Bab 10. Kak Hanna Mana?

1129 Words
Bayu mendekati pecahan guci yang berserakan di lantai. Menatap nanar pada pecahan guci itu. Guci yang pecah itu adalah guci kesayangan mamanya yang sengaja dia simpan sebagai benda kenangan setelah mamanya meninggal. Muka Bayu berubah merah padam. Napasnya mulai menderu dan dadanya bergerak naik turun. Tidak ada maaf lagi untuk Hanna kali ini. "Santi kamu bawa Anin ke kamarnya, kemudian bereskan pecahan guci ini! Dan kamu Hanna, ikut saya!" Pria itu menunjuk wajah Hanna dengan perasaan sangat marah. Dia tidak peduli siapa pun yang memecahkan guci itu. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Hanna yang melakukan kesalahan. Perempuan itu jalan menunduk mengikuti Bayu ke ruang kerjanya. Masuk ruangan tetapi tidak berani untuk duduk di kursi yang ada di ruangan itu. Dia memilih untuk tetap berdiri. Bayu mengatur napas sebelum bicara dengan Hanna. Dia menarik napas panjang. "Kamu tahu benda apa yang pecah di ruang tamu?" Hanna menunduk, dia tidak berani menatap majikannya yang terus menatapnya dengan tajam. "Gu–guci, Tuan." "Kamu tahu betapa berharganya guci itu buat saya?" "Tidak, Tuan." "Guci itu peninggalan almarhum mama saya. Artinya benda itu sangat berharga. Bahkan harga guci itu pun lebih mahal daripada harga diri kamu!" Sakit hati Hanna diremehkan oleh Bayu. Namun, dia sadar posisinya di rumah itu hanya seorang pembantu. Dia melakukan kesalahan atau tidak tetap akan dianggap bersalah. Dia melakukan kesalahan sekecil apa pun adalah masalah besar bagi Bayu. Hanna semakin menunduk. Air matanya mulai membendung di kelopak mata. Sekuat tenaga dia tahan agar air mata itu tidak sampai jatuh. "Mulai malam ini kamu saya pecat! Tinggalkan rumah ini dan jangan pernah kembali lagi. Lupakan semua utang kamu dan ganti rugi lainnya. Semua saya anggap lunas karena saya sudah tidak mau lagi ada urusan dengan kamu." Hanna membalikkan tubuhnya, berjalan meninggalkan ruang kerja Bayu. Tidak ingin membela diri, dia terima keputusan dari Bayu. Baginya percuma membela diri atau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, karena pria arogan itu tidak akan pernah mendengarkannya. Perempuan itu membereskan semua pakaian. Dia masukan dalam tas besar yang dia bawa dari kampung. Dia tinggalkan kamar itu dan rumah tempat dia bekerja selama beberapa hari kemarin. "Hanna mau ke mana?" tanya Santi saat perempuan itu melewati ruang tamu. "Aku dipecat, Mbak Santi. Aku pergi dulu, maaf kalau selama ini aku ada salah." Hanna menghentikan langkah menjawab pertanyaan Santi. Sedih rasanya berpisah dengan perempuan itu, walaupun dia hanya mengenal Santi selama beberapa hari, dia merasa perempuan itu sudah seperti saudaranya sendiri. Santi menghambur dalam pelukan Hanna. Air matanya luruh. Dia merasa sesak melihat Hanna menjadi tertuduh dan dipecat untuk kesalahan yang tidak dia lakukan. "Sabar ya. Jaga diri baik-baik. Semoga kamu dapet pekerjaan yang lebih baik." Hanna menepuk pundak Santi yang masih memeluknya. Perempuan itu mengurai pelukannya. "Makasih ya Mbak Santi. Semoga kita masih bisa ketemu lagi. Aku pamit ya, Mbak." Saat Hanna membalik badan, Bagas membuka pintu dan masuk rumah. Melihat Hanna membawa tas besarnya, pria itu mengerutkan dahi. "Kamu mau ke mana?" "Saya dipecat sama tuan Bayu, Mas." Hanna memaksakan diri untuk tersenyum seolah tidak terjadi sesuatu pada dirinya. "Tunggu di sini dan jangan ke mana-mana. Aku mau ketemu Mas Bayu dulu." Bayu berkata sambil memegangi bahu Hanna. Lalu dia tinggalkan perempuan itu untuk menemui kakaknya di ruang kerja. "Mas mecat Hanna? Dengan alasan apa?" Bagas penasaran dengan kesalahan yang dilakukan oleh Hanna sampai Bayu marah besar dan memecatnya. "Dia sudah memecahkan guci kesayangan mama. Kamu tahu kan guci itu satu-satunya peninggalan mama? Wajar dong aku marah besar?" Bayu berkata dengan santai dan tenang. Ya, setelah memecat Hanna perasaannya menjadi lebih tenang. "Oh, karena itu? Mas enggak ada perasaan kasian pada Hanna sama sekali? Aku pikir Mas sudah berbuat baik karena memberikan pekerjaan pada Hanna walaupun dia ada utang sama Mas. Ternyata aku salah." "Kamu suka sama Hanna? Ingat, Gas masih banyak perempuan yang lebih baik dari dia. Ini mas mengingatkan kamu sekali lagi. Cari saja perempuan lain, jangan Hanna." "Aku lihat Anin bahagia saat bersama Hanna dan aku belum pernah lihat dia sebahagia itu saat bersama pengasuh yang sebelumnya. Coba pertimbangkan sekali lagi Mas. Jangan sampai Mas menyesal." "Keputusanku sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat." "Ok. Aku pamit pulang, Mas." Bagas keluar dari ruang kerja Bayu mencari Hanna di ruang tamu. Dia merasa lega karena perempuan itu masih menunggunya. "Hanna, ikut saya!" Hanna bangkit dari sofa membawa tas besarnya mengikuti langkah Bagas menuju mobil. "Saya mau dibawa ke mana, Mas?" "Ke rumah saya. Ayo masuk!" *** Di perjalanan menuju rumah Bagas, tangis Hanna pecah. Dadanya terasa nyeri saat teringat ucapan Bayu padanya. Bagas merasa kasihan pada Hanna. Dia yakin perempuan itu pasti mendapat perlakukan buruk dari kakaknya. "Mas Bayu bilang apa sama kamu?" "Katanya guci itu jauh lebih berharga dari harga diri aku," ucap Hanna sambil terisak. "Mas Bayu kalau ngomong memang suka kelepasan. Sabar ya, Hanna." Bagas menepuk pundak Hanna sambil menyetir dan memperhatikan jalan. Hanna mengangguk dan tetap menangis sampai rasa sesak di dadanya berkurang. "Kalau capek, kamu tidur aja dulu. Nanti kalau sudah sampai saya bangunin." *** Tiba di rumah Bagas. Hanna diajak masuk ke rumah itu. Rumah yang ditempati Bagas tidak sebesar rumah Bayu. Rumah sederhana dengan dua lantai dan dua kamar. Satu kamar di atas di tempati oleh Bagas dan satu kamar di bawah dibiarkan kosong. "Ini rumahku. Lebih kecil kalau dibandingkan dengan rumah Mas Bayu. Mulai sekarang kamu boleh tinggal di sini untuk sementara sambil mencari kerjaan lain. Kalau nanti kamu enggak dapet kerjaan lain, kamu boleh kerja di rumah ini. Kebetulan aku enggak ada pembantu buat bersih-bersih rumah. Semua aku kerjain sendiri." Hanna merasa kagum pada Bagas. Pria itu berbeda jauh dengan kakaknya. Bagas tinggal di rumah sendiri bahkan membersihkan rumahnya sendiri. Hal itu singing jarang terjadi. "Rumah Mas Bagas bagus kok. Kecil tapi keliatannya nyaman. Mas Bagas belum nikah? Kok masih tinggal sendiri?" Bagas tersentil dengan pertanyaan Hanna. Dia belum memiliki pacar bahkan menikah di usianya yang menginjak 30 tahun. "Nikah? Belum kok, pacar aja enggak punya. Siapa yang mau sama saya. Enggak ada." "Hah? Masa? Aku enggak percaya kalau Mas Bagas belum punya pacar. Mas itu ganteng loh, yah kalau belum nikah itu masih wajar lah tapi enggak punya pacar itu enggak mungkin." Hanna benar-benar tidak percaya dengan ucapan Bagas. Tidak mungkin orang setampan Bagas belum memiliki seorang pacar. "Tapi buktinya aku enggak punya pacar kok. Sekarang udah malam, kamu istirahat dulu. Kamar kamu yang di ujung itu, ya. Kamar saya ada di atas. Selamat beristirahat, Hanna." "Iya Mas. Terima kasih untuk bantuannya. Kalau misalnya enggak ada Mas aku enggak tahu deh malam ini harus tidur di mana. Bersyukur banget bisa ketemu Mas Bagas di waktu yang tepat." *** Pagi hari di rumah Bayu. Santi masuk kamar Anindya setelah mengetuk pintu kamar. Gadis kecil itu bingung saat melihat Santi hanya datang sendiri dan langsung menutup pintu kamar. "Mbak kok sendirian? Kak Hanna mana?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD