana." Tunjuk Santi dengan jarinya.
"Ok. Eh, nanti aja mandinya Mbak. Aku penasaran sama tuan pemilik rumah ini, terus pembantu di rumah ini cuma Mbak aja?" Hanna merasa sangat penasaran dengan semua yang ada di rumah itu.
"Gimana ceritanya kamu bisa sampai ketemu tuan Bayu?"
Hanna menceritakan kejadian beberapa jam sebelumnya saat pertama kali dia bertemu dengan Bayu. Termasuk cerita tujuannya datang ke kota untuk mencari uang dan membantu melunasi utang orang tuanya.
"Itu rezeki namanya. Kamu bisa bertemu mendapat pekerjaan setelah ketemu tuan Bayu. Pembantu yang menginap di rumah ini cuma saya."
Mendengar ucapan Santi, mata Hanna membulat. "Di rumah sebesar ini pembantunya cuma Mbak aja? Istrinya tuan Bayu di mana?" tanya Hanna seakan tidak percaya.
Perempuan itu mengangguk. "Sstt, di rumah ini enggak boleh ngomongin istrinya tuan Bayu. Pembantu lainnya pulang ke rumah masing-masing. Ada juga tukang kebun datang dua hari sekali."
Mulut Hanna terbuka. "Ok, aku enggak akan tanya istrinya tuan Bayu lagi, terus kenapa yang lain enggak nginep juga kayak Mbak Santi?"
"Aku mau kasih tahu kamu, tapi ini rahasia, ya. Jadi, pembantu di rumah ini enggak ada yang betah. Standar kebersihan tuan Bayu itu beda. Bersih kata kita belum tentu kata dia. Debu sekecil apa pun itu pasti keliatan oleh tuan Bayu. Jadi, rumah ini hanya dibersihkan oleh jasa profesional aja. Untuk urusan makan non Anin ada chefnya sendiri. Kamu nanti tinggal bawa semua makanan ke meja makan setiap non Anin mau makan. Non Anin itu susah makan. Jadi, itu tugas kamu sebagai pengasuhnya kamu agar dia mau makan."
"Terus salah aku kalau non Anin enggak mau makan?"
"Iya, itu salah kamu. Kamu, kan pengasuhnya non Anin. Kalau enggak kamu nanti dipecat."
Hanna menelan ludah. Perasaan takut hadir seketika. Dia takut tidak bisa bekerja dengan baik dan dipecat di hari pertama kerja. Bayangan uang ganti rugi sebanyak lima puluh juta menghantui Hanna.
"Kalau enggak bisa bikin non Anin makan aku bakalan dipecat? Kok serem banget sih Mbak? Mbak kenapa masih betah kerja di sini?"
"Iya, sudah banyak pengasuh yang dipecat tuan Bayu, ada yang bertahan seminggu, dua minggu, paling lama satu bulan, tapi yang cuma sehari aja banyak. Kalau aku sih terpaksa, ya. Cari kerjaan sekarang susah, jadi aku betah-betahin aja kerja di sini karena butuh uang."
Rasa kantuk Hanna mendadak hilang, padahal dia harus bangun pagi untuk mengurus semua keperluan Anin besok pagi. "Oh iya ya. Besok aku harus ngapain aja, Mbak?" tanya Hanna, dia tidak mau hari pertama kerjanya mendapat teguran dari sang majikan.
"Bangun sebelum jam 5, terus ke kamar non Anin yang ada di lantai 2. Kalau sudah bangun dia akan langsung mandi. Terus siapin pakaiannya untuk sekolah."
Hanna memasang wajah memelas di depan Santi. "Mbak, besok pagi temenin aku, ya! Aku takut salah. Aku enggak mau dimarahi tuan Bayu di hari pertama kerja."
"Boleh. Besok pagi aku temani, kamu tenang aja! Ayo, sekarang istirahat biar bisa bangun pagi!"
Hanna mengangguk. Sebelum tidur dia membersihkan diri lebih dulu. Baru kemudian merebahkan diri di ranjang. Tubuhnya merasa lelah, tetapi matanya tidak bisa terpejam karena perasaan takut melakukan kesalahan esok hari. Dia merasa seperti masuk dalam perangkap yang dibuat oleh Bayu dan tidak bisa melarikan diri. Hanna terus terjaga dan baru tertidur pada jam tiga pagi.
Tepat jam lima pagi, Santi membangunkan Hanna. Susah payah dia membuka mata setelah mengusapnya berulang kali.
"Cuci muka dulu, terus kamu duluan ke lantai dua! Di atas ada dua kamar. Yang kanan kamar tuan Bayu, sebelah kiri kamar non Anin. Jangan salah masuk, ok?"
"Iya, Mbak."
Hanna turun dari ranjang sambil menguap. Dia segera ke kamar mandi untuk mencuci muka, setelah itu, dia berjalan menuju lantai dua ke kamar Anindya. "Tadi kata Mbak Santi kamar non Anin yang mana, ya? Oh iya, yang itu." Perempuan itu menunjuk salah satu kamar. Dia berjalan menuju kamar sebelah kanan. Awalnya Hanna mengetuk pintu dulu. Kemudian membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Suara berat dari penghuni kamar yang mulai familiar di telinganya membuat rasa kantuk Hanna hilang seketika.
"Mau apa kamu masuk ke kamar saya?"