Kehidupan Baru

1199 Words
Selepas salat Subuh, Gus Zeehan bersiap pergi ke bandara. Sang sekretaris telah menunggunya, lengkap dengan semua keperluan yang dibutuhkan. Wanita berpakaian ketat—hingga lekuk tubuhnya tampak begitu jelas—itu telah bekerja hampir dua tahun dengannya. Belum ada niatan untuk memecat, meskipun Bu Nyai kerap melayangkan protes. Danila, sekretaris itu, memang cerdas dan sangat cekatan dalam bekerja. Dia bukan hanya mengurus urusan kantor, tetapi juga keperluan pribadi sang bos. Sayangnya, wanita itu gemar berpakaian minim. Kalau kata Bu Nyai, seperti tidak berpakaian sama sekali. "Apa ini, Gus?" tanya Salwa ketika suaminya tiba-tiba menyerahkan dua buah kartu berwarna hitam padanya. "Nafkah untukmu. Mulai sekarang, aku yang akan menanggung kehidupanmu dan Abi," jawab Gus Zeehan. "Aku tidak membutuhkannya," tolak Salwa. Gus Zeehan tak punya banyak waktu untuk merayu istrinya. Kartu hitam itu bukan kartu biasa. Hanya segelintir orang yang memilikinya. Namun, bukan ini yang diinginkan Salwa. Jika pun tidak saling mencintai, setidaknya saling menjaga perasaan. "Hati-hati di jalan, Gus. Aku pamit, mau pulang ke rumah sebentar." Gus Zeehan mencekal tangan istrinya saat hendak pergi meninggalkan kamar, memintanya duduk kembali. Masih ada hal yang perlu dibicarakan. Terpaksa Salwa menurut, menahan sesak di dadanya lebih lama, sebagai bentuk hormat pada sang suami. "Aku tidak mau terus berdebat dengan Eyang Abah dan Eyang Umi hanya karena kamu. Jadi, ambil kartu ini. Semua kebutuhanmu akan diurus asistenmu. Akan ada juga orang yang membantu merawat Abi Hasbi. Mulai sekarang, fokuslah pada sekolah dan hafalanmu," ujar Gus Zeehan pelan. "Terima kasih. Gus Zeehan bisa pergi sekarang. Jangan khawatir soal Eyang Uti dan Akung. Aku akan bicara hal-hal baik tentangmu setiap kali mereka bertanya." "Ternyata kamu paham isi kontrak pernikahan kita. Kalau begitu, aku pergi dulu. Bulan depan aku tidak bisa pulang karena pekerjaan menumpuk. Buatlah alasan agar Eyang Abi tidak marah padaku." "Iya," jawab Salwa lirih. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca saat menyaksikan kepergian suaminya. Dari balik pintu kamar yang tertutup, terdengar suara tawa seorang wanita. Danila, sang sekretaris, rupanya sudah menunggu sejak tadi dengan tidak sabaran. Bahkan nyaris menerobos masuk ke dalam kamar, jika saja tidak ditegur Mbak Yanti. "Salwa, ayo ikut Mbak." Tangan Salwa ditarik Mbak Yanti. Mereka berlari menuju taman yang berada di sisi area parkir. Keduanya bersembunyi di bawah gazebo, mengintip kepergian Gus Zeehan bersama si sekretaris centil. "Kita mau ngapain sih, Mbak?" "Ssst... jangan keras-keras. Nanti kuda nil betina itu lihat kita." "Kuda nil?" "Danila maksudku, Salwa." Salwa mengamati interaksi antara suami dan sekretarisnya. Terlihat akrab, saling bercanda dan melempar senyum. Seolah tak ada batasan. Mungkin karena Gus Zeehan besar di luar negeri, dia tidak terbiasa dengan batasan antara pria dan wanita bukan mahram. "Ckck, sok cantik banget sih. Kalau nggak pakai baju terbuka, nggak bakal ada yang tertarik. Kulitnya aja burik. Jauh mulus kamu." "Istighfar, Mbak. Nggak boleh julid loh." "Kamu santai banget sih suami digondol kuda nil. Harusnya kamu usir dia dari sisi Gus Zeehan." "Gimana caranya? Mbak Yanti tahu sendiri sikap Gus Zeehan ke aku. Aku memang istrinya, tapi cuma pengganti. Jadi nggak bisa banyak nuntut." "Salwa..." "Santai aja, Mbak. Gak masalah kalau nggak dapat perhatian. Yang penting aku bisa tetap tinggal di Magelang, merawat Abi, dan lanjut sekolah." Mbak Yanti memeluk Salwa, menyemangati gadis yang sejak kecil diasuh olehnya. Takdir Allah memang tak bisa ditebak. Setiap orang punya ujiannya masing-masing. Dan bagi Salwa, ujiannya adalah suaminya sendiri—cucu menantu kesayangan Pak Yai dan Bu Nyai. "Salwa cantik harus kuat. Nggak boleh sedih meskipun nggak dikasih perhatian." "Nggak bakal sedih kok. Lagian, dari dulu juga cuma Mbak Yanti yang perhatian sama aku. Iya, kan?" Gemas dengan respon Salwa, Mbak Yanti mencubit pipinya, membuat Salwa berteriak pelan. Tanpa mereka sadari, Gus Zeehan memperhatikan dari dalam mobil. Dia melihat senyum Salwa saat bercanda dengan Mbak Yanti, meski tak bisa mendengar isi pembicaraan mereka. *** "Salwa tidak ke pondok?" tanya Abi usai sarapan. "Salwa ke pondok setelah orang yang akan mengurus Abi datang," jawab Salwa sambil membereskan meja makan. "Siapa yang akan mengurus Abi, Nak?" "Namanya Pak Reno. Kalau asisten Salwa, Bu Diana." "Gus Zeehan yang menyiapkan mereka?" "Iya, Bi. Sebelum ke Singapura, tadi beliau sempat menjelaskan semuanya." "Suamimu kembali ke sana?" Salwa mengangguk, tak ingin memperpanjang pembicaraan. Ia bukan pembohong, dan Abi mengenalnya terlalu baik. "Lalu kapan dia akan kembali?" "Setiap bulan akan pulang. Tapi tanggal pastinya belum tahu." "Syukurlah kalau hanya sebulan." Mereka duduk di ruang tamu, menunggu para asisten datang sambil murojaah. Hafalan Salwa tinggal dua juz lagi untuk khatam. Setengah jam kemudian, tamu yang ditunggu datang. Salwa masuk ke dapur untuk menyiapkan minuman, sementara Abi berbincang dengan mereka. "Saya tidak tahu mengapa perlu asisten. Saya dan Salwa tidak bepergian jauh, apalagi melakukan pekerjaan berisiko," ucap Abi. "Pak Zeehan menugaskan saya membantu Abi Hasbi ketika Ning Salwa ke pondok. Bu Diana akan menemani Ning Salwa ke mana pun," jelas Pak Reno. Salwa datang membawa teh hangat dan ketela goreng. Dia sempat mendengar bahwa dirinya akan dikawal Bu Diana. Memangnya dia siapa hingga perlu pengawalan segala? Hidupnya hanya berkisar antara pondok dan rumah. Paling jauh ke kebun saat panen, itupun diantar Mbak Yanti. "Saya sudah tiga tahun sakit stroke. Aktivitas hanya di rumah. Kalau ada pengajian di pondok pun sudah tak ikut," ujar Abi. "Saya juga begitu. Sepertinya agak berlebihan kalau sampai pakai pengawal." Pak Reno menjelaskan bahwa kini Salwa adalah istri pengusaha muda yang dikenal publik. Banyak pihak yang mencoba mencari tahu kehidupan pribadi Gus Zeehan, termasuk keluarganya. Karena itu, pengamanan dibutuhkan. "Apa Bu Diana akan masuk kelas saat saya sedang mengaji?" "Tidak, saya akan menunggu dari kejauhan agar tidak mengganggu." "Kalau begitu, saya setuju. Abi juga?" Abi Hasbi mengangguk setuju, tapi minta maaf dulu jika kelak merepotkan. "Itu tugas saya, Abi. Anggap saya anak tertua Abi," ucap Pak Reno. "Saya anak kedua Abi," sahut Bu Diana sambil tersenyum. Salwa bersiap ke pondok. Hari ini dia harus setor hafalan ke Bu Nyai. Meski sudah menjadi cucu menantu, dia tetap harus taat aturan pondok. Kehidupan barunya dimulai. Dulu pusing mengurus rumah dan Abi, kini fokusnya hanya belajar. Apa tak ada yang membicarakannya? Tentu saja ada. Beberapa santri terang-terangan menyindir, menuduhnya menawarkan diri jadi istri Gus Zeehan. Bahkan membandingkan dirinya dengan mantan calon istri suaminya yang kabur—katanya Salwa tak secantik itu. "Salwa, kenapa malah melamun? Masuk sini, Nak," panggil Bu Nyai dari perpustakaan. Salwa sempat berhenti sejenak. Matanya terpaku pada foto pernikahannya yang terpasang di dinding. "Jangan dipandang terus, Nak. Kalau kangen, boleh ditelpon. Sudah halal," goda Bu Nyai. Salwa mendekat, mencium tangan Bu Nyai, lalu merengek, minta jangan digoda. "Sayangnya Eyang Uti. Terima kasih ya, Nak, sudah menerima pinangan dadakan dari Eyang." Salwa mengangguk, membalas pelukan hangat Bu Nyai. Dalam hati, dia berdoa agar semua orang yang dia sayangi diberi kesehatan, umur panjang, dan kebahagiaan. "Tanpa bantuan Eyang Uti dan Akung, mungkin Salwa tak bisa lanjut sekolah." "Kamu anak yang pintar. Tanpa bantuan kami pun pasti dapat beasiswa. Buktinya kamu tolak tawaran kuliah ke luar kota dan luar negeri, kan?" "Lebih nyaman tinggal di desa dan menghafal Qur'an, Eyang. Di sini ada Abi, Uti, dan Akung. Salwa tak bisa jauh dari keluarga." "Kalau Gus Zeehan yang meminta?" ‘Iya—tawaran Gus Zeehan pasti akan aku tolak! Selain tak ingin meninggalkan Magelang, aku juga tak mau tinggal dengan pria dingin dan bermulut pedas itu,’ batin Salwa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD