Bab 3. Ketiduran

1454 Words
"Eh, Tuan Bayu. Kayaknya saya salah masuk kamar. Saya mau ke kamar non Anin, kok malah ke sini," ucap perempuan itu sambil menunduk. Hanna akan pergi meninggalkan kamar itu, tetapi Bayu yang sedari tadi mendengar penjelasannya malah berjalan mengelilinginya sehingga dia urungkan niatnya itu sampai ada kesempatan untuk keluar dari kamar majikannya. Pria itu terus menatapnya dengan tajam. Dia merasa curiga pada pengasuh baru anaknya itu. "Alah, paling kamu sengaja masuk kamar saya, buat cari tahu sesuatu. Awalnya kamu pura-pura bilang kamar ini enggak kekunci, terus masuk, kamu tahu kalau kamar ini haram untuk dimasuki oleh orang rendahan macam kamu?" Hanna memberanikan diri menatap majikannya karena merasa marah mendapat penghinaan disebut orang rendahan. "Asal Tuan tahu aja, saya sama Tuan itu sama-sama manusia, punya harkat dan martabat yang sama," ucap perempuan itu dengan napas yang memburu. Pria itu juga ikut terbawa emosi. Dia menunjuk wajah perempuan itu dengan telunjuknya. "Kamu itu cuma pengasuh di rumah ini, artinya kamu cuma pembantu! Saya majikan kamu, posisi saya ada di atas. Saya bisa memerintah dan memecat kamu sekarang juga kalau saya mau. Lebih baik keluar dari kamar saya sekarang atau saya pecat kamu sekarang! Ingat jangan pernah sekalipun masuk ke kamar saya, karena kamar ini haram untuk didatangi pembantu, mengerti?" Daripada mendapat masalah pagi itu, setelah minta maaf Hanna segera pergi menuju kamar Bayu. Walaupun Bayu memiliki wajah yang tampan dan fisik yang menarik, dalam pandangan Hanna pria itu tidak lebih dari seorang yang arogan dan tidak punya hati nurani. "Arrgh! Masih pagi sudah merusak mood orang aja! Dia pikir bisa pecat orang seenaknya aja? Emang duit lima puluh juta itu sedikit, dipecat gimana cara aku menggantinya," gumam Hanna sambil mempercepat langkahnya. Dia pun akhirnya sampai di depan kamar Anindya. Sebelum masuk Hanna mengetuk pintu perlahan dan membukanya juga dengan pelan. "Kamu habis dari mana? Aku tunggu dari tadi di sini kok enggak muncul. Katanya mau naik duluan?" protes Santi saat melihat sosok Hanna masuk kamar Anindya. Dia sudah lebih dulu tiba di kamar itu. "Mbak, maaf, tadi aku kebelet jadi balik lagi ke kamar mandi. Non Aninnya mana? Kok enggak keliatan?" tanya Hanna sambil mengedarkan pandangan mencari sosok Anindya. "Non Anin masih mandi. Pakaiannya sudah aku siapkan. Nanti kamu tinggal bantu dia memakai pakaian itu, ok?" Santi anggap Hanna sudah mengerti. Dia berjalan menuju pintu kamar, tetapi Hanna menahan lengannya. Perempuan itu menatap Santi itu dengan raut wajah yang memelas. "Mbak, temenin! Ini kan hari pertama aku kerja, aku masih takut salah. Jangan turun dulu, ya, please!" Melihat wajah Hanna yang memelas dan khawatir pengasuh baru itu akan mendapat omelan dari majikannya di hari pertama bekerja, Santi pun putuskan untuk menemani Hanna sampai Anindya berangkat ke sekolah. "Ok. Aku temani. Kamu udah mandi?" Hanna menggeleng kepala. "Ya sudah, nanti kalau non Anin sarapan, kamu mandi yang cepet karena kamu harus anter non Anin ke sekolah, paham?" "Iya, Mbak." Beberapa saat kemudian, seorang gadis kecil berwajah cantik keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arah mereka. Gadis kecil itu menutup tubuhnya dengan handuk. "Wah, Non Anin cantik sekali. Sudah siap buat sekolah hari ini?" Hanna memuji kecantikan anak dari majikannya itu. Sekilas wajah itu ada kemiripan dengan ayahnya. Dia hanya berharap Anindya memiliki sifat yang tidak sama dengan sang ayah yang mudah marah. Gadis kecil itu tersenyum lebar sampai terlihat deretan giginya yang putih. "Kamu siapa?" "Ini yang Mbak ceritain tadi, Non. Pengasuh baru buat Non Anin. Namanya Hanna." Santi memegangi kedua bahu Hanna. "Selamat Pagi, Non Anin. Aku Hanna, Non Anin boleh panggil aku apa aja, kakak atau mbak juga boleh." Hanna mengembangkan senyum. Dia menunggu reaksi dari Anindya. "Aku panggil Kakak Hanna aja, ya?" Gadis kecil itu tersenyum lagi. "Syukurlah, ternyata anak ini enggak mewarisi sifat sombong dari ayahnya," batin Hanna merasa lega. "Sekarang Non Anin pakai baju dulu, terus sisiran yang rapi, sarapan pagi baru berangkat ke sekolah, ok!" Gadis kecil berambut keriting itu mengangguk. Hanna bergerak cepat mengeringkan tubuh Anindya dengan handuk, lalu memakaikan pakaiannya. Dia mengajak gadis kecil itu duduk di meja rias untuk menyisir rambutnya. Di sana, Hanna melihat banyak aksesoris yang dimiliki Anindya untuk menghias rambutnya. Dia pun mengikat rambut gadis kecil itu dengan ikatan ekor kuda dan mengakhirinya dengan memakaikan jepitan di bagian atas kepala Anindya. "Selesai." Perempuan itu tersenyum puas menatap Anindya yang sudah rapi dan siap untuk sarapan. Santi yang mengawasi pekerjaan pengasuh baru itu sedari tadi merasa puas dengan hasil kerja Hanna. "Sekarang waktunya sarapan." Ketiganya keluar dari kamar, menuruni anak tanggal menuju ruang makan. Sarapan pagi ini sudah disiapkan oleh Santi. Ada sereal, roti dan s**u yang sudah tersaji di meja makan. "Kamu mandi dulu, biar aku yang bantu non Anin sarapan!" bisik Santi di telinga Hanna. "Tuan Bayu enggak ikut sarapan bareng non Anin, kan?" Perempuan itu memastikan majikannya tidak turun ke meja makan selama dia mandi agar dia tidak dikira malas bekerja. "Tenang aja, misalnya tuan Bayu nyariin kamu, aku akan cari alasan supaya kamu aman." Hanna bergegas kembali ke kamar untuk mandi dengan cepat dan berganti pakaian yang menurut dia cukup rapi untuk mengantar Anindya ke sekolah. Saat kembali ke ruang makan, dia melihat sosok Bayu duduk di salah satu kursi di meja makan sedang menyantap roti. "Mampus deh aku. Semoga aja tuan Bayu enggak kepikiran buat mecat aku lagi." "Makan apa kamu kemarin sampai bolak balik ke kamar mandi? Jangan sampai anak saya terlambat datang ke sekolah karena kamu minta berhenti di tengah jalan karena diare!" Bayu berkata dengan ekspresi wajah datar dan dingin. "Hah? Diare, siapa yang diare?" Hanna merasa bingung sendiri. . Di tengah rasa penasarannya, tiba-tiba Santi mencubit pinggang Hanna sehingga perempuan itu akhirnya mengerti. "Kamulah, siapa lagi? Enggak mungkin saya, kan?" Pria itu menatap tajam ke arah Hanna. "Oh iya, tenang aja, Tuan, saya sudah minum obat kok. Jadi, enggak akan diare pas nganter non Anin ke sekolah." Hanna tersenyum canggung coba menutupi sandiwara yang dibuat Santi. Bertepatan dengan itu, Anindya sudah selesai sarapan. Dia berjalan mendekati papanya lalu mencium tangan pria itu. "Semangat belajarnya ya, Nak," pesan Bayu pada anak tersayangnya dengan lembut. Dia juga mencium kedua pipi dan kening anaknya. "Cepat antar anak saya!" "Iya, Tuan. Saya permisi dulu." "Bisa juga, ya, tuan Bayu bersikap semanis itu. Ah, tapi itu nggak akan merubah penilaianku, dia tetap pria yang angkuh dan pemarah," batin Hanna menilai Bayu dengan sinis. *** Siang harinya, di ruang kerja Bayu, pria itu sedang menelepon Hanna untuk mengingatkan agar menjemput anaknya tepat waktu. Belum selesai panggilan telepon itu, seorang pria masuk ke ruangan setelah sebelumnya mengetuk pintu. Buru-buru Bayu mengakhiri panggilan telepon. "Ada urusan apa kamu ke sini? Emang enggak ada kerjaan?" Bayu mengerutkan dahi melihat kedatangan orang itu. Pria yang baru saja masuk adalah adik Bayu bernama Bagas. Bayu dan Bagas adalah CEO dari perusahaan keluarga Raharja di bidang yang berbeda. Bagas duduk di kursi yang ada di ruangan kerja Bayu. "Tadi aku dengar Mas nyebut nama Hanna. Siapa Hanna? Pacar baru Mas Bayu?" tanya pria yang usianya terpaut lima tahun dari kakaknya. "Bukan pacar. Dia pengasuh Anin yang baru. Kamu belum jawab pertanyaan mas, Dek." "Aku mau meeting di restoran dekat sini. Pengasuh baru? Dapet dari mana? Hmm ... aku penasaran berapa lama pengasuh baru itu akan bertahan bekerja di rumah Mas Bayu? Aku mau kasih saran, jangan terlalu keras sama pengasuh Anin, Mas, melunaklah sedikit supaya enggak gonta-ganti pengasuh terus! Kasian Anin, kan?" Kakak-beradik itu memang memiliki sifat yang berbeda. Bayu sang kakak memiliki sifat yang sombong sedangkan sang adik memiliki sifat yang ramah pada orang, kebalikan dari sifat kakaknya. Bayu menghela napas dengan kasar. "Mereka terlalu sering melakukan kesalahan. Bahkan Hanna pun tadi pagi masuk ke kamar Mas tanpa izin. Mas curiga dia ada niat jahat. Untungnya sih ketahuan. Gimana kalau tadi pagi Mas mandi, mungkin ada barang yang akan dia curi dari kamar." "Siapa tahu dia cuma salah masuk kamar saja. Namanya orang baru. Jangan terlalu banyak curiga, Mas!" Bagas mengingatkan kakaknya jika tidak semua orang memiliki niat jahat. "Yah namanya orang kecil, Dek. Apalagi katanya orang tua dia banyak utang, bukan enggak mungkin kan kalau dia mau mengincar harta Mas?" "Bisa aja sih tapi enggak semua orang itu jahat. Ya sudah aku pamit, bentar lagi mau meeting. See you, Mas." *** Tepat pukul setengah dua siang, Santi masuk kamar untuk membangunkan Hanna karena perempuan itu harus segera pergi untuk menjemput Anindya. Namun nyatanya, Hanna hanya bangun sebentar dan malah tidur kembali setelah Santi pergi. Bahkan setengah jam kemudian saat alarm pada ponselnya berbunyi, Hanna masih sulit membuka matanya yang terpejam. "Duh, aku masih ngantuk banget." Hanna mulai meraba sebuah nakas yang ada di dekat ranjang tidur untuk mengambil ponselnya. "Gawat! Udah jam dua. Mati aku!" Perempuan itu seketika bangkit dari posisi tidurnya. Duduk di atas ranjang dengan kedua mata yang terbuka lebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD