Kontrak Pernikahan

1085 Words
Sepanjang acara resepsi pernikahan, sikap Gus Zeehan tampak manis dan penuh perhatian. Tutur katanya lembut, layaknya sosok suami idaman yang dielu-elukan banyak wanita. Para tamu undangan datang silih berganti. Bukannya berkurang, justru semakin malam, jumlahnya semakin bertambah. Salwa terus menyunggingkan senyum lebar tiap kali ada tamu yang mengucapkan selamat dan mengajaknya berfoto. Berbanding terbalik dengan Gus Zeehan yang justru memasang wajah datar saat ada tamu wanita yang mengajaknya selfie. Hingga pukul sepuluh malam, tamu belum juga berkurang. Gus Zeehan lalu meminta izin kepada Umi Hanna untuk kembali ke kamar, dengan menjadikan Salwa sebagai alasannya. "Peluk lenganku kalau kamu kesulitan berjalan," ujar Gus Zeehan dengan nada datar, wajahnya pun tak menunjukkan ekspresi. Salwa menggeleng tanpa berani menatap suaminya. Dia memilih terseok-seok menuju kamar daripada harus memeluk patung. Lagipula, tawaran itu hanya berlaku di hadapan banyak orang. Salwa lelah jika harus terus bersandiwara. Sepanjang hidupnya, dia tak pernah memasang wajah palsu atau berpura-pura bahagia di depan orang-orang terdekatnya. Penolakan itu membuat Gus Zeehan mendengkus pelan. Dia tidak menyangka Salwa berani mengabaikannya. “Kamu mau ke mana, Salwa?” suara baritonnya yang tegas menghentikan langkah gadis itu. Salwa salah arah. Bukannya menuju kamar utama, dia malah berjalan ke arah kamar tamu. Dia bingung—statusnya memang sudah sah sebagai istri Gus Zeehan, cucu pemilik pondok. Tapi, mereka bahkan belum saling mengenal. Hanya sebatas tahu nama. "Jangan membuat Eyang Umi dan Eyang Abah curiga," bisik Gus Zeehan tepat di telinga Salwa. Bulu kuduk Salwa berdiri. Suaranya, hembusan nafasnya, terlalu dekat. Jantungnya berdebar kencang, tak karuan. Bagai patung hidup, Salwa mengikuti Gus Zeehan dengan pikiran kosong. Tangannya digandeng, otaknya mendadak tumpul. Beberapa saat kemudian, mereka sampai di depan sebuah kamar khusus—ruangan yang tak sembarang orang boleh masuki. Kamar itu konon milik putra mahkota kesayangan Kyai Syam. Pintu terbuka begitu Gus Zeehan menempelkan ibu jari pada pemindai. “Password-nya ulang tahun mendiang Umi,” ucapnya sebelum berlalu begitu saja, meninggalkan Salwa terpaku. Salwa mana tahu tanggal lahir Umi Fatiha? Dia bahkan hanya sempat bertemu beberapa kali, saat masih kecil. Sejak menikah, Umi Fatiha tinggal di Singapura bersama Abi Zeehan—itulah mengapa Gus Zeehan juga besar di sana. “Gus—” panggil Salwa lirih, suaranya bergetar. “Hm?” gumamnya tanpa menoleh. “Pakaianku masih di kamar tamu.” Tak ada respons. Gus Zeehan sibuk menatap layar ponselnya, asyik membalas pesan dari teman-temannya. Sementara Salwa tetap berdiri, tak tahu harus berbuat apa. Tak tahan dengan rasa tidak nyaman karena masih memakai gaun pesta, Salwa akhirnya keluar tanpa izin. “Mbak Yanti tolong bantu lepasin gaun ini. Gerah banget, aku ingin mandi dan rebahan,” rengek Salwa begitu bertemu Mbak ndalem itu di depan kamar tamu. “Masuk dulu, yuk,” ajak Mbak Yanti, khawatir ada yang melihat keberadaan Salwa. Brak. Pintu tertutup. Mereka duduk di sofa. “Ada apa, Mbak?” tanya Salwa bingung. “Justru aku yang mau tanya. Kenapa kamu di sini? Harusnya kamu di kamar pengantin, di kamar Gus Zeehan,” ujar Mbak Yanti tanpa jeda. Salwa pun menceritakan perlakuan suaminya. Mereka memang dekat. Mbak Yanti sering menjadi tempat curhat saat Salwa sedang kesulitan. “Ya Allah, Salwa—aku nggak nyangka Gus Idola kayak gitu. Terus kamu ninggalin kamar, beliau tahu?” “Tahu, Mbak. Aku tadi masuk, tapi dibiarkan. Aku bingung cari baju ganti.” “Cepat mandi, terus balik ke kamarnya. Jangan sampai Bu Nyai atau Pak Yai tahu kalian pisah kamar di malam pertama.” “Mbak—” “Salwa, dengerin Mbak!” sahut Mbak Yanti cepat. “Tugas istri itu melayani suami. Selama dia nggak menyakiti secara fisik atau batin, kamu harus tetap di sampingnya.” “Kami nggak saling mencintai. Bahkan dia nggak berusaha mengenal aku.” “Baru juga beberapa jam menikah. Siapa tahu besok dia berubah.” Akhirnya, Salwa menurut. Dia mandi, berganti pakaian, dan kembali ke kamar sang suami sebelum Bu Nyai dan Pak Yai selesai menerima tamu. *** Hati mana yang tak hancur saat diminta membubuhkan tanda tangan di atas materai, pada lembaran bertuliskan “Kontrak Pernikahan”? Zeehan Atharazka Malik mempermainkan janji suci pernikahan. Menjadikan rumah tangga yang bahkan belum genap sehari ini, seperti dagelan. Salwa enggan membaca isi kontrak. Dia tak mau bertanya. Hanya diam, lalu menandatangani tanpa basa-basi. “Besok pagi aku harus kembali ke Singapura. Ada meeting yang tidak bisa diwakilkan sekretarisku.” Apa yang harus Salwa katakan? Itu bukan ajakan, bukan pula permintaan izin. Hanya pernyataan sepihak. “Kamu nggak punya telinga, Salwa?” “Aku dengar semua yang Gus bilang.” “Lalu kenapa diam saja?” “Memangnya saya harus jawab apa?” Zeehan paling benci pertanyaan dijawab dengan pertanyaan—dan kini, istrinya melakukan itu. “Katakan pada Eyang kalau kamu nggak ikut karena ingin lanjut sekolah di pondok.” “Aku nggak suka berbohong.” “Kalau begitu, kemasi barangmu sekarang. Kita ke bandara setelah subuh.” Salwa menatapnya tak percaya. “Aku nggak bisa ninggalin Abi.” “Tentukan pilihan. Ikut ke Singapura atau sampaikan alasan seperti yang kubilang. Waktumu sedikit. Aku benci menunggu tanpa kepastian.” Salwa menghela napas. Kepalanya pening. Jadi mempelai pengganti, menandatangani kontrak, lalu disuruh bohong agar tak ikut suami? Ini keterlaluan. Tepat pukul tiga pagi, mereka dipanggil Pak Yai dan Bu Nyai. “Salwa yakin tidak mau ikut?” tanya Bu Nyai lembut. “Salwa bingung, Eyang,” jawabnya sambil terisak. “Eyang paham. Kami nggak akan memaksa. Kalau belum siap, nggak apa-apa,” ujar Bu Nyai menenangkan. Gus Zeehan tak menyangka Salwa tetap menolak berbohong. Dia kira gadis itu akan menurut. Pak Yai kemudian bertanya, “Gus, berapa lama kamu di Singapura?” “Zeehan akan menetap di sana, Eyang. Perusahaan sedang pegang proyek besar. Bulan depan pun harus ke Eropa.” “Lalu istrimu bagaimana?” Zeehan melirik Salwa yang masih menunduk. “Dia harus menyelesaikan sekolah. Kalau ikut aku, hafalan Qur’annya bisa kacau. Selain urus suami, dia juga harus ikut pesta, acara kolega bisnis—” Pak Yai mengangguk. Lalu bertanya pada Salwa. “Nak Salwa—kamu siap menemani suamimu, keluar dari lingkungan pesantren?” Salwa menggeleng cepat. Dia belum siap. “Berarti kamu siap jalani hubungan jarak jauh?” Salwa mengangguk mantap. “Siap, Eyang.” “Kalau begitu, Gus Zeehan boleh kembali ke Singapura besok pagi. Tapi dengan satu syarat,” ujar Pak Yai, tegas. Zeehan menatap kakeknya. Bu Nyai dan Salwa juga menunggu. “Kamu harus menghubungi Salwa setiap satu jam, dan pulang ke Magelang sebulan sekali.” “Tapi Eyang—” “Keputusan final,” potong Pak Yai mantap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD