“Salwa— kamu dipanggil sama Bu Nyai. Beliau menunggumu di kamar tamu yang berada di dekat tangga.”
Salwa yang sedang menata kue tradisional ke atas piring kaget saat Bu Nyai Hanna tiba-tiba memanggilnya.
Bagaimana tidak?
Acara pernikahan Cucu Bu Nyai sebentar lagi dimulai. Harusnya beliau kini tengah berada di tempat acara akad nikah. Bukannya menunggunya di kamar tamu.
“Ada apa ya, Mbak? Tiba-tiba Bu Nyai ingin bertemu denganku.”
Mbak Yanti, santriwati yang mengabadikan diri pada Bu Nyai Hanna menghampiri Salwa yang masih duduk diatas tikar. Bukan untuk menjelaskan melainkan membantu gadis itu berdiri.
Sudah tidak ada waktu untuk menjelaskan. Karena keadaan sangat genting. Terlambat membawa Salwa menemui Bu Nyai Hanna nama baik pondok pesantren menjadi taruhannya.
Langkah kaki Salwa semakin cepat ketika Mbak Yanti menarik tangannya. Saking cepatnya hingga beberapa kali terseok. Karena salah memakai sandal. Entah alas kaki siapa yang dipakainya? Ukurannya sangat besar dan warnanya hitam pekat.
“Assalamualaikum, Bu Nyai, saya sudah membawa Salwa—” ujar Mbak Yanti dengan suara lirih.
“Waalaikumsalam, bawa Salwa masuk, Yan.” Mendengar suara lembut Bu Nyai Hanna membuat Salwa semakin gugup. Apalagi di dalam kamar ada dua orang yang kini tengah menatapnya lekat.
Salwa tidak berani mengangkat kepala. Kedua tangannya saling bertaut, dan keringat dingin mulai membanjiri keningnya.
Firasatnya mengatakan akan terjadi hal buruk yang menimpanya. Namun, dia tidak tahu apa itu.
“Salwa tidak mau duduk?” Tanya Bu nyai Hanna dengan suara yang masih lembut. Tatapan matanya pun terasa hangat dan teduh. “Sini— sebelah Eyang Uti,” ujar beliau lagi sambil menepuk sofa di sebelahnya.
Selain menjadi santri di pondok pesantren Al-Falah, Salwa adalah cucu pengasuh pondok. Bukan cucu kandung melainkan cucu keponakan.
Hubungan keluarga Salwa dengan keluarga pondok sangat dekat. Dulunya Abi Salwa seorang ustad yang ikut mengajar di pondok. Tak jarang juga disuruh mengisi undangan pengajian saat Pak Yai Muhammad Syamsudin Dlucha berhalangan hadir. Kini sudah tidak lagi karena beliau terkena stroke setelah kematian istrinya.
Rumah Salwa berada tepat di samping pondok. Berbatasan dengan tembok yang menjulang tinggi. Setiap pagi hingga sore dia mengurus Abinya dan kebun sayur. Dikala sore hingga malam mengaji di pondok pesantren.
“Salwa— Bolehkah Eyang Uti meminta sesuatu?”
Tangan gadis itu digenggam erat oleh Bu Nyai Hanna. Rasa hangat langsung menjalar ke sekujur tubuhnya. Membuat rasa nyaman sekaligus aman hadir hingga rasa gugup menghilang seketika.
Sejak kematian Uminya, Salwa sering curhat dan meminta bantuan Bu Nyai Hanna jika sedang memiliki masalah. Karena menurut gadis itu Bu Nyai selalu memiliki solusi atas segala masalah yang tengah dihadapinya.
“Tentu saja, Eyang— katakan saja Eyang ingin apa. Insya Allah, Salwa akan memberikan jika mampu.”
“Menikahlah dengan Gus Zeehan. Jadilah Cucu menantu Eyang Uti dan Eyang Akung. Bisa ‘kan?”
Deg … jantung Salwa seperti berhenti berdetak saat mendengar permintaan Bu Nyai Hanna.
Apapun akan dia berikan selain pernikahan. Umurnya memang sudah cukup untuk menikah. Tapi, ada banyak hal yang harus dipikirkan ulang.
Siapa yang akan menjaga Abinya?
Hafalan qur'an nya bagaimana?
Lalu, siapa yang akan mengurus kebun sayur milik keluarganya?
Selain itu, masalahnya Salwa tidak terlalu mengenal Gus Zeehan. Sejak kecil cucu Bu Nyai Hanna tinggal di luar negeri. Pulang setahun sekali ketika Idul Fitri.
“Salwa, Eyang mohon— calon istri Gus Zeehan kabur. Entah apa sebabnya dia sampai meninggalkan acara pernikahannya. Tidak ada yang tahu penyebabnya.”
“Eyang, Salwa tidak begitu mengenal Gus Zeehan. Mana mungkin kami menikah? Lalu bagaimana dengan Abi?”
“Soal perkenalan bisa dilakukan setelah menjadi suami istri. Justru itu lebih baik karena kalian sudah tidak memiliki batasan untuk dijaga. Jika tentang Abi, insya Allah beliau memberikan restu.”
“Abi sudah tahu rencana pernikahan ini?”
“Iya, sekarang Abi telah berada di tempat acara akad nikah.”
Salwa tidak mengerti mengapa harus menjadi mempelai pengganti. Begitu banyak wanita yang siap dinikahi oleh Gus Zeehan. Tapi mengapa harus dia yang dipilih?
***
Suara berat Pak Yai Muhammad Syamsudin Dlucha terdengar pada pengeras suara. Sebentar lagi akad nikah akan segera di mulai. Salwa sebagai mempelai pengganti pun telah siap.
Kebaya putih milik Uminya terlihat pas di badan mungilnya. Makeup tipis menempel pada wajahnya sesuai keinginannya yang ingin tampil natural. Meski begitu gadis itu terlihat sangat cantik.
“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur, wa rodhitu bihi waAllahu waliyatut taufiq."
Dengan satu tarikan nafas dan suara lantang Gus Zeehan resmi menikahi Salwa.
Semua orang yang ada di tempat acara mendoakan pasangan pengantin baru dengan mengucap, “Barakallahu lakuma wa baraka 'alaikuma wa jama'a bainakuma fii khoir,” secara bersamaan.
Tangis penuh haru memenuhi ruangan yang ditempati para wanita. Setelah ketegangan yang sempat terjadi akibat kaburnya mempelai pengantin yang asli.
Hanya Salwa yang masih diam ditempat duduknya. Tak ada ekspresi apapun pada wajahnya. Hanya tersenyum singkat saat ada yang mengucapkan selamat.
Dia tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Menikah di usia 19 tahun belum pernah dibayangkan olehnya. Karena baginya mengurus Abinya adalah prioritas utama.
“Salwa harus menemui Gus Zeehan,” bisik Bu Nyai.
“Dimana, Eyang?” Tanya gadis itu dengan polos. Membuat semua orang terkekeh pelan.
Bu Nyai membantu Salwa berdiri. Lalu mengajaknya menuju ke tempat akad nikah dilangsungkan. Disana ada Gus Zeehan yang sedang menantikan kedatangan istrinya.
Tatapan pria yang menjadi idola pondok pesantren itu sangat sulit untuk diartikan. Tidak ada senyum bahagia pada wajahnya. Sama seperti yang ditunjukkan oleh gadis yang kini tengah berjalan ke arahnya.
Gus Zeehan mengulurkan tangannya saat Salwa telah berada di depannya. Pria berusia 30 tahun itu maju selangkah agar lebih mudah memeluk sang istri. Karena uluran tangannya tak kunjung mendapatkan balasan.
Sontak saja tubuh Salwa langsung menegang. Tidak siap mendapatkan serangan dari Gus Zeehan. Meskipun dia merasakan kehangatan saat tubuh mungilnya masuk dalam dekapan sang suami.
“Terima kasih, berkat kamu harga diriku dan nama baik pondok pesantren tidak hancur,” bisik Gus Zeehan tepat di sebelah telinga Salwa.
Setetes air mata jatuh membasahi pipi Salwa. Bisikan pertama dari pria yang kini berstatus menjadi suaminya sangat menyakitkan.
Perlakuan lembutnya ternyata sebatas ucapan terimakasih. Karena Salwa telah mengorbankan diri dan masa depannya untuk menyelamatkan nama baik seorang pria angkuh.
Harapan akan kehidupan baru yang sempat muncul kini hancur berkeping-keping. Begitu juga dengan hatinya. Remuk dan tak tersisa sedikitpun.
Binar bahagia yang selalu terpancar pada manik cantiknya kini meredup. Tergantikan dengan tatapan sendu ketika tak sengaja bertatapan dengan Abi Hasan.
Seusai acara akad nikah, Salwa meminta diberi waktu untuk bicara dengan Abinya, dan Bu Nyai memberinya waktu sepuluh menit, karena dia harus berganti pakaian untuk acara resepsi.
“Maafkan Abi ya, Nak— telah mengambil keputusan tanpa bertanya padamu lebih dulu.”
“Kenapa harus meminta maaf, Bi?”
“Salwa tidak terlihat bahagia saat keluar setelah acara ijab qabul selesai. Seharusnya Abi bertanya dulu sebelum mengiyakan permintaan Abah Yai.”
Salwa menggelengkan kepala ketika melihat air mata mengalir di kedua pipi Abinya. “Pernikahan ini sangat mendadak Abi. Mungkin karena itu Salwa masih kebingungan dalam menunjukkan ekspresi wajah. Lagipula Abi tahu sendiri jika Salwa tidak terbiasa berada di keramaian,” terangnya kemudian.
“Benar begitu? Bukan karena Salwa tidak bahagia,” Tanya Abi Hasbi untuk memastikan.
Salwa memaksakan senyumannya. Kemudian memeluk Abinya yang berada diatas kursi roda. “InsyaAllah, Salwa akan menerima pernikahan ini dengan ikhlas. Mulai sekarang Abi tidak perlu khawatir putrinya menjadi seorang perawan tua.”
“Semoga pernikahan Salwa dan Gus Zeehan selalu dilimpahi keberkahan dan kebahagiaan dari Gusti Allah. Mulai sekarang Salwa harus fokus mengurus suami.”
Dibalik pintu kamar tamu berdiri seorang pria yang sejak tadi mendengarkan percakapan antara Salwa dan Abi Hasan.
Niatnya bukan menguping tapi mendapatkan mandat dari Bu Nyai agar membawa Salwa ke kamar pengantin untuk berganti pakaian.